kip lhok
Beranda / Opini / Wajah Kemiskinan di Aceh

Wajah Kemiskinan di Aceh

Senin, 15 Januari 2018 01:46 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Jaka Rasyid

Miskin identik ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, Sehingga ada anekdot,"orang miskin dilarang sakit". Sebuah satire terhadap jurang ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin. Ironisnya, masalah kemiskinan tidak pernah tuntas diselesaikan pemerintah.

Pertanyaannya, apa yang salah? Apakah formulasi penyelesaiannya? Ataukah itikad hati nurani pengurus negari ini yang sudah buta beku untuk menyelesaikan masalah kemiskinan?

Miskin dalam pemahaman  kaum pro pemikiran Karl Mark, bahwa miskin akibat dari  akses dan alat produksi dikuasai kaum borjuis. itu kemudian yang membentuk perlawanan dengan gerakan memperjuangkan hak "kaum miskin".

Sememtara kalangan kaum konservatif memandang kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berpartisipasi.

Itulah perdebatan konsep dan pemahaman atas difinisi miskin yang tidak pernah tuntas. Bahkan saling berbentur. Dan realitasnya tetap saja ada kelas orang miskin dan ada kelas orang kaya. Ada yang dianggap  kaya, dan ada yang mengaku miskin, menganggap dirinya kaum dhuafa.

Kenapa? Jawabannya sederhana karena hal itu berkait dengan perilaku. Realitasnya, khiususnya di Aceh; banyak warga  menyembunyikan kekayaan dan harta bendanya karena alasan agar mendapatkan bantuan dari pemerintah.. Tanpa sadar mereka membuat label sendiri, bahwa mereka kaum dhuhafa.

Jadi, bila ditilik lebih dalam bahwa ternyata kemiskinan bukan saja berurusan dengan persoalan ekonomi tetapi bersifat multidimensional karena dalam kenyataannya juga berurusan dengan persoalan-persoalan non ekonomi, seperti sosial, budaya, politik, pendidikan dan khususnya kesehatan (Nugroho, 2001., Slamet, 2004).

Karena sifatnya yang multidimensional, maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan materi, tetapi juga berurusan dengan kesejahteraan sosial, dan derajat kesehatan yang dimiliki. Untuk itu perlu dipahami dimensi-dimensi yang terkait dengan gejala kemiskinan tersebut.

Efek lemahnya penanganan kemiskinan oleh negara (pemerintah), kalau pinjam istilah Fukuyama sebagai Weak State (negara lemah). Kelemahan penanganan kemiskinan karena penjarahan hak-hak orang miskin oleh pengurus negara. Berangkat dari fenomena tersebut, tak bisa terbantahkan bahwa pemerintah, khususnya pemerintah daerah, belum maksimal memberi pelayanan kepada warga miskin.

Efek dominonya dirasakan sampai masyarakat Aceh, dimana tercatat sebagai provinsi termiskin nomor dua se-Sumatra (sumber BPS 2017). Logika baku ekonomi mengatakan limpahan uang mampu membuat terobosan membangkitkan kemandirian ekonomi. Caranya membuka lapangan pekerjaan sekaligus mendatangkan Pendapatan Asli Daerah.

Faktanya ketersediaan uang triliyunan  yang berlimpah dari dana Otsus dan dana alokasi desa ternyata belum bisa menjadi daya ungkit membangun kemandirian ekonomi. Bayangkan saja dana Otsus dari 2008-2017 sudah dicairkan ke Aceh sebesar Rp. 56,67 triliun. Di tahun 2018 dialokasikan sebesar 8,022 triliyun. Pengalokasian dana Otsus Aceh 2% dari dana DAU nasional.

Ada apa ini ? Apakah karena uang tersandera di rekening elit penguasa ataukah karena peruntukannya tidak tetap sasaran, manfaat, dan tetap guna.

Dapat di prediksikan jika dana sebesar itu tidak dapat di optimalkan, maka dampak besarnya populasi penduduk di Aceh yang hidup miskin semakin banyak. Tingkat kriminalitas akan semakin tinggil, karena kemiskinan menjerat masyarakat Aceh.

Terpenting sifat chauvinisme atau sovinisme harus ada disanubari elit penguasa dan aparatur birokrasi pemerintahan. Apa itu sifat sauvisme adalah ajaran atau paham mengenai cinta tanah air dan bangsa yang berlebihan. Inti sarinya jika kita cinta dan ingin Aceh maju, maka bersama-sama peduli menyelesaikan kemiskinan yang mendera masyarakat Aceh.

Oleh : Jaka Rasyid






Keyword:


Editor :
HARIS M

riset-JSI
Komentar Anda