Sabtu, 15 Maret 2025
Beranda / Pemerintahan / Akhir Februari 2025, APBN Defisit Rp31,2 Triliun

Akhir Februari 2025, APBN Defisit Rp31,2 Triliun

Jum`at, 14 Maret 2025 22:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyampaikan laporan dalam Konferensi Pers APBN KITA EDISI MARET 2025. [Foto: Tangkapan Layar Youtube Kemenkeu]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga akhir Februari 2025 mengalami defisit Rp31,2 triliun atau setara 0,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski terjadi defisit, pemerintah menegaskan bahwa jumlah defisit tersebut masih dalam target desain APBN 2025.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA menyatakan bahwa defisit APBN di awal tahun itu masih dalam target desain APBN 2025 yang ditargetkan terjadi defisit Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB.

"Saya ingatkan kembali APBN 2025 didesain dengan defisit Rp616,2 triliun, jadi defisit 0,13% masih dalam target desain APBN sebesar 2,53% dari PDB," kata Sri Mulyani.

Menkeu menjelaskan, hingga akhir Februari 2025 belanja negara tercatat Rp348,1 triliun, sementara pendapatan negara mencapai Rp316,9 triliun.

Dari sisi pendapatan negara, hingga akhir Februari mencapai Rp316,9 triliun. Itu bersumber dari penerimaan perpajakan Rp240,4 triliun, terdiri atas pajak Rp187,8 triliun dan penerimaan bea cukai Rp52,6 triliun. Lalu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp76,4 triliun.

Penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target. Total penerimaan itu mengalami koreksi 30,1 persen jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, penerimaan pajak mencapai Rp269,02 triliun.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengungkapkan bahwa ada dua penyebab turunnya penerimaan pajak di awal tahun 2025 ini. Mulai dari penerapan kebijakan Tarif Efektif Rata-rata (TER) atas PPh 21 atau pajak atas gaji upah honor karyawan dan pegawai. Serta menurunnya harga komoditas utama RI.

"Kenapa kok Januari-Februari 2025 itu lebih rendah itu karena ada dua faktor, pertama adalah karena adanya penurunan harga komiditi utama antara lain Batubara -11,8 persen, Brent -5,2 persen, dan Nikel -5,9 persen," kata Anggito.

Kedua, lanjut Anggito, yakni efek dari kebijakan TER ataupun Tarif Efektif Rata-Rata atas PPh 21 atau pajak atas gaji upah honor karyawan dan pegawai. "Kalau kita hitung, penerapan TER PPh 21 sejak Januari 2024 mengakibatkan lebih bayar sebesar Rp16,5 triliun di tahun 2024," ujar Anggito.

Kemudian, sambung Anggito, lebih bayar tersebut diklaim kembali pada Januari dan Februari 2025. Apabila dampak klaim lebih bayar perhitungkan atau dinormalisasi, maka rata-rata PPh Pasal 21 Desember 2024 sampai dengan Februari 2025 masih lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

"Jadi ada kebijakan yang baru saja pertama kali dilaksanakan tahun 2024 yang namanya TER untuk PPh 21. Kalau menghitung cash memang menurun, tapi ini adalah efek dari kebijakan TER yang dilakukan pada tahun 2024," jelas Anggito.

Selain itu, Anggito menyebut penurunan penerimaan pajak di awal tahun adalah hal normal. Penerimaan pajak akan meningkat pada bulan Desember sebagai efek Nataru dan akhir tahun anggaran. Kemudian akan kembali menurun pada bulan Januari dan Februari.

"Jadi kalau kita lihat dalam empat tahun terakhir polanya sama, Desember naik tinggi karena efek Nataru dan akhir tahun, dan kemudian menurun di bulan Januari dan Februari, dan itu sama setiap tahun sehingga tidak ada hal yang anomali. Sifatnya normal saja," jelas Anggito. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers