DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Alta Zaini, Ketua Umum Non Litigation Peacemaker Association (Juru Damai Indonesia), menilai program pemerintah pusat terkait pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (Kop Des Merah Putih) serta alokasi dana desa untuk ketahanan pangan dinilai terburu-buru dan kurang mempertimbangkan karakteristik lokal. Kritik ini disampaikan menanggapi instruksi Presiden RI Prabowo Subianto yang diimplementasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) bersama Kementerian Desa (Kemendes).
“Program ini terlalu terburu-buru ditindaklanjuti. Pemerintah pusat harus memahami bahwa setiap desa di Indonesia memiliki karakter, SDM, dan kearifan lokal berbeda. Jangan disamaratakan,” tegas Alta Zaini Ketua DPC APDESI/ASKEBA Kota Banda Aceh saat diwawancarai Dialeksis di Banda Aceh, Rabu (5 Maret 2025).
Menurutnya, program strategis seperti Kop Des Merah Putih dan alokasi 20% dana desa untuk ketahanan pangan melalui Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) atau BUMDes seharusnya diawali sosialisasi, penyuluhan, dan bimbingan teknis (bimtek) intensif bagi kepala desa dan perangkatnya.
“Selama ini, BUMDES/BUMG tidak baik baik saja. Tidak semua BumDes/BUMG berjalan dengan baik BUMG/BUMDes di Aceh dan daerah lain berjalan baik. Sudah ada BUMDES/BUMG buat apa lagi KOPDES. Kenapa tiba-tiba muncul program baru tanpa persiapan memadai? Ini bisa membingungkan aparatur desa,” ujarnya.
Alta juga menyoroti tumpang-tindih kebijakan. Ia menyebut Permendes tentang dana desa untuk ketahanan pangan belum tuntas diimplementasikan, namun sudah muncul instruksi pembentukan koperasi baru.
“Jika ingin optimal, seharusnya dana desa tidak dikurangi untuk program yang sebenarnya bisa diserahkan ke dinas terkait. Misal, Posyandu Integritas ke Dinas Kesehatan, ketahanan pangan ke Dinas Pertanian, atau koperasi ke Dinas Koperasi. Jangan semua beban ditimpakan ke desa,” paparnya.
Sebagai Keuchik (Kepala Desa) yang mengurus Gampong Lampulo, Alta mengungkapkan beban kerja aparatur desa sudah sangat berat.
“Kami kerja 24 jam tanpa libur, mengurus dari sajadah sampai ‘haram jadah’. Bukan mengeluh, tapi mohon pemerintah pusat tidak hanya memerintah, melainkan juga mendampingi,” tandasnya.
Ia menegaskan, desa bukan sekadar pelaksana instruksi pusat, melainkan entitas otonom dengan dinamika unik. “Program presiden dan menteri harusnya melibatkan dialog dengan desa. Jangan sampai niat baik justru memberatkan karena tidak sesuai konteks lokal,” tambahnya.
Alta berharap pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh sebelum melanjutkan program, termasuk memastikan koordinasi antar-kementerian dan melibatkan pemerintah daerah serta desa dalam perencanaan.
“Desa bukan proyek eksperimen. Kebijakan harus berbasis data, partisipatif, dan menghargai kearifan lokal,” pungkas Keuchik Gampong Lampulo ini.