Pembelajaran Daring: Kesenjangan Bagi Masyarakat Miskin dan Pedalaman di Aceh
Font: Ukuran: - +
Oleh Muazzinah
Sejak Maret 2020 dunia dilanda pandemi Covid-19 (Virus Corona) termasuk Indonesia yang memberi dampak dalam seluruh aspek kehidupan.
Untuk memutus rantai penularan pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan, salah satunya physical dan social distancing yaitu masyarakat harus melakukan aktivitas dirumah seperti Work From Home (WFH), melaksanakan ibadah dirumah, pembatasan berada di ruang publik dan sebagainya.
Pada sektor pendidikan juga turut terkena dampak yang cukup fatal sehingga kegiatan belajar mengajar terpaksa harus dilakukan secara online, dalam jarak jauh atau dalam jaringan (pembelajaran daring).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19) yang menjelaskan bahwa pembelajaran dalam jaringan (daring) / jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.
Selain pada tingkat sekolah, pada perguruan tinggi juga diterapkan kegiatan belajar mengajar secara daring.
Pengambilan keputusan tersebut bertujuan untuk mengurangi penyebaran pandemi Covid-19 dan proses pembelajaran tetap berjalan.
Namun implementasi kebijakan pembelajaran daring di Indonesia membuat dilema karena konsep pembelajaran ini memberi ruang dikriminasi bagi kaum miskin karena kendala internet dan orang tua kesulitan menyediakan gawai (Deonisia, 2020).
Mengulik diskriminasi pendidikan di Indonesia bukan saja terjadi saat pandemi Covid-19. Dalam buku Orang Miskin Dilarang Sekolah dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara ekonomi dan pendidikan yang menyatakan bahwa tingkat ekonomi masyarakat tinggi maka tingkat kemampuan mereka memperoleh (lebih tepatnya membeli) pendidikan menjadi tinggi (Eko Prasetyo, 2004)
Selain itu juga terdapat kesenjangan akses yang menjadi sorotan utama dalam proses pembelajaran daring selama pandemi Covid-19. Masalahnya tidak hanya pada infrastruktur yang belum merata, namun juga kepemilikan rumah tangga dalam perangkat TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).
Meski pembelajaran daring sudah lama digadang akan menjadi solusi pendidikan, pada 2019 dalam laporan Network Readiness Index (NRI) Indonesia masih pada peringkat 76 dari 121 negara. Kelemahan terbesar ada pada partisipasi digital, jaringan internet, dan kebijakan terkait TIK (Detik.com, 2020).
Kesenjangan Digital
Pembelajaran daring harus didukung melalui berbagai akses ketersediaan perangkat personal computer (PC), laptop atau handphone, jaringan dan kuota internet serta infrastruktur lainnya supaya tidak terjadinya kesenjangan digital. Kesenjangan digital adalah perbedaan kepemilikan keterampilan digital.
Jika hendak disederhanakan, maka kesenjangan digital adalah ketidaksetaraan dalam mengakses TIK baik kesenjangan kepemilikan TIK, kesenjangan menguasai penggunaan TIK, maupun kesenjangan dalam mengakses internet (Deursen dan Van Dijk, 2010).
Kesenjangan digital adalah kesenjangan terjadi antara tingkat individu, rumah tangga, bisnis, dan area geografi yang tingkat sosial ekonominya berbeda berdasarkan kesempatan mereka untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi (Organisation for Economic Cooperation and Development, 2001).
Di Aceh, kesenjangan digital juga terjadi dalam proses belajar daring saat pandemi Covid-19 yaitu terlihat pada kesenjangan akses antara peserta didik yang ada di daerah perkotaan dan daerah pedalaman.
Misalnya terdapat murid di pedalaman Aceh Tengah harus naik ke bukit untuk belajar online (Kompas.com, 2020). Selain siswa, terdapat juga mahasiswa di pedalaman Nagan Raya, Aceh saat kuliah daring harus naik gunung terjal untuk cari sinyal internet (Tribunnews.com, 2020).
Internet menjadi masalah infrastruktur pendidikan di Aceh (medcom.id, 2020). Terdapat juga mahasiswa di Simeulue harus panjat pohon supaya dapat sinyal internet, mahasiswi di Aceh Tenggara juga panjat pohon untuk bisa kuliah daring (Tribunnews.com,2020).
Pada konteks kepemilikan TIK, jelas hanya milik masyarakat kaya karena mampu membeli ketersediaan perangkat pendukung TIK misal pc, laptop atau hp dan kuota internet maka dengan mudah bisa mengikuti proses pembelajaran daring.
Namun masyarakat miskin tidak mampu memilikinya. Kondisi sebagian orang tua dari siswa keterbatasan ekonomi sehingga tidak mampu memiliki hp maka menjadi kendala dalam pembelajaran daring (Tribunnews.com, 2020).
Hal ini juga berkaitan dengan angka kemiskinan Aceh, jumlah penduduk miskin Aceh pada September 2020 sebanyak 833.910 orang atau 15,43 persen. Jumlah itu bertambah 19.000 orang dibandingkan Maret 2020, yakni 814.910 orang (Kompas.com, 2021).
Masyarakat miskin juga dihadapkan dengan persoalan misal memiliki anak lebih dari satu orang yang sedang mengikuti pembelajaran daring maka tidak bisa memiliki perangkat TIK lebih dari satu sehingga proses pembelajaran tentu akan terkendala.
Berbagai dinamika pembelajaran daring menambah pekerjaan rumah (PR) bagi Pemerintah Aceh dalam mengatasi kesenjangan digital pada proses pembelajaran daring yaitu pertama, Pemerintah Aceh harus/sudah memiliki data/pemetaan kondisi pendidikan bagi masyarakat miskin dan pedalaman.
Kedua, membangun infrastruktur atau akses internet di pedalaman sebagai good will pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan merata. Sehingga pembangunan infrastruktur tidak hanya dilihat dari kacamata bisnis saja tetapi lebih kepada pemenuhan hak masyarakat.
Ketiga, diutamakannya bantuan ketersediaan kepemilikan TIK khusus masyarakat miskin sehingga adanya kesetaraan bahwa setiap masyarakat miskin Aceh berkesempatan mendapatkan pendidikan dengan memiliki perangkat TIK yang mendukung.
Kepemilikan TIK berkaitan dengan penggunaan dan pemanfaatan TIK pada sektor rumah tangga dan individu menjadi sesuatu yang penting untuk menilai keberhasilan program pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait dengan masyarakat informasi (Kemenkominfo RI, 2010).
Keempat, kolaborasi dengan multi stakeholder khususnya perusahaan telekomunikasi di Aceh untuk memastikan dana corporate social responsibility (CSR) melalui aksebilitas TIK misal penyediaan kuota internet gratis bagi keluarga miskin di Aceh untuk mengikuti proses pembelajaran daring.
Kelima, perlu evaluasi sejauhmana efektivitas proses pembelajaran daring bagi masyarakat miskin dan pedalaman sehingga pemerintah Aceh menemukan pola penanganan kesenjangan dengan penyesuaian pendekatan dan program yang harus dilakukan supaya tepat sasaran.
Akhir kata, saya berharap pendidikan Aceh akan berkualitas tanpa diskriminasi dan Corona segera “menghilang”. Sembari hilannya Corona maka hilang pula diskriminasi di atas muka bumi pada segala aspek.
Muazzinah, Dosen FISIP UIN Ar-Raniry