kip lhok
Beranda / Opini / Rusaknya Ruang Penjelasan

Rusaknya Ruang Penjelasan

Sabtu, 29 Februari 2020 20:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Ilustrasi. [IST/Dialeksis.com]

Oleh Bisma Yadhi Putra

SURVEI LIPI yang menampakkan Aceh sebagai satu dari tiga daerah dengan tingkat penyebaran kabar bohong/fitnah (hoax) yang cukup tinggi disikapi dengan perasaan tak suka oleh banyak pihak. Antipati ini kenyataannya sikap politik belaka, bukan suatu “protes ilmiah”. 

Lembaga—yang diresmikan tahun 1967—itu oleh beberapa orang dituduh berpihak pada calon yang tak dipilih mayoritas orang Aceh pada Pilpres 2019. Menurut orang-orang yang tak terima, itulah sebabnya mengapa LIPI “menjelek-jelekkan Aceh dengan survei tersebut”. Fakta tingginya peredaran hoax di Aceh disangkal.

Beberapa bulan kemudian Kementerian Agama merilis “Indeks Kerukunan Umat Beragama 2019”. Dari 34 provinsi, Aceh menempati urutan 34 dengan skor 60,2. Entah siapa yang memulai, survei itu ditafsir dengan menyebut “Aceh adalah daerah paling intoleran”. Kemenag pun ramai diprotes. Sisi baiknya: protes yang disampaikan menuntut penjelasan ilmiah dari Kemenag.

Masyarakat Aceh yang gusar, termasuk warga non-Muslim di Aceh, mempertanyakan metodologi yang dipakai sehingga hasilnya bisa begitu. Tapi keseriusan menyebut orang Aceh intoleran karena skor 60,2 itu adalah satu kebodohan.

 Bukan berarti karena skornya cuma segitu dan posisinya paling bawah Aceh tepat dikatakan sebagai “daerah intoleran”. Pembacaan yang tepat: Aceh adalah daerah yang toleransinya bernilai 60,2, dan provinsi-provinsi dengan skor di atas itu merupakan daerah yang lebih toleran dari Aceh.

Protes atau kemarahan atas dua survei tersebut diarahkan pada lembaga penyelenggaranya. Hasilnya disangkal karena dianggap tak sesuai kenyataan. Reaksi yang berbeda sama sekali justru ditunjukkan terhadap survei BPS yang menampakkan Aceh sebagai provinsi paling miskin di Pulau Sumatera. 

Tapi bukan BPS yang lantas diserang, termasuk dpertanyakan metodologinya. Ada penerimaan umum atas survei BPS ini. Yang dikritik habis-habisan adalah Pemerintah Aceh, utamanya Pelaksana Tugas Gubernur Nova Iriansyah. 

Orang banyak berpendapat kemiskinan itu nyata tetapi sepenuhnya tanggung jawab satu orang itu. Walaupun mereka tahu DPRA, bupati, dan wali kota juga patut dikritik habis-habisan, tetapi ketiga pihak ini bisa duduk santai sambil “putar-putar bola senter”.

Kemiskinan, hoax, dan sejumlah ketegangan dalam kehidupan beragama sama-sama kenyataan yang ada di Aceh. Kenyataannya masih banyak penduduk Aceh yang miskin, kenyataannya belakangan masih ada konflik antarkelompok beragama, kenyataannya memang banyak hoax beredar di Aceh saat pemilu. 

Bahkan hoax banyak pula disebarkan oleh sejumlah akademikus dari dua kampus ternama di Aceh, Unsyiah dan Unimal, baik dalam WAG Dosen maupun secara lebih terbuka di media sosial. Semua itu bukan ilusi. Semua itu kekusutan yang nyata.

Tetapi ketika politik dibawa dalam menyikapi fakta, kekacauan mulai terjadi. Ada fakta yang disangkal sebagai, sebagian lain diterima karena menguntungkan atau dapat digunakan untuk keperluan politik tertentu. Artinya penerimaan atas suatu survei/penelitian tak semata-mata karena ia benar secara metodologis serta berhasil mengulas suatu fakta dengan akurat. 

Boleh jadi metodologi yang diterapkan sudah benar dan hasilnya dapat digunakan untuk menyerang lawan politik. Boleh jadi pula ada cacat metodologis namun hasilnya juga memungkinkan sekali untuk siasat tersebut.

Kelakuan begini jelas bukan suatu sikap yang akademis; itu politis belaka. Penerimaan terhadap hasil penelitian yang menguntungkan posisi politik tentu akan melompati pemeriksaan atas ketepatan metodologi dan hasil penelitiannya. 

Sebaliknya, bila penelitian itu mengungkapkan temuan-temuan yang tak dapat digunakan untuk keperluan politis, apalagi menampakkan cacat perilaku kelompok diri, maka akan ditentang hasilnya, akan digugat metodologinya, akan didesak pembuatnya minta maaf.

Semua orang berhak menyampaikan penjelasan atas segala perkara yang berhubungan dengannya. Kepala daerah yang dinilai tak becus mengatasi kemiskinan boleh menjelaskan mengapa kondisinya masih demikian. LIPI juga bisa menjelaskan mengapa Aceh, yang masyarakatnya terkenal islami, jadi daerah yang banyak peredaran materi-materi kampanye hitam. 

Kemenag juga mesti menjelaskan mengapa skor Aceh turun padahal tahun lalu seorang peneliti mereka mengatakan kerukunan di Aceh semakin baik. Masyarakat juga punya hak untuk menyampaikan penjelasan, baik soal keberatan maupun penerimaannya.

Ruang penjelasan demikian tak boleh dimasuki orang-orang yang menempatkan prasangka di depan. Orang-orang yang hendak masuk ke dalamnya mesti menyucikan dari hadas prasangka agar tak merusak ruang tersebut; agar tak menjadikannya sebagai arena penuh ketegangan-ketegangan tak mendidik. 

Misalnya, pemerintah daerah tak boleh masuk ke situ dengan mencurigai sekelompok warga yang mengkritiknya punya tendensi kebencian akut. Para pengkritik juga tak boleh demikian sehingga setiap penjelasan, bahkan sebelum disampaikan, telah diperspesikan sebagai sesuatu yang pasti tak benar. Akhirnya tak ada penjelasan yang “benar” di situ. Dari sinilah keributan tak akan tersudahi.

Kita semua dapat membayangkan bagaimana rasanya berada dalam posisi sebagai pihak yang meski sudah memberi penjelasan dengan benar atau jujur tetapi tetap dianggap berkilah. Soal ini, saya jadi teringat satu kejadian pada waktu konflik bersenjata dulu.

Pada satu pagi tahun 2003, sekelompok laki-laki di sebuah wilayah Aceh Utara berkumpul di warung kopi. Mereka tidak ke kebun. Sesekali mereka menengok kondisi di luar untuk memantau kedatangan TNI. Rupanya, regu tentara yang dipantau tersebut memantau pula warung kopi tersebut dan kembali mendapati yang duduk di sana adalah orang yang itu-itu saja.

Semua orang di dalam disuruh keluar, pengunjung maupun pemilik warung kopi. Sambil menghajar setiap orang, tentara mengkritik pula kebiasaan duduk-duduk santai tersebut: “Kalian orang Aceh pantas miskin karena malas-malas. Pagi-pagi sudah di warung kopi, bukan kerja”.

Semua laki-laki dewasa yang mengalami kekerasan pada pagi itu tak ada yang sejahtera. Mereka semua menghidupi keluarga miskinnya masing-masing. Tapi satu di antara mereka kemudian berpikir ada “ruang penjelasan” yang bisa dimasuki. Ia pun meluruskan mengapa mereka tak bekerja sudah berhari-hari: “Kami tidak berani pergi ke kebun. 

Kalau pas pergi atau pulang kebun jumpa aparat, pasti dipukul, pasti dicurigai anggota GAM yang baru turun gunung, atau dituduh mengantar makanan untuk orang itu (GAM). Makanya kami duduk-duduk di warung kopi saja. 

Kerja, kami tidak bisa. Pekerjaan lain juga tidak ada. Kalau kami pergi cari kerja ke luar kampung, rumah setiap hari akan didatangi tentara. Orangtua dan istri kami diinterogasi karena tentara curiga kami tidak pernah kelihatan lagi di kampung sebab sudah naik ke gunung sama orang GAM”.

Setelah penjelasan tersebut disampaikan, tentara menganggap itu alasan belaka untuk bermalas-malasan. Mereka pun disiksa lagi lagi, lalu dimasukkan ke parit dan dimaki-maki sebagai pemalas. 

Tidak ada penjelasan yang berguna dalam kondisi demikian, sebab kelompok tentara tersebut telah berprinsip tak akan percaya pada apa pun penjelasan yang disampaikan. Mereka melulu menempatkan prasangka di depan, persis beberapa orang Aceh akhir-akhir ini.

Bisma Yadhi Putra, esais dari Gampong Panggoi, Lhokseumawe

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda