Selamatkan Anak Kita dari Bahaya Media Sosial
Font: Ukuran: - +
Penulis : Nelliani
Nelliani, M.Pd, Guru SMA Negeri 3 Seulimeum, Aceh Besar. [Foto: for dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Pengaruh media sosial makin meresahkan bagi anak-anak kita. Tidak sedikit perilaku sehari-hari mereka menampakkan apa yang sering dikonsumsi di media sosial. Beberapa waktu lalu, masyarakat Aceh dihebohkan aksi kekerasan menggunakan senjata tajam. Pelaku dan korban adalah remaja usia sekolahan. Apa yang mendorong anak-anak ini berbuat seberani itu, “menghajar” anak lain bahkan sudah di luar nalar?.
Sebagaimana diberitakan media lokal, Personel Polres Lhokseumawe mengamankan seorang remaja yang membacok temannya menggunakan sejata tajam di Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe. Mirisnya, pelaku dan korban berumur 16 tahun. Usia yang terlalu dini untuk bisa melakukan tindakan senekad itu.
Sebelumnya, seorang remaja RR (14) asal Lhokseumawe dikeroyok sejumlah remaja lainnya. Akibat peristiwa itu, korban mengalami luka di telapak kaki yang diduga terkena senjata tajam dan memar di pinggang. Mendapat laporan tersebut, polisi bergerak cepat dan berhasil mengamankan 13 remaja yang diduga pelaku. Bersama mereka, polisi menyita senjata tajam seperti celurit, pisau dan lainnya.
Pada kesempatan lain berita tentang bullying semakin menyeruak ke ruang publik, baik perundungan di dunia nyata maupun penindasan di ranah maya. Bukan hanya kekerasan fisik, tapi pemalakan yang menyerang psikologis. Pelaku dan korban kebanyakan anak dan remaja. Di era digital seperti sekarang ini, sangat sulit untuk tidak mengaitkan kasus-kasus serupa dengan kebiasaan mereka berjejaring di jagat maya.
Dilansir dari katadata, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 sebanyak 655 anak harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Data tersebut sekaligus mengungkap fakta, 506 anak melakukan kekerasan fisik, sementara 149 anak melakukan kekerasan psikis. Menurut KPAI, pengaduan kasus anak yang berkonflik dengan hukum bagaikan fenomena gunung es. Jumlah yang tampak di permukaan hanya sebagian kecil saja, realitanya bisa jadi banyak sekali kejadian serupa di lapangan. Namun, tidak terlapor atau tidak terlihat.
Media Sosial
Pakar psikologi telah banyak membahas pengaruh buruk media sosial terhadap perkembangan perilaku dan emosional anak. Anak rentan menjadi pelaku atau korban karena minimnya pemahaman akan bahaya internet. Selain itu, kebebasan mengakses media digital tanpa dibarengi bimbingan dan pengawasan justru membuka peluang mereka terjerumus dalam berbagai perilaku menyimpang.
Salah satunya, film, video atau games yang sarat konten kekerasan dan mudah diakses dari youtube, instagram juga facebook. Tayangan yang menampilkan aksi kekerasan akan mempengaruhi memori anak tentang gambaran dunia yang penuh kekhawatiran, berbahaya dan penuh rasa takut. Anak yang sering mengkonsumsi tontonan kekerasan lama kelamaan akan membentuk persepsi bahwa lingkungan bukanlah tempat yang nyaman dan ramah baginya. Untuk itu, dia selalu merasa setiap orang harus diwaspadai.
Konten-konten bermuatan kekerasan berpotensi memunculkan perilaku agresif dan anti sosial. Anak yang gemar menonton adegan sadis, cenderung menunjukkan perilaku yang sama dalam keseharian. Dia menjadi pemarah, bertindak kasar, senang menyakiti teman bahkan kesulitan membangun interaksi dalam pergaulan dengan orang lain.
Salah satu karakter anak adalah punya keinginan meniru apa yang dilihat. Tidak bisa kita bayangkan jika tayangan yang ditonton melibatkan penggunaan senjata tajam atau senjata api. Maka keinginan mencoba aksi serupa dikehidupan nyata akan sangat besar, tanpa memahami resiko yang ditimbulkan. Di titik ini kita bisa menarik benang merah, tidak menutup kemungkinan adanya kemiripan antara kekerasan menggunakan benda-benda berbahaya dengan kengerian tontonan yang sering disaksikan.
Wulandari dalam buku Perilaku Remaja (2019) mengungkapkan sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika, menunjukkan film-film yang menampilkan kekerasan berdampak buruk pada perilaku remaja. Anak yang sering menonton film kekerasan terlibat lebih banyak melakukan tindak kekerasan dibandingkan temannya yang jarang menonton film sejenis. Lebih lanjut, Polisi Amerika menyebutkan sejumlah kasus kekerasan yang pernah ditangani ternyata dilakukan oleh remaja persis sama dengan adegan yang ditonton. Sebagai peniru, anak meniru dan mengidentifikasi apa yang dilihat.
Sayangnya, sebagian orang tua milenial kurang menyadari fenomena tersebut. Mereka kerap membolehkan anak-anak akrab dengan gawai dan media sosial dengan beragam alasan, supaya anak tidak gagap teknologi, tidak ketinggalan zaman atau untuk mengalihkan perhatian agar tidak mengganggu kesibukannya. Padahal raksasa media sosial seperti youtube, facebook dan instagram menerapkan ketentuan mengenai batasan usia minimum penggunanya yaitu 13 tahun. Hanya saja pemalsuan tahun kelahiran sering kali dilakukan secara online untuk sebuah keinginan mendapatkan akun pribadi.
Berdasarkan riset Neurosensum Indonesia Consumer Trend 2021: Social Media Impact on Kids menunjukkan, 87 persen anak-anak Indonesia sudah dikenalkan media sosial sebelum usia 13 tahun. Bahkan sebanyak 92 persen anak-anak keluarga berpenghasilan rendah sudah mengenal medsos lebih dini (mediaindonesia.com,16/04/2021). Adapun yang melatarinya, agar anak sibuk sendiri dan orang tua bisa fokus pada pekerjaan.
Maka tidak mengherankan jika kita sering menemukan sekumpulan orang duduk saling berdekatan tetapi jarang bertegur sapa. Di meja makan, acara keluarga, pun ketika di restoran saat makan bersama. Sungguh pemandangan yang miris, secara fisik berdekatan, namun berjauhan secara emosional. Tidak ada kebersamaan, minim komunikasi, anak asyik dengan gadgetnya sedangkan orang tua sibuk dengan gadget mereka.
Padahal, dampak buruk media sosial pada anak tidak diragukan lagi. Namun, sebagian orang tua terkesan tidak peduli. Aneh rasanya jika kita masih mengganggapnya baik-baik saja bahkan ketika sifat agresif sudah mewarnai perilaku keseharian mereka sampai membahayakan orang lain.
Edukasi Orang Tua
Hidup di zaman milenial memang sangat sulit untuk tidak bersentuhan dengan media sosial. Begitu pun anak-anak kita. Mereka dituntut mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi mulai dari tingkat pendidikan dasar. Saat pandemi mereka diharuskan belajar jarak jauh melalui pembelajaran daring untuk mencegah penyebaran virus corona. Sejak itu anak kian akrab dengan media digital.
Kini, pemanfaaatan media sosial sebagai sarana belajar merupakan keniscayaan. Guru menyampaikan materi, menginstruksikan tugas, atau mengadakan penilaian melalui aplikasi whatsapp group, google classroom, google form maupun email untuk kemudahan. Kemudian meminta siswa mengirim laporan dengan media yang sama. Keterhubungan anak dengan media sosial semakin tidak bisa dihindari seiring penggunaannya sebagai sumber belajar, sarana hiburan atau alat komunikasi.
Mencermati seriusnya dampak yang ditimbulkan, orang tua diharapkan mengedukasi anak agar bijak dan selektif berselancar di dunia maya. Anak perlu diberi pemahaman dalam memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk tujuan positif mengembangkan kemampuan diri. Keterlibatan orang tua melalui bimbingan dan pengawasan sebagai salah satu solusi menyelamatkannya dari bahaya media sosial. [**]
Penulis: Nelliani, M.Pd (Guru SMA Negeri 3 Seulimeum, Aceh Besar]