kip lhok
Beranda / Opini / Miniatur Pluralisme Aceh Tenggara

Miniatur Pluralisme Aceh Tenggara

Minggu, 25 November 2018 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Helmi Mahadi, M.A

Helmi Mahadi, M.A, Aparatur Sipil Negara Sekdakab Gayo Lues


Merayakan perbedaan dalam berbagai suku dan agama,...kontekstual GAMIFEST-Gayo Alas Mountain Internasional Festival 14 September s.d 24 November 2018.

Tak jemu-jemu mata memandang sepanjang jalan perbatasan Aceh Tenggara – Gayo Lues. Hijaunya warna pucuk dedauanan di hantaran pinggir jalan kiri – kanan; Jagung, Coklat – Jagung Coklat, dari arah Gayo Lues, perbatasan Rumah Bundar, Gunung Leuser, kecamatan Ketambe dan Subussalam.

Eksotisme pemandangan ini di belah dengan pengunungan kaki Hutan Leuser dan di sisi kiri jalan dari arah Galus, terdapat air sungai Alas, percikan air sungai mengalir sepanjang tahun, menandakan bahwa Hutan Leuser masih setia memberi asupan air bagi kehidupan biodiversity-hayati flora dan fauna di sekitarnya. Adapun ikan yang hidup di aliran sungai Alas, ikan Gegaring, bersisik tebal dan berkilat putih.

Secara singkat profil Kuta Cane sebagai kota Kabupaten yang bercorakkan etnis Alas yang masih serumpun dengan Gayo Lues, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Keunikannya terletak pada pengamalan ataupun penghayatan terhadap suku yang terdiri dari; Suku Alas, Suku Gayo, Suku Batak, Suku Karo, Suku Minangkabau, Suku Singkil, Suku Aceh, Suku Batak Mandailing, Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Nias, Suku Melayu, Suku Tionghoa. Seluruhnya ada 13 suku. Indigenous people-mayoritas Alas dan jumlah penduduk total 221.684 jiwa tahun 2017.

Deskripsi dari segi pemeluk Agama Islam 81.14%, Kristen Protestan 17.99%, Kristen Katolik 0.71% (sumber:https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Aceh_Tenggara).

Interaksi masyarakat lintas suku lebih sering dipersatukan dengan bahasa Indonesia, dan tak sedikit pula di antara mereka menguasai lebih dari satu bahasa. Akulturasi budaya satu lainnya sangat mewarnai dalam pergaulan sehari-hari baik di sekolah, Instansi Pemerintah, Pasar, Mesjid dan tempat wisata yang tersedia di sana.

Bias pergaulan yang lebih cenderung dari luar daerah pun sangat mencolok karena dari arah batas wilayah Utara dengan Kabupaten Gayo Lues, dari arah Selatan dengan Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Singkil, dari arah Barat dengan Provinsi Sumatera Utara dan dari Timur dengan Kabupaten Aceh Selatan.

Kota Cane sebagai wilayah Administrasi memiliki : 16 Kecamatan 1 Kelurahan dan 385 Desa. Dari segi kondisi topografi yang sebagian besar berbukit dan bergunung mengakibatkan banyak sungai-sungai di wilayah ini mempunyai aliran air yang cukup deras. Kutacane merupakan pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), baik dari arah Barat maupun dari Utara. Kuta Cane, long street city-dari hulu ke hilir hanya ada satu jalan menembus lintas antar kota.

Kecenderungan konflik pun yang terjadi sering berupa antar suku. Yang paling menonjol masalah pencurian ternak (ayam, itik dan kambing), ikan di kolam dan hasil kebun. Identifikasi ini berupa dari kenakalan remaja. Karena himpitan ekonomi ataupun pengaruh narkoba, bukan berupa konflik horizontal-antar masyarakat. (deep interview Sayuti; aktivitis pemberdayaan ekonomi masyarakat).

Terkait bias interaksi akulturasi budaya ini pun, kebutuhan akan hiburan pun terkesan seperti kota besar yang gemerlap dengan kafe malam ataupun diskotik. Hiburan malam, ‘memang tidak dilarang, yang dilarang buat lokalisasi maksiat’ seperti di Dolly Surabaya ataupun Pasar Kembang Yogya.

Dampak dari kenakalan remaja ini, banyak para remaja yang kategori tenaga produktif, berusia 18 s.d 30 tahun yang memilih hijrah ke kota lain seperti; tanah Karo sebagai kuli buruh tani secara berkelompok; kebun Jagung, Jeruk atau sebagai Satpam sampai ke Palembang ataupun Batam. Dan kaum ibu dan perempuan sebagai buruh kebun kopi musiman saat panen raya, di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tak sedikit di antara mereka, juga ada menjadi TKI/TKW ke Malaysia.

Keputusan hijrah berawal dari rasa putus asa karena merintis usaha sebagai peternak, kolam ikan tawar (ikan emas) ataupun berusaha palawija bila tidak dijaga super ketat—orang lain akan panen duluan.

Inilah problematika Kuta Cane, yang dikenal giat berusaha dan berkompetisi untuk terus berkembang maju. Berusaha sebagai tani yang menggantungkan kebutuhan ekonomi keluarga dari tanaman palawija; Padi dan Jagung sangat menantang. Karena umumnya, mereka yang berdomisili dataran bersawah dan berjagung. Hanya saja, ketergantungan terhadap Pupuk yang berunsur hara mikro dan makro sangat tinggi. Seperti isu bulan lalu, ketiadaan pupuk subsidi Urea, semakin langka dari waktu ke waktu. Rasa putus asa petani ini, semakin membuncah karena kelangkaan pupuk subsidi semakin larut semakin mendesak akan kebutuhan. Mereka petani Sawah terancam gagal panen. (Serambi Indonesia, 12 November 2018). Sisi lainnya, Kuta Cane adalah Kabupaten penghasil Jagung terbanyak di antara Kabupaten Aceh lainnya.

Sementara bagi petani yang di dataran tinggi, mengandalkan pada tanaman Coklat, Kemiri, sebagian lagi Karet dan Sawit. Di dalam perkebunan tersebut, dicampur sari tanaman pisang, buah-buahan; Manggis, Durian, dan Rambutan. Sepanjang tahun, sepanjang waktu itu juga, ada saja yang di penen.

Dari segi penghasilan petani ini menunjukkan angka Indek Pembangunan Manusia-IPM Kabupaten Aceh Tenggara tahun 2017 mencapai 68,09 (klasifikasi IPM sedang). IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM ini menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan untuk memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Standar hidup yang layak digambarkan oleh pengeluaran per kapita disesuaikan, ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli. IPM ini menunjukkan peningkatan tumbuh 0,90% dari tahun 2016. (sumber:https://acehtenggarakab.bps.go.id/pressrelease/2018/05/22/33/indeks-pembangunan-manusia--ipm--provinsi-aceh-2017.html).

Adapun semangat berkompetisi sangat tampak pada patron. Patron berfungsi sebagai pemberi modal usaha dalam berbagai usaha modal kerja, baik sektor pertanian, peternakan, perikanan dalam jual beli tersebut. Dalam istilah bahasa Alas ‘Belahan’ bagi hasil. Antara pemilik modal dan pekerja. Dari sinilah terkotak-kotak jenis persaingan usaha berbasiskan masing-masing suku yang berafiliasi dengan sesama suku.

Dari problema di atas, eksistensi tiap suku tersebut menarik dilihat dari cros culture-silang budaya dalam mengelola konflik dan merawat keberagaman kultur. Dari segi mangelola konflik tiap suku hanya terjalin dalam heterogen-berbagai suku bertemu dalam satu kepentingan yakni kepentingan ekonomi, seperti pedagang pupuk lebih dominan Suku Aceh, dan penampung hasil komoditi pertanian Jagung, lebih dominan suku Batak dan, petani Sawah lebih dominan suku Alas dan Batak, dari segi peternakan Ikan Emas lebih dominan suku Alas.

Pertemuan kepentingan ekonomi secara simultan satu suku dan lainnya telah terjadi saling barter—tukar jasa hasil kerja yang dikonversikan sesuai standar harga barang tersebut dalam nilai rupiah. Corak berbagai hasil kerja inilah mempertemukan mereka dalam bahasa batin-bahasa saling pengertian untuk tawar-menawar saat membeli dan menjual komoditinya. Ketergantungan mereka untuk saling menjaga mitra pedagang dan pembeli sangat penting mereka rawat; ketertiban santun berucap kata dan ramah tamah. Di sinilah satu dan lainnya harus menguasai bahasa lebih dari satu.

Yang paling menarik dari segala pertemuan kepentingan ini adalah di saat hari pekan yang terjalin dalam satu minggu; ‘hari pekan’ seperti hari Sabtu, hari pekan di Kota Kabupaten Kuta Cane-pasar induk terpadu. Hari Minggu, hari Pekan di Lawe Sigala-gala dan seterusnya. Hari pekan ternak juga ada dalam sepekan sekali.

Kota Cane merupakan ‘miniatur pluralisme Aceh’ yang memiliki keunikan tersendiri dari adanya berbagai suku dan agama. Kabupaten yang paling pluralisme di antara kabupaten yang ada di Aceh. Sebagai Kabupaten yang paling mewarnai dari berbagai etnis. Modalitas Aceh dalam pembangunan Aceh bagian Tengah; Aceh Tenggara, Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Bertemu dalam satu kegiatan GAMIFEST-Gayo Alas Mountain Internasional Festival. (Festival budaya dataran tinggi Gayo-Alas). Merayakan perbedaan sama halnya, mencapai keharmonisan dalam Budaya dan Agama. Seperti; festival tarian Saman, Pacu Kuda Tradisional, Festival Panen Kopi, Pawai Budaya Gayo Alas dan banyak lainnya.


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda