Beranda / Opini / Rencana Penghapusan KKR Aceh dan Implikasinya terhadap Perdamaian di Aceh

Rencana Penghapusan KKR Aceh dan Implikasinya terhadap Perdamaian di Aceh

Sabtu, 07 Desember 2024 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Rachmad Setiawan

Rachmad Setiawan, mahasiswa Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) Universitas Gadjah Mada. [Foto: dokumen pribadi untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Opini - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh adalah lembaga yang didirikan berdasarkan amanat Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU No. 11 Tahun 2006), hal ini merupakan bagian penting dari perjanjian damai Helsinki tahun 2005. 

Keberadaan KKR Aceh bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, memberikan reparasi kepada korban, serta memfasilitasi rekonsiliasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Rencana penghapusan KKR Aceh yang belakangan ini menjadi isu hangat untuk dibahas memunculkan kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan perdamaian dan upaya penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh.

Dasar Hukum KKR Aceh

KKR Aceh diatur dalam Pasal 229 hingga Pasal 235 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Dalam pasal-pasal tersebut, disebutkan bahwa KKR bertugas mengungkapkan kebenaran atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama konflik, menyusun rekomendasi reparasi, dan mendorong rekonsiliasi di tingkat masyarakat.

UU ini juga mengacu pada prinsip-prinsip perjanjian damai Helsinki yang menegaskan pentingnya keadilan transisional dalam membangun perdamaian berkelanjutan.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga relevan dalam konteks ini. Kedua Undang-Undang ini mengakui kewajiban negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui mekanisme hukum dan non-hukum termasuk komisi kebenaran.

Argumen Mendukung Keberadaan KKR Aceh

KKR Aceh merupakan salah satu intrumen keadilan transisional yang diakui secara internasional. Lembaga ini memungkinkan pengungkapan kebenaran tanpa harus melalui jalur hukum yang sering kali terhambat oleh berbagai kendala seperti kurangnya bukti atau resistensi politik. KKR menyediakan ruang bagi para korban untuk berbicara, mengurangi beban trauma kolektif, dan memberikan pengakuan atas penderitaan yang dirasakan korban.

KKR Aceh memiliki peran penting dalam merekomendasikan langkah-langkah reparasi bagi korban konflik. Reparasi yang di maksud baik berupa pemberian kompensasi materiil maupun pemulihan simbolis yang menjadi langkah penting dalam membangun kepercayaan korban kepada pemerintah.

Selain itu, KKR berfungsi sebagai wadah untuk mendorong rekonsiliasi yang esensial bagi masyarakat yang pernah terpecah dan trauma oleh konflik yang pernah terjadi.

Penghapusan KKR Aceh dapat dilihat sebagai pengingkaran terhadap komitmen yang telah disepakati dalam perjanjian MoU Helsinki. Hal ini berpotensi merusak kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat dan mengancam stabilitas politik di Aceh.

Implikasi Penghapusan KKR Aceh

Jika KKR Aceh dihapus, hak-hak korban untuk mendapatkan kebenaran, keadilan, dan reparasi akan terabaikan. Padahal, hak tersebut dijamin oleh berbagai instrumen hukum nasional dan internasional. Ketidakmampuan pemerintah untuk memenuuhi kewajiban ini dapat memperburuk rasa ketidakadilan di kalangan korban dan keluarganya.

Perdamaian Aceh tidak hanya bergantung pada penghentian konflik bersenjata akan tetapi juga pada penyelesaian akar masalah, termasuk pelanggaran HAM masa lalu. Penghapusan KKR Aceh juga dapat memicu kekecewaan di kalangan masyarakat Aceh yang dapat mengarah pada ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.

Jika KKR benar-benar dihapus, hal ini dapat menjadi preseden buruk bagi mekanisme keadilan transisional di wilayah lain. Keputusan ini juga mengirim pesan bahwa pemerintah tidak serius dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Solusi Alternatif

Alih-alih menghapus KKR Aceh, Pemerintah seharusnya fokus pada penguatan lembaga ini. (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memberikan dukungan yang memadai kepada KKR Aceh agar dapat menjalankan tugasnya denga optimal. (2) Proses kebenaran dan rekonsiliasi hanya akan berhasil jika masyarakat terlibat secara aktif dan pemerintah perlu memfasilitasi partisipasi ini melalui sosialisasi dan program-program komunitas. (3) KKR Aceh dapat bermitra dengan Komnas HAM, LSM, dan Organisasi Internasional untuk meningkatkan kapasitas dan kredibilitasnya.

Penutup

Rencana penghapusan KKR Aceh bukan hanya masalah administratif akan tetapi juga mencerminkan komitmen pemerintah terhadap penyelesaian pelanggaran HAM dan perdamaian berkelanjutan di Aceh. Sebagai bagian dari perjanjian dalam yang disepakati bersama di Helsinki, keberadaan KKR Aceh adalah simbolis dari upaya membangun kembali kepercayaan masyarakat Aceh kepada Negara.

Penghapusan lembaga ini dapat menciptakan luka baru dalam proses rekonsiliasi yang belum sepenuhnya tuntas. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan implikasi sosial, politik, dan hukum sebelum mengambil langkah yang berpotensi mengancam stabilitas yang damai di Aceh.

Dengan mengacu pada UU No. 11 Tahun 2006, pemerintah seharusnya memperkuat KKR Aceh sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan perdamaian yang telah disepakati bersama. Tugas berat menyelesaikan pelanggaran HAM di Aceh membutuhkan komitmen berkelanjutan dari semua pihak, bukan penghentian upaya yang telah berjalan. [**]

Penulis: Rachmad Setiawan (Mahasiswa Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) Universitas Gadjah Mada)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI