Beranda / Berita / Nasional / RCTI dan iNews Gugat UU Penyiaran

RCTI dan iNews Gugat UU Penyiaran

Sabtu, 29 Agustus 2020 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: Ilustrasi]

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Langkah RCTI dan iNews melayangkan gugatan uji materi Undang-Undang (UU) Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena dinilai tidak mengatur layanan Over The Top (OTT) menuai polemik.

Kementerian Komunikasi dan Informartika (Kominfo) dan Pengamat menilai langkah tersebut tidak tepat. Sementara pihak RCTI dan iNews merasa apa yang dilakukannya hanya untuk menegakkan keadilan bagi semua pihak.

Dalam gugatannya, kedua stasiun televisi swasta tersebut meminta agar layanan OTT atau layanan dengan konten berupa data, informasi atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet, seperti Youtube, Instagram, dan Facebook turut diatur dalam UU penyiaran.

Salah satu alasannya, karena penggugat merasa ada perbedaan perlakuan antara layanan OTT dengan penyelenggara penyiaran konvensional, termasuk dalam hal syarat aktivitas penyiaran.

Para penggugat lantas mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran karena dianggap multi interpretasi dan menyebabkan ketidakpastian hukum.

Dalam gugatannya mereka menuntut ada penambahan beleid yang berbunyi "dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran".

Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ahmad M Ramli, mengatakan, gugatan tersebut tidaklah tepat. Lantaran terdapat perbedaan mendasar antara layanan OTT dengan penyiaran konvensional.

Dalam sidang MK yang dilakukan pada Rabu (26/8/2020), Ahmad mengatakan, berbeda dengan penyiaran, karakteristik utama layanan OTT adalah dapat diakses oleh pengguna melalui jaringan telekomunikasi internet.

Sementara penyiaran merupakan layanan pemancaran dan penerimaan siaran. Penyiaran juga membutuhkan pemancarluasan konten siaran oleh lembaga penyiaran, dan diterima secara serentak melalui perangkat teknologi penerima siaran.

Selain itu, dirinya mengungkapkan, walaupun konten OTT dan penyiaran sama, tetap tidak bisa disamakan. Lantaran penyelenggara penyiaran adalah push service, sedangkan OTT adalah pull service, di mana pemirsa itu bisa memilih sendiri layanannya.

Dirinya juga mengatakan konten yang ditayangkan kepada publik bersifat netral, sehingga tergantung terhadap media yang menayangkannya. Ahmad mencontohkan, jika ditayangkan pada bioskop harus tunduk pada aturan perfilman, sementara jika ditayangkan oleh lembaga penyiaran harus tunduk pada aturan penyiaran.

"Sedangkan jika dapat diakses melalui layanan OTT, maka tunduk pada aturan telekomunikasi, internet, Undang-Undang Pornografi, dan lain-lain," jelasnya.

Senada, Direktur Eksekutif lembaga pemantau media dan televisi Remotivi, Yovantra Arief, menilai, UU Penyiaran sejak awal memang dikhususkan untuk mengatur industri yang spesifik. Sehingga kurang tepat jika UU Penyiaran juga harus mengatur domain layanan OTT yang melalui Internet.


Batasi kreativitas masyarakat

Lebih jauh, Yovantra berpendapat, definisi pasal yang diajukan pihak penggugat akan menimbulkan tumpang-tindih dengan apa yang didefinisikan oleh pasal 1 ayat 1 UU Penyiaran. Akibatnya akan memperluas definisi penyiaran.

Sebab pasal 1 ayat 1 UU penyiaran berbunyi, "Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima."

Konsekuensinya bukan hanya sekedar perlu izin siaran untuk melakukan siaran langsung di media sosial seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, dan Youtube Live. Tetapi untuk setiap kegiatan masyarakat di media sosial, menurut Yovantra akan memerlukan izin.

Jika ini disahkan, maka setiap masyarakat yang memiliki akses internet harus diawasi oleh pemerintah. Selain tidak realistis, dirinya khawatir hal tersebut juga dapat digunakan untuk membungkam masyarakat dengan

"Sekarang orang pada WFH pakai Skype atau Zoom, juga masuk dalam definisi ini. Karena definisi public dan private di internet ini kan berubah drastis. Semua orang bisa broadcast. Kalau diberlakukan, itu gak realistis karena banyak banget yang harus diawasi. Ini juga bisa jadi dalih untuk state surveillance, dan membungkam orang dengan mencabut izin broadcast," kepada Lokadata.id, Jumat (28/8/2020).

Menurut Corporate Legal Director MNC Group, Christophorus Taufik, mengatakan, pihaknya melakukan uji materi UU Penyiaran di MK bukan ingin mengebiri kreativitas media sosial. Tetapi untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa

"RCTI dan iNews bukan ingin kebiri kreativitas medsos, uji materi UU Penyiaran untuk kesetaraan dan tanggung jawab moral bangsa," jelasnya dalam keterangan tertulis MNC Group, Jumat (28/8/2020).

Alih-alih alasan nasionalis dan moral, Yovantra melihat gugatan tersebut sejatinya merupakan persaingan usaha belaka. Kontestasi antara industri penyiaran yang sudah lebih dulu mapan dengan industri internet yang baru tumbuh belakangan ini.


Buat UU baru

Oleh karenanya, baik Ahmad maupun Yovantra menilai, alih-alih mengubah UU penyiaran, yang seharusnya dilakukan adalah mendorong pembuatan undang-undang baru oleh DPR dan pemerintah yang secara khusus mengatur layanan siaran melalui internet.

Menurut Yovantra, siaran berbasis internet memiliki konteks yang berbeda dengan penyiaran konvensional. Selain teknologi keduanya juga memiliki model bisnis dan ekosistem yang berbeda, sehingga tidak bisa dipaksa mengikuti aturan main salah satu pihak saja.

Apabila tetap memaksa dengan revisi UU penyiaran, Yovantra mengatakan revisi harus dilakukan mengikuti perkembangan industri penyiaran. Menurutnya pemerintah juga harus memastikan sistem siaran berjaringan, penyiaran lokal, dan komunitas bisa berjalan dengan baik dalam platform penyiaran digital.

"Selain itu, dibikin juga UU sendiri yang mengatur soal industri konten online. UU ITE sebenarnya UU yang paling dekat untuk mengatur bisnis ini, tapi kalau dilihat dari pasal-pasal yang sekarang ada, mesti dirombak total itu UU," terangnya.

Kelemahan dari langkah ini menurutnya, akan ada banyak UU yang dilahirkan. Proses sinkronisasi dari masing-masing UU pun tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat.

Selain opsi tersebut, Yovantra mengatakan, pengaturan kedua industri tersebut bisa dilakukan dengan cara menggabungkan semuanya di bawah payung UU Komunikasi seperti yang dilakukan Inggris dan Amerika Serikat. Dalam UU Komunikasi tersebut, yang diatur hanya persoalan teknologi dan persaingan bisnis dari industri telekomunikasi.

Dirinya mengatakan, dengan UU tersebut nantinya masalah infrastruktur, teknologi dan persaingan bisnis dapat terselesaikan. Ihwal peraturan yang spesifik mengatur masing-masing industri seperti radio, penyiaran, dan internet bisa dirinci dalam aturan turunan.

"Kalau masih ngebet ngatur soal konten, bisa mengikuti Audio-Visual Media Services Directive (AVMSD) punya European Union yang fokus ke aturan soal audio-visual, tidak menyentuh perkara infrastruktur, teknologi, dan persaingan bisnis. Jadi kita cuma bakal punya dua aturan payung. Ini lebih hemat dan memperkecil potensi tumpang tindih aturan," jelasnya [lokadata].

Keyword:


Editor :
Redaksi

Berita Terkait
    riset-JSI
    Komentar Anda