Refleksi 79 Tahun Pasca Kemerdekaan Indonesia
Font: Ukuran: - +
Penulis : Teuku Alfin Aulia
Teuku Alfin Aulia, Penerima program Beasiswa PBNU Al Azhar Mesir, founder Halaqah Aneuk Bangsa. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Kemerdekaan dan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri adalah cita-cita universal yang diimpikan oleh setiap bangsa di seluruh dunia. Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak asasi yang seharusnya dimiliki oleh setiap bangsa demi tercapainya perdamaian global.
Oleh karena itu, pembukaan UUD 1945 menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa dan bahwa penjajahan harus dihapuskan karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat muncul setelah serangkaian perjalanan panjang yang dipenuhi oleh intervensi asing selama lebih dari tiga abad. Tanpa penjajahan, mungkin Indonesia hanya akan menjadi kumpulan pulau dengan pemerintahan yang terpisah, mirip dengan kondisi Balkan di Eropa atau kepulauan di Samudera Hindia.
Setelah perjuangan yang melelahkan selama hampir tiga abad, kemerdekaan akhirnya terwujud setelah Jepang meninggalkan wilayahnya dan negara-negara jajahan lainnya di Asia Timur. Siapa sangka, Jepang, sebagai raksasa Asia, dapat tumbang dalam sekejap hanya karena bom atom yang dijatuhkan oleh Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki? Banyak tokoh bangsa saat itu tidak percaya dan tetap menunggu janji kemerdekaan yang dijanjikan ketika Jepang datang sebagai pelindung bangsa-bangsa Asia.
Namun, peristiwa penculikan oleh para pemuda yang mendesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia akhirnya terjadi. Setelah proklamasi, Sekutu sebagai pemenang Perang Asia kembali menduduki bekas jajahan mereka yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang. Secara perlahan, kawasan Indocina, Semenanjung Malaya, Sarawak, dan Papua kembali dikuasai oleh Sekutu Eropa yang sama brutalnya dengan Jepang.
Indonesia yang masih muda harus menghadapi kenyataan pahit, dengan tentara Sekutu secara berulang menduduki kota-kota penting melalui berbagai agresi. Beberapa kali perundingan diplomasi dilakukan untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari dunia.
Senjata bambu runcing yang dipakai oleh para pejuang tidak cukup untuk mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai negeri ini dengan peralatan perang modern mereka. Jika kemerdekaan bergantung pada kekuatan diplomasi saat itu, kenyataannya banyak pemimpin bangsa yang dengan mudah ditangkap dan diasingkan.
Jika bukan karena rahmat Allah, nama Indonesia mungkin akan terus menjadi antitesis dari Hindia Belanda, yang memiliki pengaruh kuat selama hampir tiga abad. Kekuasaan asing tersebut sangat kokoh dan didukung oleh kaum londo ireng yang menjadi tujuan akhir Belanda, mirip dengan nasib aborigin di Australia dan penduduk Indiana di Amerika yang musnah dan dipaksa mengikuti budaya penjajah mereka.
De Jonge, seorang gubernur jenderal Belanda didalam sebuah pidato terkenalnya, pernah menyatakan ungkapan optimismenya tentang keberlangsungan Hindia Belanda pada tahun 1930: "Kami telah memerintah di sini selama tiga ratus tahun dengan cambuk dan tongkat, dan kami harus melakukannya untuk tiga ratus tahun lagi."
Tanpa kedatangan Jepang dan kejatuhannya yang tiba-tiba, mungkin nama Hindia Belanda akan tetap abadi hingga kini. Rentetan peristiwa yang luar biasa ini, yang mengantarkan Indonesia menuju kemerdekaannya, tidak mungkin terjadi tanpa rahmat Tuhan.
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…" Demikianlah rangakaian kata-kata tersebut termaktub rapi dalam pembukaan Undang-Undang Dasar negara, mencerminkan betapa rumitnya kondisi saat itu hingga Indonesia akhirnya dapat berdiri dengan rahmat-Nya.
Tanpa rahmat-Nya, berbagai peristiwa yang nadir tersebut tidak mungkin terjadi, dan ketajaman bambu runcing para pejuang tidak akan cukup untuk mengusir tentara Sekutu yang baru saja mampu mengalahkan dua kekuatan besar di timur (Jepang) dan barat (Jerman).
Bersyukur atas rahmat-Nya dalam mengisi kemerdekaan hanya dapat diwujudkan dengan memanifestasikan perintah-Nya dalam setiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Tanggung jawab ini tidak hanya dapat dilakukan secara personal, tetapi juga harus diwujudkan secara komunal dan formal.
Memanifestasikan hukum dan ketetapannya adalah tuntutan yang harus dipatuhi oleh pemangku kebijakan dalam negeri. Hampir menjelang seabad berdirinya republik ini, hukum warisan kolonial masih diterapkan dalam bidang perdata dan pidana.
Sementara itu, manifestasi dari hukum Ilahi yang menjadi identitas bangsa dan sumber acuan hukum berbagai kesultanan Islam untuk melawan pengaruh penjajah Eropa selama berabad-abad masih sangat minim digunakan dan diperhatikan oleh pemangku kebijakan.
Mengacu pada pembukaan Undang-Undang Dasar yang telah disebutkan, Indonesia hanya dapat berdiri atas berkat rahmat Allah semata. Bukan pemberian penjajah Belanda atau negara Eropa lainnya. Oleh karena itu, penting untuk menjalankan perintah-Nya dan memanifestasikannya dalam berbagai aspek kehidupan negara.
Saat ini, terdapat fenomena di mana pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mencoba membenturkan agama dan negara. Menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79, publik di seluruh negeri memperhatikan sebuah lembaga badan pengarah ideologi Pancasila, terkait pelarangan anggota Paskibraka untuk mengenakan hijab saat melaksanakan tugas mengibarkan bendera merah putih di Istana Negara.
Prosedur ini mencerminkan sikap arogan dari penguasa saat ini. Perayaan yang berlangsung setiap tahun dalam upacara pengibaran bendera seharusnya tidak menjadi ajang untuk mempertentangkan konsep agama. Pelarangan ini tidak hanya menimbulkan pertanyaan mengenai kebebasan beragama, tetapi juga mengenai bagaimana negara menghormati dan melindungi manifestasi dari perintah Nya dalam mensyukuri Rahmat Nya dialam kemerdekaan ini.[**]
Penulis: Teuku Alfin Aulia (Penerima program Beasiswa PBNU Al Azhar Mesir, founder Halaqah Aneuk Bangsa)