Beranda / Parlemen Kita / Polemik Jurnalistik Investigasi di RUU Penyiaran, Ini Penjelasan Komisi I DPR RI

Polemik Jurnalistik Investigasi di RUU Penyiaran, Ini Penjelasan Komisi I DPR RI

Rabu, 15 Mei 2024 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menjelaskan asal muasal munculnya beleid tentang Standar Isi Siaran (SIS) di dalam draf RUU Penyiaran. Salah satu yang menjadi polemik belakangan ini adalah mengenai larangan siaran Jurnalistik Investigasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 50(B) ayat 2 Poin C. [Foto: Humas Parlementaria]


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menjelaskan asal muasal munculnya beleid tentang Standar Isi Siaran (SIS) di dalam draf RUU Penyiaran. Salah satu yang menjadi polemik belakangan ini adalah mengenai larangan siaran Jurnalistik Investigasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 50(B) ayat 2 Poin C. 

Menurut TB Hasanuddin, pasal tersebut hadir karena adanya saran agar penyiaran mengenai itu dapat dikontrol oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

“Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu, misalnya ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, maka sebaiknya itu (ada) sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya? Ya diatur dalam aturan KPI,” ujar TB Hasanuddin, Selasa (14/5/2024).

Kang TB, sapaanya, melanjutkan bahwa produk penyiaran dibawahi langsung oleh KPI. Untuk itu, ia menilai saran tersebut perlu dimuat dalam draf RUU Penyiaran. 

“Kalau KPI itu khusus untuk penyiaran, tapi kalau produk jurnalis yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya itu ke Dewan Pers. Saya kira ya dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers,” kata Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Ia sendiri mengaku kalau dirinya tak sepakat dengan adanya pembatasan jurnalistik seperti yang tertuang dalam draf Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

“Ya kita akan tampung semua (masukan) dan kemudian kita akan selesaikan nanti di dalam pembahasan antara Baleg dan komisi”

“Saya sendiri setuju tidak usah ada pembatasan. Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar beberapa baik positif dan negatifnya, dari hasil investigasi,” ujar Kang TB.

Akan tetapi, menurutnya, pers yang bebas tetap perlu menerapkan kehati-hatian karena produk yang dihasilkan untuk kepentingan rakyat. 

Ia juga mengomentari ihwal tumpang tindih aturan penyelesaian sengketa jurnalistik antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Poin tersebut juga menjadi sorotan masyarakat sipil, khususnya dari insan pers.

Menurut Hasanuddin, KPI mestinya khusus untuk sengketa penyiaran, sedangkan produk tulisan yang bermasalah diselesaikan di Dewan Pers. [*]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda