kip lhok
Beranda / Opini / Problem Politik Identitas di Era Virtual

Problem Politik Identitas di Era Virtual

Rabu, 07 Juli 2021 13:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Akhsanul Khalis [Foto: Ist]

Revolusi teknologi digital sukses melahirkan inovasi untuk membantu kerja manusia tetapi efek lain kehadiran revolusi digital juga berpotensi terjadi penghancuran demokrasi. Seperti perihal media sosial yang belakangan ini kian liar digunakan untuk mengekspresikan pandangan politik indentitas.

Ekses perdebatan politik identitas antara politikus, buzzer dan warga biasa, seringkali meninggalkan bukti jejak digital pada akun media sosial yang terkait penyebaran informasi hoax dan cyberbullying atas nama fanatisme agama, sekte, etnis serta arogansi kelas dan organisasi masyarakat. Berkelindannya fanatisme politik identitas dengan dunia virtual menyisakan problematis bagi keberlangsungan masa depan demokrasi saat ini.

Virtualisasi Politik

Wujud kekuatan revolusi teknologi digital berhasil membentuk apa yang diistilahkan; “Virtualisasi Politik” (Yasraf A. Piliang, 2005). Dimana daya kontestasi dan mobilisasi politik sudah beralih mengkerut ke dalam dimensi virtual, tak dipungkiri selama ini kecanggihan teknologi virtual digunakan masyarakat sebagai mesin penggerak opini paling efektif, seperti menjadikan akun media sosial (facebook, twitter, instagram) sebagai arena pertarungan elit politik untuk tampil memenangkan ide gagasan agar meraih dukungan masyarakat.

Saat ini elite politik sangat diuntungkan dengan kehadiran teknologi virtual sebagai alat komunikasi pencitraan. Dipastikan hampir semua politisi mengunakan medsos, jasa media cyber dan analisa big data . Jika pun ada politisi yang masih bekerja manual tidak mengunakan teknologi virtual tentu akan dianggap kalah saing, seumpama kerja manual mengambil air sumur mengunakan timba di era kecanggihan pompa mesin air. Berkaca dibeberapa negara, politisi “sayap kanan” berhasil memenangkan pertarungan pemilu berkat kemampuan kampanye populis di dunia maya.

Politik identitas dalam dimensi virtual

Tanpa disadari, kelimpahan penggunaan teknologi virtual demi kepentingan politik justru awal mimpi buruk. Seiring waktu, insting purbawi persaingan dan pemaksaan garis politik identitas, seperti dikatakan seorang ekonom dunia Amartya Sen akibat “watak soliteris”. Watak tersebut ikut terjembatani dengan kemampuan digitalisasi informasi saat ini. Akibatnya polarisasi (pembelahan) di tengah masyarakat semakin tak terelakkan dan meluas.

Secara langsung perkembangan kemampuan teknologi informasi menjadi “agent” penentu semakin meluasnya perkembangan politik identitas di masyarakat. Algoritma sebagai bahasa matematis yang bertujuan mengakumulasi setiap data-data virtual, dengan mudah mengkategorikan dan mengarahkan pandangan politik seseorang bersadarkan intensitas kunjungan ke laman internet atau akun media sosial.

Sebagaimana diungkapkan Jamie Bartlett dalam karyanya Matinya Demokrasi Dan Kuasa Teknologi (2021), tentang “kendali algoritma”. Seseorang menyukai artikel tentang tema permusuhan politik identitas di medsos, Ia akan terus dibanjiri rekomendasi artikel bergenre serupa di akun media sosialnya. Kendali algoritma yang begitu massif mampu mempengaruhi realitas seseorang, umat manusia saat ini sepenuhnya mulai ketergantungan dan menyerahkan nalar kritisme politik kepada kuasa kapitalisme teknologi digital.

Padahal pihak kapitalis teknologi digital tidak pernah bertanggung jawab penuh terhadap dampak kondisi psikopolitik. Kapitalisme teknologi digital cuma bisa memberikan ilusi kebebasan tapi tidak memberikan jaminan keadilan. Eksistensi teknologi digital terkesan bebas nilai, padahal mereka tidak sunyi dari nilai subjektifitas kemana akan berpihak.

Berkaca dari Amerika Serikat sebagai negara yang dianggap sebagai kiblat demokrasi dunia. Ketika perhelatan pilpres 2020, Donald Trump sering membanjiri agitasi politik yang sarat sentimen identitas kepada pendukungnya lewat twitter agar menolak hasil kemenangan Joe Biden. Anti klimaksnya, ribuan pendukung Trump menduduki gedung kongres hingga berujung kepada aksi anarkis dan mengakibatkan korban jiwa.

 Aksi cuitan Trump itu membuat pihak twitter berang dan mengambil tindakan langsung dengan memblokir akun pribadi Trump secara permanen. Pihak twitter terlambat menyadari bahwa aplikasinya selama ini telah berhasil dijadikan alat propaganda paling ampuh membelah masyarakat Amerika Serikat bahkan menciptakan konflik di negara-negara dunia ketiga.

Dilema sensor pemerintah

Persoalan konteks memelihara stabilitas politik dan keamanan di Indonesia, kehadiran pihak pemerintah selaku pemilik otoritas berupaya menerapkan virtual police sebagai langkah untuk meredam penyebaran hoax dan ujaran kebencian yang selama ini kerap dipicu motif fanatisme politik identitas di media sosial. Kebijakan pemerintah menerapkan virtual police tidak lebih hanya status quo dalam upaya pendekatan persuasif di tengah penerapan hukum UU ITE yang selama ini dinilai mengancam kebebasan berpendapat.

Kemungkinan bias kebijakan sensor virtual police pemerintah di media sosial melahirkan iliberal demokrasi (demokrasi semu) dikemudian hari, masyarakat akan takut bersuara kritis mengenai isu politik, maka kebijakannya tidak semata-mata simplifikasi hukum. Kebijakan virtual police itu terkesan seperti ibarat menembak burung puyuh dengan senjata serbu standar militer, artinya terlalu berlebihan.

Reorientasi politik di era virtual

Lagi pula ditengah pesatnya perkembangan komunikasi virtual dewasa ini mustahil tidak saling terhubung dan berkontestasi dengan ragam identitas, hanya saja efek kebablasan dunia maya membuat situasi sulit dikendalikan. Hal yang dibutuhkan untuk menjaga nilai demokrasi di era virtualisasi politik selain pendekatan hukum.

Meskipun terkesan utopis dan kerja jangka panjang, dibutuhkan sebuah reorientasi politik kepada nilai inklusivisme dengan mendorong perubahan struktural dan kultural di level masyarakat dan elit politik agar berpikiran terbuka menghargai kesetaraan, kemanusiaan dan kemajemukan identitas. Sebuah negara akan terus bertahan bukan karena supremasi atas nama identitas namun bagaimana harus bersikap adil, tanpa keadilan atas nama ideologi apapun tetap akan musnah.

Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda