kip lhok
Beranda / Opini / Ujian Kopi Gayo di Tengah Wabah Covid-19

Ujian Kopi Gayo di Tengah Wabah Covid-19

Rabu, 22 April 2020 10:42 WIB

Font: Ukuran: - +

[Foto: IST]

Oleh : Dedi Ikhwani S.P

DIALEKSIS.COM - Apakah Anda pernah minum kopi seharga 90.000 per cangkir? Bila belum maka silahkan berkunjung ke kota Doha, Qatar. Survei yang dilakukan oleh UBS baru-baru ini menyebutkan Doha menjadi kota termahal di dunia untuk urusan kopi. Namun mahalnya harga kopi tersebut sejalan dengan biaya hidup yang tinggi mencapai 20-30% rata-rata biaya hidup kota lain di UEA.

Indonesia merupakan negara eksportir kopi terbesar ke empat dunia setelah brazil, vietnam dan kolombia. Berdasarkan data produktivitas kopi Nusantara masih kalah jauh dengan 3 negara kompetitor, padahal dari luasan lahan Indonesia masih di atas Vietnam dan Kolombia. Salah satu indikator adalah modernisasi alsintan (alat mesin pertanian) yang digunakan.

Kopi menjadi salah satu komoditas penyumbang devisa. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu 2017 nilai ekspor kopi mencapai 16,18 Triliun. Jika kita lihat luas lahan kopi diperkirakan mencapai 1.238.598 hektar dengan angka produksi kopi sebesar 717.962 ton. meskipun demikian pemetaan potensi produksi kopi Indonesia dapat mencapai 2.781.347 ton per tahun. (Direktorat Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian RI).

Secara nasional, Aceh dalam hal ini dataran tinggi Gayo memiliki area perkebunan kopi arabika terluas yaitu 99.064 hektar, meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues dengan angka produksi mencapai 58.937 ton (BPS, 2017).

Berdasarkan angka diatas produktivitas kopi Gayo adalah 595 kg/ha. Secara ketentuan, Kementerian Petanian melalui Direktorat Jendral Perkebunan telah melakukan analisa yaitu apabila petani menerapkan sistem budidaya secara baik maka produktivitas kopi bisa hingga 3 ton.

Perumpamaan analisa keuntungan dengan perhitungan harga kopi normal green bean mencapai Rp.70.000/kg maka setiap hektar petani akan memperoleh keuntungan sebesar Rp.2.082.500/bulan diluar biaya sewa lahan (asumsi 50% total cost). Nominal ini tentunya masih jauh dari harapan petani sebagai kepala keluarga dengan rata-rata tanggungan 4 orang. Pun demikian luasan lahan rata-rata yang dikelola per kepala keluarga hanya 0,5 hektar.

Petani kopi di dataran tinggi Gayo patut berbangga karena memiliki bonus demografi yang kaya. Secara agroklimatologi sangat potensial untuk pengembangan komoditas kopi terutama jenis arabika. Sejak dulunya kopi Gayo dibudidaya dengan adanya pohon pelindung, ini menandakan adanya keseimbangan ekosistem yang saling mengikat.

Keutamaan lain adalah kopi Gayo dihasilkan dari perkebuanan rakyat, juga secara skematik mayoritas petani kopi mempunyai kerjasama dalam koridor aplikasi sertifikasi seperti adanya grup petani, kolektor (pengepul), koperasi maupun eksportir. Skema tersebut biasanya memiliki simpul yang diatur dalam sebuah standar disebut sertification of protocol.

Setiap petani kopi yang terdaftar dalam skema sertifikasi, tentunya akan sangat terbantu yaitu dalam hal keberlanjutan rantai pasok (supply chain) dan rantai nilai (value chain) kopi arabika di dataran tinggi Gayo. Keuntungan lain bagi petani adalah memperoleh pembiayaan/modal yang sering disebut dengan istilah premi dari penjualan kopi setiap tahunnya. Setidaknya ada beberapa standar sertifikasi yang diaplikasikan terhadap perkebuan kopi dan lingkungan di dataran tinggi Gayo yaitu Fair Trade, Rainforest Alliance/UTZ dan Cafe Practices.

Bila kita kaitkan dengan kondisi terkini mengenai Wabah Pandemi Covid-19, petani harusnya merasa lega dalam menjual hasil produksi mereka, tentunya bagi petani yang terdaftar dalam skema sertifikasi kopi. Namun kenyataan berkata lain hukum ekonomi menjadi kambing hitam sehingga harga kopi Gayo terjun bebas di pasaran.

Seperti yang diutarakan oleh Ketua AEKI Aceh, bahwa ditengah wabah virus, hampir semua negara importir menghentikan pasokan komoditi kopi lantaran banyak usaha cafe tutup serta roaster berhenti beroperasi. Dampaknya pengiriman kopi menjadi berkurang, sehingga terjadi over stock ditingkat lokal secara otomasis menjadi turun. Sementara harga kopi bursa New York masih tetap stabil sekitar 115 hingga 118 per pound USD atau setara dengan Rp.40.000/kg.

Pelaku rantai tata niaga kopi sering menyebutkan pedoman harga kopi dunia sebagian besar mengikutibursa New York atau Coffee Terminal Price, namun pada perkembangannya para pedagang lokal hingga petani masih menjadi pertanyaan besar perihal istilah harga terminal tersebut. Sebagai bahan informasi salah satunya bisa dilihat pada situs Bloomberg, dalam neraca perdangangan kopi arabika banyak mengacu pada harga pasar yang diselenggarakan oleh New York. Kontrak perdagangan kopi menurut NYBOT disebut sebagai kontrak “C” atau dengan istilah NY “C”.

Harga kopi Arabika di terminal New York dinyatakan dalam sen US$/lbs, perlu dijelaskan di sini bahwa 1 US$ adalah 100 sen dan 1 lbs (pound) sama dengan 0,4540kg atau 1kg sama dengan 2,2046 lbs (pound). Sebagai contoh harga terminal hari ini adalah 118 dengan nilai kurs dollar terhadap rupiah sebesar Rp 15.400. Perihal memudahkan perhitungan maka digunakan rumus (NY”C”) x (2,2046) x (KURS), sehingga harga kopi dunia hari ini kita ketahui senilai Rp.40.000/Kg (dibulatkan).

Seperti kita ketahui bersama bahwa harga kopi Gayo normalnya dibeli dengan grade specialty coffee, yaitu adanya plus 60 sen hingga 80 sen dari harga NY “C” dalam setiap kilogramnya.

Menyikapi persoalan deflasi terhadap kopi arabika Gayo, terdapat beberapa gagasan yang menjadi bahan pertimbangan para pihak yaitu regulasi tentang harga minimum dan skema SRG.

Sebagai bentuk empati Eksekutif dan Legislatif, mengingat lebih dari 80% masyarakat mengantungkan hidup dari kopi dari hulu hingga hilirisasi produk. Gagasan tersebut dapat dituangkan dalam rumusan regulasi tentang tata niaga kopi salah satu poin penting adalah harga minimum kopi.

Berpedoman pada Undang-Undang no.9 tahun 2011, skema Sistem Resi Gudang (SRG) menjadi penting dalam proses pembiayaan akibat anjloknya harga dan permintaan. Walaupun pencairannya 70% namun petani dapat menjual kembali kopi pada saat harga relatif tinggi. Manfaat lainnya adalah mutu kopi sudah terjamin walaupun disimpan dalam waktu lama.

Banyak petani belum memahami prosedur sistem resi gudang, sebagian besar justru berharap kopi itu dapat langsung dibeli bukan sebagai jaminan. Kondisi ini diharapkan Pemerintah Daerah dapat menggandeng para pihak untuk berinvestasi, paling tidak pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi terhadap nilai bunga simpanan.

Jadi, benang merah yang dapat penulis utarakan menyangkut persoalan utama kopi Arabika Gayo adalah produktivitas bukan letaknya pada harga apalagi kualitas kopi. Harapan besar tentunya rasa kecintaan kita terhadap mutiara hitam dari Gayo ini semakin semakin tinggi.

Mari perbaiki kebun, rawatlah tanaman kopi seperti anak sendiri dengan mengikuti anjuran pemerintah yaitu Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49/Permentan/ot.140/4/2014 tentang pedoman teknis budidaya kopi yang baik (good agriculture practices/GAP). Salam Hangat Kopi Gayo!

Dedi Ikhwani S.P, Tenaga Pengajar Prodi Diploma III Manajemen Agribisnis Unsyiah

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda