kip lhok
Beranda / Opini / Mengapa Aceh Miskin?

Mengapa Aceh Miskin?

Senin, 22 Februari 2021 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +



Oleh Akhsanul Khalis

Berdasarkan rilis data Badan Pusat Statistik (BPS), Aceh menempati ranking 10 besar provinsi termiskin di Indonesia. Tentunya ini memunculkan sorotan tajam dari berbagai elemen masyarakat. Masyarakat ramai mengkritik pemerintah Aceh yang dianggap telah gagal membawa rakyat Aceh keluar dari kemelut kemiskinan.

Kritik yang muncul bukan tanpa alasan yang tidak jelas. Selama ini pembangunan Aceh paska konflik bersumber dari gelontoran anggaran dana otonomi khusus dan hasil pendapatan daerah dengan jumlah yang fantastis. Logikanya dengan jumlah anggaran seperti itu harusnya Aceh tidak berada ranking 10 besar kemiskinan. Hal yang terjadi justru sebaliknya masih banyak rakyat Aceh belum merasakan dampak signifikan pembangunan.

Kemiskinan di Aceh bukanlah sekedar hyperrealitas (dibesar-besarkan) dari efek perdebatan di dunia maya paska rilis data BPS. Jauh sebelum hasil rilis itu muncul ke publik, masyarakat sudah gaduh gelisah dengan kemelaratan yang terjadi. Kalau dilakukan penelitian lebih lanjut dengan cara terjun langsung ke masyarakat pesisir dan pedalaman pasti ditemukan berbagai persoalan kesenjangan sosial, masih ada sebagian masyarakat Aceh tidak mempunyai rumah yang layak huni dan banyak pemuda yang di usia produktif tidak mempunyai pekerjaan.

Berbicara kemiskinan di Aceh bukanlah isu terbaru melainkan permasalahan yang sudah lama dan dinilai “klise”. Diibaratkan dalam ungkapan pepatah lama seperti menegakkan benang basah, artinya pembangunan dalam upaya mengentaskan kemiskinan di Aceh tidak akan pernah tercapai titik terang dan terkesan sia-sia apabila tidak dibongkar akar masalahnya.

Berlakunya institusi ekstraktif

Pembangunan di Aceh dalam wujud kemandirian sejujurnya belum bisa menyelesaikan masalah kemiskinan di tengah rakyat Aceh. Selama kemiskinan muncul di tengah rakyat Aceh berarti pembangunan yang berladaskan kekhususan Aceh seketika runtuh.

Kalau pernah membaca buku Why Nation Fail ( Daron Acemoglu & James A Robinson, 2012), perlu direlevansikan dengan kondisi di Aceh yang sampai detik ini belum menemukan arah pemberantasan kemiskinan yang signifikan. Secara garis besar penyebab sulitnya memberantas kemiskinan dalam ruang lingkup pembangunan di Aceh Pertama, keberadaan institusi ekonomi-politik ekstraktif, disebut sebagai institusi ekstraktif akibat elit yang cenderung memusatkan dan mengendalikan sumber daya ekonomi dan politik untuk keuntungan mereka sendiri.

Tidak heran kenapa pembangunan Aceh gagal dalam mengangkat derajat masyarakat agar keluar dari lembah kemiskinan. Aceh yang dikenal sebagai daerah paling kaya sumber daya justru angka kemiskinan terus bertambah. Penyebabnya semakin terus berkembangnya lembaga ekstraktif dalam ranah pengelolaan kebijakan anggaran yang jumlahnya triliunan.

Beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan, seperti dalam pengelolaan anggaran otsus yang cenderung terjadi praktik rent-seeking para elit politik dan birokrat. Seperti yang diungkapkan dari hasil penelitian lembaga LIPI ‘kue otsus menjadi arena persaingan antar elit di Aceh’ (Siti Zuhro, 2018).

Akibat watak elit politik yang cenderung membentuk institusi ekstraktif dalam pengelolaan dana otsus mengakibatkan kepentingan rakyat terabaikan. Dana otsus sebagai dana asimetris Pemerintah Indonesia kepada Aceh untuk modal penggerak pembangunan paska konflik dan tsunami, nyatanya tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat dengan maksimal hingga berpengaruh kepada kondisi masyarakat yang sudah lama dihimpit kemelaratan ekonomi.

Faktor Kapabilitas (Tingkat Kemampuan)

Penjabaran ringkasnya kapabilitas menjadi faktor kedua yang menyebabkan kemiskinan di Aceh terus bertambah. Salah satu pendekatan kapabilitas dicetuskan oleh ekonom dunia Amartya Sen. Bagaimana yang disebut kapabilitas? kapabilitas merupakan tingkat kemampuan individu untuk mencapai kesejahteraanya. Konkritnya, meskipun rakyat Aceh diklaim rata-rata mempunyai harta benda tetapi masih juga masyarakat merasa kewalahan memanfaatkan harta benda untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan dan meningkatkan kesejahteraan.

Contohnya setiap orang Aceh mempunyai tanah atau sawah warisan, karena letak tanah atau sawah di daerah yang jauh dari jangkauan irigasi atau jalur irigasi tidak memadai akan mengakibatkan terkendala produksinya dan sering sekali hanya menjadi lahan tidur. Padahal mayoritas masyarakat Aceh bekerja di sektor pertanian bukan sektor industri.

Selain itu terkait peluang kerja di luar sektor pertanian, banyak lulusan perguruan tinggi di Aceh menjadi pengangguran. Mereka yang sudah mempunyai kemampuan sumber daya manusia tetapi akses lapangan pekerjaan tidak tersedia sama saja akan berdampak kepada produktifitas bagi seseorang.

Rendahnya daya serap pekerja di Aceh terkendala pada kebebasan mendapatkan akses pekerjaan, kebanyakan lulusan sarjana tidak bebas memilih pekerjaaan akibat sektor lapangan kerja yang tidak beragam. Sejumlah besar lulusan perguruan tinggi hanya menunggu kesempatan kerja dengan mendaftar sebagai calon Aparatur Sipil Negara (ASN), sehingga terbentuk bottleneck (kemacetan) karena tidak ada alternatif lain dalam dunia kerja di Aceh.

Maka pekerjaan yang dianggap mencapai taraf kemampanan di Aceh identik dengan bekerja yang hanya berpusat pada sektor formal seperti di lembaga pemerintah, selebihnya pekerja di sektor swasta identik dengan menjadi kontraktor.

Harapan ke depan

Semua tetap berharap kepada pemerintah yang sudah diamanahkan rakyat agar mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan pengangguran, karena cita-cita pembangunan bukan sekedar slogan pelaris ketika pemilu tiba. Menunggu kebijakan mengentaskan kemiskinan di Aceh bukanlah berarti semua masyarakat disulap berubah kaya raya. Namun setidaknya rakyat masih percaya kepada peran dan fungsi pemerintah yang inklusif (terbuka) untuk pemerataan kesejahteraan.

Pemerintah harus mampu melakukan link and match antara pendidikan berkualitas dan tersedianya multi lapangan kerja agar pemuda usia produktif yang setelah lulus dari perguruaan tinggi tidak lagi terhambat pada persoalan susahnya mencari pekerjaan.

Pemerintah harus mampu merancang lembaga ekonomi inklusif untuk menyediakan lapangan kerja bagi angkatan muda di Aceh. Melalui anggaran stimulus mampu mengangkat daya ekonomi masyarakat kelas menengah kebawah dan diharapkan bisa mengembangkan sektor usaha kreatif dan inovasi dikalangan milenial.

Akhsanul Khalis, staf pengajar di FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Keyword:


Editor :
Sara Masroni

riset-JSI
Komentar Anda