Beranda / Opini / Penegakan HAM: Political Will Presiden Jokowi (1)

Penegakan HAM: Political Will Presiden Jokowi (1)

Minggu, 03 Juni 2018 20:04 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Dalam upaya adanya kemauan politik yang kuat dari Presiden Jokowi untuk memproses penegakan hukum terhadap kasus-kasus (yang diduga) pelanggaran HAM berat, maka akhir-akhir ini pemerintah mengadakan 2 aras pertemuan penting dalam waktu berselang yang tak begitu lama.

Aras pertama, 23 Mei 2018, adalah pertemuan yang diinisiasi di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), antara Menkopolhukam Wiranto, Jaksa Agung M Prasetyo, dan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Namun, karena sifatnya pertemuan tertutup, maka hasilnya tidak disampaikan ke publik.

Wiranto hanya mengatakan baru tahap brainstorming. Namun, ada selentingan mengatakan membahas kemungkinan memproses lebih lanjut dari hasil penyelidikan Komnasham untuk kasus di Papua (Wasior dan Wamena), dan kasus di Aceh (Jambo Keupok).

Aras kedua, 31 Mei 2018, adalah pertemuan yang dilakukan di istana antara Presiden Jokowi dengan para orang tua korban (Kamisan ke 540) karena Presiden ingin mendengar secara langsung tuntutan dan harapan mereka. Hasil pertemuan yang dibuka ke publik bahwa Presiden akan mempelajari berkas. Penegasan jubir Johan bahwa  "Presiden berjanji akan segera memanggil Jaksa Agung dan Menko Polhukam untuk membicarakan perwakilan korban beberapa kasus HAM masa lalu." Dan, "Presiden memerintahkan pada jaksa agung untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM."

Sebenarnya, political will Presiden untuk memproses penegakan hukum terhadap kasus-kasus yang diduga merupakan pelanggaran HAM berat telah disampaikan juga sebelumnya, ketika Luhut menjabat Menkopolhukam untuk merespon perdebatan saat kampanye Pilpres. Apalagi ada situasi politik yang tidak menguntungkan untuk Papua, yang mana pihak pergerakan juga menggunakan masalah hak asasi manusia di Papua sebagai instrumen politik untuk mengkonstruksi solidaritas politik dari kawasan Pasifik. Hal ini mengganjal diplomasi Indonesia di kawasan ini.

Oleh karena itu, ada pilihan prioritas untuk mendahulukan kasus-kasus di Papua, bahkan ada upaya membangun kesepakatan dengan para aktivis di Papua. Sedangkan pembicaraan dengan Komnasham disimpulkan hasil penyelidikan kasus Wasior-Wamena dipisah menjadi 2 berkas. Kemudian, Komnasham juga melakukan penyelidikan untuk kasus Paniai. Namun, karena adanya persoalan internal, para komisioner (2012-17) yang mendapatkan mandat untuk melakukan penyelidikan tidak menyelesaikan tugasnya.

Pada saat itu, ada aras tekanan publik lainnya, yakni tuntutan untuk penyelesaian kasus 1965. Lalu, upaya pemerintah (polhukam) hingga tahap melakukan seminar guna mengetahui anatomi kasus dan solusinya. Akhirnya santer diusulkan, juga oleh pihak Komnasham pada periode tersebut, untuk masuk ke jalur non-yudisial. Skenerio itu diserahkan dari Periode Mekopolhukan Luhut ke Menkopolhukam Wiranto, dan muncul agenda pembentukan Dewan Kerukunan Nasional.

Pada saat bersamaan, juga sempat diadakan pertemuan yang diinisiasi oleh pihak Polhukam, antara Kejagung dan Komnasham, untuk melakukan bedah kasus bersama. Namun, para pihak tidak sampai pada sebuah kesepakatan. Pada saat itu, di saat omong santai dengan staf dari pihak Kejagung, saya mendengar bahwa hasil penyelidikan untuk kasus Jambo Keupok jauh menunjukkan kemajuan.

Akhirnya, dari political will pertama ini, saya kira harus diambil hikmahnya, agar tidak gagal lagi dalam mendorong kelanjutan proses penegakan hukum. Pertama, bukan saja gagal melanjutkan proses penegakan untuk kasus di Papua, tetapi juga menimbulkan kerugian dalam diplomasi politik di kawasan Pasifik karena solidaritas Pasifik justru semakin menguat untuk mendukung Papua. Pemerintah juga belum bisa menginisiasi perdamaian di Tanah Papua. Hal yang dapat dilakukan Pemerintah hanya sebatas pembangunan infrastruktur..

Kedua, upaya tindaklanjut penyelesaian kasus 65 juga macet. Hal ini merugikan rezim karena muncul aksi yang menggunakan PKI sebagai instrumen politik untuk memojokkan rezim itu sendiri.

Ketiga, semua kasus pelanggaran ham berat tidak ada kelanjutannya sama sekali, sampai muncul political will kedua dari Presiden Jokowi. Oleh karena itu, apakah lebih baik mempertimbangkan untuk memberikan kebebasan pada Pemerintah dalam menetapkan kasus yang patut didahulukan penanganannya. (Karena mendesakkan sebanyak mungkin kasus manakala ada political will dari Presiden, terbukti sudah gagal, dan justru semua kasus gagal dilanjutkan). Kedua, Presiden didorong untuk menginstruksikan pada Jaksa Agung untuk segera membentuk tim penyidikan segera. (Karena selama ini Jaksa Agung belum pernah membentuk tim penyidik, tetapi hanya melakukan seleksi administrasi terhadap berkas hasil penyelidikan Komnasham).*

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda