Pengaruh Media Sosial Terhadap Pemikiran Remaja Terkait Pemilu
Font: Ukuran: - +
Penulis : M. Ilham Salim Rizuwanda
M. Ilham Salim Rizuwanda, Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry Banda Aceh. [Foto: dok. pribadi untuk Dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Opini - Media sosial telah membawa perubahan besar dalam cara remaja berpikir dan bertindak, terutama dalam konteks politik dan pemilihan umum (Pemilu). Sebagai seseorang yang telah mengamati perkembangan ini, penulis berpendapat bahwa pengaruh media sosial terhadap pemikiran remaja dalam hal politik tidak bisa dianggap sepele.
Menurut Mesch dalam penelitiannya berjudul "Hubungan keluarga dan internet: Menjelajahi pendekatan batasan keluarga" (2006) mengatakan, media sosial telah menjadi medan baru di mana informasi dan opini mengalir deras, dan remaja, sebagai generasi yang paling aktif di dunia digital, terjebak dalam arus ini dengan berbagai implikasi yang kompleks.
Remaja menggunakan media sosial tidak hanya untuk bersosialisasi dengan teman dan keluarga, tetapi juga untuk mengikuti tren terbaru, mencari informasi, dan bahkan membentuk pandangan mereka tentang berbagai isu, termasuk politik.
Apalagi, dalam konteks Pemilu, media sosial telah menjadi alat penting yang digunakan oleh politisi dan partai politik untuk menjangkau pemilih muda, mempromosikan kampanye mereka, dan mempengaruhi opini publik.
1. Akses Informasi yang Cepat dan Beragam
Salah satu hal yang sangat mencolok yaitu bagaimana media sosial menyediakan akses cepat dan beragam ke informasi politik. Tidak bisa dipungkiri, remaja sekarang lebih mudah mendapatkan informasi tentang pemilihan umum dibandingkan sebelumnya. Mereka tidak perlu menunggu berita di TV atau membaca koran, cukup dengan membuka ponsel, segala informasi sudah ada di ujung jari mereka.
Afandi (2020) dalam penelitiannya pada remaja usia 16-19 tahun di Kota Tangerang terkait pengaruh media sosial instagram, menyatakan platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok telah menjadi sumber utama informasi politik. Ini adalah sesuatu yang positif, karena memberikan kesempatan bagi remaja untuk lebih memahami isu-isu politik sejak dini.
Namun, di sisi lain, kecepatan dan keragaman informasi ini juga membawa risiko. Tidak semua yang remaja lihat dan baca di media sosial merupakan informasi yang valid atau bermanfaat. Banyaknya berita palsu atau informasi yang bias tersebar luas, membuat remaja kesulitan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini dapat mempengaruhi pandangan mereka terhadap calon atau partai politik secara tidak objektif.
2. Pembentukan Opini Publik
Di era media sosial ini, opini publik sering kali dibentuk oleh figur-figur populer seperti influencer dan selebriti. Penulis percaya bahwa ini menjadi pedang bermata dua bagi remaja. Di satu sisi, mereka mendapatkan pandangan dari orang-orang yang mereka kagumi dan percayai. Ini bisa menjadi pintu masuk bagi remaja untuk lebih tertarik pada politik dan isu-isu penting.
Namun, di sisi lain, ketergantungan pada pendapat tokoh-tokoh ini bisa membuat mereka kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mandiri. Algoritma media sosial yang hanya menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna semakin memperparah masalah ini.
Shah & Holbert (2001) dalam penelitiannya "Connecting and Disconnecting with Civic Life: Patterns of Internet Use and the Production of Social Capital" mengungkapkan fenomena 'echo chamber' membuat remaja hanya terpapar pada pandangan yang sudah mereka setujui, mengurangi peluang untuk melihat perspektif yang berbeda. Akibatnya, pemikiran politik mereka menjadi sempit dan kurang kritis, hanya berputar di sekitar ide-ide yang mendukung pandangan mereka sendiri.
3. Peningkatan Partisipasi Politik
Tidak bisa disangkal, media sosial memiliki potensi besar untuk meningkatkan partisipasi politik remaja. Saya melihat banyak kampanye politik yang menggunakan media sosial dengan sangat efektif untuk menarik perhatian remaja. Kampanye digital yang kreatif dan interaktif sering kali berhasil membuat mereka tertarik untuk terlibat dalam proses pemilihan umum dan aktivitas politik lainnya. Ini adalah hal yang sangat positif karena mendorong generasi muda untuk lebih berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Namun, partisipasi yang meningkat ini sering kali tidak diikuti dengan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu politik yang sebenarnya.
Menurut Kominfo, remaja mungkin tergoda untuk berpartisipasi hanya karena kampanye tersebut viral atau didukung oleh influencer favorit mereka, bukan karena pemahaman yang matang tentang kebijakan atau program yang ditawarkan oleh para kandidat. Hal ini bisa berakibat pada keputusan politik yang kurang bijak dan berisiko
4. Penyebaran Informasi yang Tidak Akurat
Salah satu tantangan terbesar dalam media sosial, yaitu penyebaran informasi yang tidak akurat atau hoaks. Remaja, dengan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan mereka, sering kali menjadi target mudah untuk informasi semacam ini. Saya sering mendengar cerita tentang bagaimana berita palsu tersebar dengan cepat di kalangan remaja, mempengaruhi pandangan mereka terhadap isu-isu politik. Ini adalah masalah serius yang perlu diatasi, karena dapat merusak integritas proses demokrasi.
Literasi digital dan kemampuan kritis dalam menyaring informasi menjadi sangat penting. Remaja harus belajar untuk tidak mudah percaya pada segala sesuatu yang mereka lihat di media sosial. Mereka perlu memiliki keterampilan untuk mengecek kebenaran informasi sebelum mempercayainya atau bahkan menyebarkannya. Pendidikan tentang literasi digital dan kritis harus menjadi prioritas untuk membekali remaja dengan kemampuan ini.
5. Pengaruh Sosial dan Peer Pressure
Tidak kalah pentingnya, pengaruh teman sebaya di media sosial juga memiliki dampak yang signifikan. Penulis sering melihat bagaimana tekanan untuk mengikuti pandangan politik yang populer di kalangan teman-teman dapat mempengaruhi sikap dan keputusan politik remaja.
Lenhart dkk (2010) dalam penelitiannya "Social Media & Mobile Internet Use among Teens and Young Adults", menyebutkan tekanan ini bisa datang dari mana saja, mulai dari teman dekat hingga kelompok yang mereka ikuti di media sosial. Akibatnya, remaja bisa saja mengadopsi pandangan politik tertentu hanya karena ingin diterima oleh lingkungan sosial mereka, bukan karena keyakinan pribadi yang kuat.
Menurut penulis, ini adalah tantangan yang cukup berat. Remaja perlu diajarkan untuk memiliki kemandirian pikiran dan tidak terlalu mudah terpengaruh oleh tekanan sosial. Mereka harus didorong untuk berpikir secara kritis dan mandiri dalam menentukan pandangan politik mereka. Ini penting agar mereka bisa menjadi pemilih yang lebih bijak dan bertanggung jawab di masa depan.
Secara keseluruhan, media sosial memiliki dampak yang sangat besar terhadap pemikiran remaja terkait Pemilu. Dari akses informasi yang cepat hingga tekanan sosial dari teman sebaya, media sosial menciptakan dinamika baru yang kompleks dalam pembentukan opini dan partisipasi politik remaja.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mendorong remaja untuk menggunakan media sosial dengan bijak, memahami dampaknya, dan mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis dalam menghadapi informasi politik yang tersebar di platform-platform tersebut. Hanya dengan demikian, mereka bisa menjadi generasi yang lebih siap dan bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan politik di masa depan. [**]
Penulis: M. Ilham Salim Rizuwanda (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan UIN Ar-Raniry Banda Aceh)