Beranda / Opini / Mengapa Para Ulama Menolak Bustami Hamzah?

Mengapa Para Ulama Menolak Bustami Hamzah?

Senin, 16 September 2024 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Munandar

Penulis: Munandar, S.PdI. MSW (Alumni MAPK Banda Aceh, Alumni Australia, dan Anggota Gemira Aceh)


DIALEKSIS.COM | Opini - Setelah wafatnya almarhum Tusop, arah politik ulama di Aceh mengalami perubahan signifikan. Saya tidak bermaksud untuk menebak-nebak ke mana kalangan ulama dayah akan melabuhkan pilihan mereka pasca Tusop. Yang lebih menarik untuk dianalisis adalah alasan di balik keengganan para ulama untuk menjadi calon wakil Bustami, menggantikan almarhum Tusop. Mengapa Bustami terpaksa mencari figur selain ulama dayah untuk calon wakilnya? Apa kira-kira pertimbangan para ulama?

Berdasarkan berita di Tribunnews yang ditayangkan pada Kamis, 12 September 2024, Tu Bulqaini menjelaskan bahwa Abu Mudi telah merekomendasikan 5 nama ulama kepada Bustami sebagai pengganti almarhum Tusop. Kelima ulama tersebut adalah Abiya Kuta Krueng (Tgk H Anwar Usman), Abon Buni Matangkuli (Tgk H Abubakar H Usman), Abi Nas Jeunieb (Tgk Nurdin M Judon), Abi Hidayat, dan Tu Bulqaini sendiri. Namun, kenyataannya, di antara kelima nama tersebut tidak ada seorang ulama pun yang bersedia diajak Bustami untuk menjadi calon wakilnya. Lamaran Bustami ditolak mentah-mentah.

Jika kita lihat dari sisi kepentingan, Bustami jelas membutuhkan seorang ulama sebagai calon wakilnya. Minimal, para pengikut ulama - yaitu para santri dayah dan masyarakat yang aktif mengikuti pengajian di dayah-dayah - akan bisa dikonsolidasikan untuk memilih Bustami. Walaupun memang, menyatukan semua arus utama dayah (Tanoh Mirah, Blang Bladeh, Samalanga, Ulee Titi dan Labuhan Haji) dalam soal politik adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Harapan tertingginya adalah, dengan isu sentimen keagamaan, massa di luar dayah juga dapat digerakkan untuk memilih Bustami. Namun harapan rupanya tetaplah harapan. Persoalannya, ulama yang mumpuni dalam bidang politik sekaliber Tusop belum nampak lagi eksistensinya hari ini.

Faktanya, hanya dengan memasangkan ulama (dalam hal ini hanya Tusop) menjadi wakilnya, Bustami memiliki harapan untuk menang melawan Mualem yang sudah menguasai teritori terbesar pemilih.

Bukti nyata dari strategi ini terlihat dari gencarnya tagline para pendukung Bustami beberapa waktu lalu: #kamoe_sajan_ulama. Seakan mereka hendak memperjelas posisi, bahwa pilihan ulama hanyalah Bustami, dan hanya Bustami yang berpihak kepada ulama dan mau mengakomodasi kepentingan ulama. Narasi yang dibangun seolah-olah ini adalah perang antara Bustami bersama ulama, melawan para perusak dan anti agama. Dengan demikian rakyat diharapkan akan tersihir dan berbondong-bondong memihak kubu Bustami.

Namun strategi ini mengandung konsekuensi negatif, baik untuk kalangan ulama khususnya maupun untuk keberlangsungan syariat Islam secara umum. Bagi kalangan ulama, mereka akhirnya akan menjadi sahabat untuk satu pihak sekaligus musuh bagi pihak yang lain. Tentu hal ini tidak diinginkan oleh para ulama. Untuk agenda penegakan syari'at, tentu akan sangat sulit mewujudkan syariat secara kaffah jika sejak awal sudah dikondisikan bahwa sebagian kalangan (Mualem dan para pendukungnya) sebagai kaum anti syari'at dan musuh para ulama.

Belum lagi jika yang terjadi adalah Ombus kalah dalam Pilkada. Bagaimana caranya para ulama nantinya mengomunikasikan agenda-agenda syariat Islam kepada lawan politik yang mengalahkan mereka? Bagaimana mereka menitipkan cita-cita mulia almarhum Tusop kepada pasangan Mualem - Dek Fadh? Padahal cita-cita Tusop bukan hanya cita-cita ulama saja tapi merupakan keinginan kita semua. Pelibatan semua pihak diyakini memang hanya satu-satunya jalan untuk menghidupkan syariat di negeri syariat ini.

Menurut analisis saya, para elit ulama dayah sudah menyadari konsekuensi negatif ini. Karenanya, mereka mencoba mencari cara agar rakyat Aceh tidak terbelah. Agar umat tetap dapat bersatu meskipun pilihan politik mereka di arena pilkada ternyata berbeda. Pun, jika memaksakan diri untuk tampil sebagai calon pengganti, tentunya peluang menang masih tetap lebih kecil dibandingkan jika (maaf) Ombus masih berpasangan dengan Tusop. Menang semakin tak pasti, tetapi umat akan semakin retak.

Inilah yang menurut saya menjadi pertimbangan utama yang mendorong ulama untuk menyatakan ketidaksediaan mereka menjadi calon wakil Ombus menggantikan Tusop. Para elit ulama dayah tampaknya lebih memilih untuk menjaga keutuhan umat daripada mengejar kemenangan politik yang semakin tidak pasti.

Penulis: Munandar, S.PdI. MSW (Alumni MAPK Banda Aceh, Alumni Australia, dan Anggota Gemira Aceh)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda