Beranda / Opini / Penyadapan Ditinjau dari Aspek Hukum di Indonesia

Penyadapan Ditinjau dari Aspek Hukum di Indonesia

Jum`at, 01 Desember 2023 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Ainal Mardhiah

Ainal Mardhiah, SH, MH, Hakim Mahkamah Agung Kamar Pidana.


DIALEKSIS.COM | Opini - Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur secara rigid tentang Penyadapan. KUHAP hanya mengatur bentuk upaya paksa dalam penegakan hukum pidana hanya meliputi tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan , penyitaan dan pemeriksaan surat. 

Namun seiring dengan perkembangan dan kemajuan zaman terutama dibidang teknologi tindak pidana yang terjadi semakin komplek dan beragam, sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap mekanisme proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, salah satunya adalah sarana yang dapat digunakan untuk mengungkap suatu tindak pidana atau kejahatan dengan melakukan penyadapan.

Pengaturan tentang penyadapan di Indonesia masih sangat beragam menurut aturan masing-masing dari setiap tindak pidana yang terjadi, saat ini setidaknya ada 20 (dua puluh) peraturan perundang-undangan yang menyebut dan atau mengatur mengenai penyadapan , baik pada tingkat undang-undang hingga peraturan menteri dan aturan pelaksanaan lainnya antara lain yaitu:

1. UU RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

2. UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsisebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomo 31 Tahun 1999;

3. UU RI Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi;

4. UU RI Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

5. UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

6. UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

7. UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

8. UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

9. UU RI Nomor 17 Tahun 2011 tentag Intelijen Negara;

10. UU RI Nomor 18 Tahun 2011 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;

11. UU RI Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten;

12. UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

13. UU RI nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi:

14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi;

15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan;

16. Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi Nomor 11/Per/M.Kominfo/02/2006tentang Tehnis Penyadapan;

17. Peraturan Menteri Informasi dan Komunikasi Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perekaman Informasi untuk Pertahanan dan Keamanan Negara ;

18. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penyadapan pada Pusat Pemantauan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

19. Standar Operasional Prosedur Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang Penyadapan

Sehingga berdasarkan hal tersebut diatas muncul pemasalahan yaitu Apa akibat hukumnya apabila pengaturan penyadapan di Indonesia terdapat diberbagai aturan?

Mengingat beragamnya aturan yang mengatur tentang penyadapan di Indonesia, menimbulkan permasalahan aturan tumpang tindih sehingga dapat berpengaruh terhadap proses penegakan hukum. maka untuk itu penulis mencoba menganalisa permasalahan tersebut dengan terlebih dahulu akan memberikan pengertian apa itu penyadapan. Penyadapan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 UU Nomor Tahun 2019 Undang Undang No 19 Tahun 2019 sebagai perubahan kedua atas Undang Undang KPK Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah “kegiatan untuk mendengarkan, merekam dan/ atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel, komunikasi , jaringan nirkabel , seperti pancaran elektromagnetik atau radio frekwensi maupun alat elektronik lainnya”.

Keberagaman pengaturan tentang penyadapan tersebut juga menyebabkan ketidak teraturan dalam tatanan pelaksanaannya diantara aparat penegak hukum, sehingga bertentangan dengan asas kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Selain itu menyebabkan otoritas yang memberikan izin untuk melakukan penyadapan tidak hanya satu. Ini menunjukan bahwa pengaturan mengenai upaya paksa penyadapan masih beragam sesuai dengan kebutuhan masing-masing lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan. 

Pengawasan terhadap pelaksanaan penyadapan juga belum jelas mekanismenya. Sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi RI No 5/PUU-VIII/2010 tanggal 2 Pebruari 2011, perlu adanya sebuah undang-undang khusus yang mengatur tentang penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. 

Undang-undang ini sangat dibutuhkan, karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan, sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara pada umumnya. Dengan adanya UU penyadapan maka akan tercipta kepastian hukum dan kejelasan mengenai proses pelaksanaan penyadapan yang sesuai dan tidak melanggar hak privasi setiap orang yang merupakan salah satu hak asasi manusia.

Dalam dunia internasional konsepsi penyadapan ideal diatur di dalam convention on cybercrime. Convention on cybercrime telah menentukan limitasi yang harus dipenuhi dalam penyadapan agar menjaga iklim demokratis dan penghormatan hak asasi manusia. Penyadapan hanya dilakukan oleh lembaga resmi negara yang memiliki otoritas sesuai dengan regulasi nasional dan internaional, adanya jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, pembatasan mengenai pihak yang dapat mengakses penyadapan, sehingga akuntabilitas terhadap hasil penyadapan sebagai forensik digital ketika akan digunakan sebagai alat bukti di persidangan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Dengan demikian kesewenang-wenangan dalam melakukan dan menggunakan data dan sistem penyadapan adalah sangat dilarang karena merupaka perbuatan ilegal dengan menggunakan perangkat, sehingga hasilnya tidak memiliki nilai pembuktian dan memberikan hak hukum mengajukan gugatan.

Penyadapan merupakan sarana teknologi yang efektif untuk mengungkapkan kejahatan yang sistematik. Penyadapan merupakan instrumen yang sangat diandalkan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, terutama dalam operasi tangkap tangan. Penyadapan menjadi  bagian dari tindakan projustia yang bersifat mengurangi dan membatasi hak asasi manusia, disisi lain dalam penegakan hukum, jaminan hak asasi manusia wajib dipenuhi dan diberikan ruang untuk membela diri.

Oleh karenanya penyadapan tidak saja dilihat dari aspek hukum pidana dalam pembuktian, penyadapan haruslah dilakukan dengan pendekatan dari aspek hukum yang tidak melanggar hak asasi manusia karena jaminan hak asasi manusia telah secara nyata diatur tersendiri dan rigid dalam dalam Pasal 28 J Ayat 2 UUD 1945 menyatakan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Hal ini juga sesuai dengan ketentutan yang diatur oleh dunia internasional dalam ICCPR (international convention civil and political rights).

Kesimpulan:

Indonesia belum mempunyai UU khusus tentang penyadapan. UU tersebut harus memuat pengaturan tentang siapa saja yang bisa melakukan. Seharusnya ada badan penyadapan nasional yang bertanggung jawab. Sehingga masyarakat memiliki ketenangan bahwa dirinya dilindungi oleh hukum dan undang-undang. Dalam rangka penguatan negara hukum terutama masalah jaminan hak asasi manusia dan penegakan hukum disisi lainnya.

Meskipun penyadapan dalam proses investagasi sangat berguna, tetapi terdapat ruang lingkup yang besar untuk disalahgunakan, Sehingga untuk meminimalisir resiko tersebut perlu didorong pembangunan sistem hukum yang memuat mekanisme perizinan, pengawasan, audit, serta pemisahan antara penerima izin dengan pelaku penyadapan. Dan lembaga yang berkompeten memberikan izin adalah hakim.

Referensi:

1. Andi Hamzah, Pemberanatasan Korupsi, melalui hukum pidana nasional dan internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 2008;

2. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Konsep KUHP Baru, Keccana Prenada Media Group, Semarang , 2010;

3. Lamintang, Pembahasan KUHAP menurut Ilmu Hukum PIdana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta 2010;

4. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana( KUHP) Serta Komentar lengkap Pasal demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991;

5. Topo Santoso, Hukum Pidana Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Depok, 2022;

6. KUHP 2003 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Undang-undang RI No 1 Tahun 2023 , Sinar Grafika , Jakarta , 2023;

7. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Semarang 2010;

Penulis: Ainal Mardhiah, SH, MH (Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda