kip lhok
Beranda / Opini / Melirik Wakaf Aceh di Mekkah

Melirik Wakaf Aceh di Mekkah

Senin, 12 Maret 2018 15:44 WIB

Font: Ukuran: - +

Penulis :
Ampuh Devayan
Direktur Pengelola wakaf Baitul Asyi Mekkah,  sedang membagikan dana konpensasi kepada jamaah haji Aceh (dok:pribadi)

Tanah wakaf Habib Bugak di Mekkah kembali diincar, kali ini Pihak Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mewacanakan mengambil-alih pengelolaannya dengan alasan untuk investasi. Rencana itu direspon berbagai pihak di Aceh, karena selain melabrak UUPA juga tidak sesuai syariat Islam tentang hukum Muamalat yaitu mengambil alih hak warga Aceh oleh pemerintah RI.

Seperti dipaparkan Muhammad Razi, MCL kandidat doktor perbandingan hukum di International IIU Malaysia, bahwa UUPA dalam Bab XVII pada Pasal 125, menegaskan tentang syariat Islam dan pelaksanaannya yang meliputi Aqidah, Syaryyah dan Akhlak. Nah, untuk point Syariat Islam itu sendiri terdiri dari Ibadah, Ahwal-Al-Syakhsiyyah (Hukum Keluarga, Muamalah (Hukum perdata) dan lain-lain. "Persoalan Wakaf adalah persoalan syariah. Maka dalih apa pun tidak bersesuaian," kata, alumnus Dayah Mudi Samalanga itu (dialeksis.com, 11/03/2018). 

Sementara, Plt BPKH, Anggito Abimayu menampik, kalau pihaknya mengincar investasi di tanah wakaf Aceh di Makkah dengan dana haji yang dikelolanya. "Kami jelaskan terjadi kesalahpahaman dalam tujuan investasi tersebut, tidak ada pengalihan hak pengelolaan tanah wakaf Aceh di Makkah," katanya. 

BPKH akan menjajaki investasi hotel dan manfaatnya bisa kembali ke jamaah haji khususnya jamaah haji Aceh. "Jadi bukan BPKH mengambil alih pengelolaan seluruh tanah wakaf," kata dia (Republika.co.id, Senin 12/3/2018).

Soal tanah wakaf Baitul Asyi, sekitar tahun 2011 pernah diperdebatkan, ketika pemerintah Aceh, minta dana kompensasi itu dibagikan ketika jamaah haji Aceh sudah tiba kembali ke Tanah Air.

Wacana itu kembali mencuat ketika kami melaksanakan ibadah haji 2016, ada permintaan pemerintah Aceh kepada Nazir Waqaf Habib Bugak di Mekkah, agar pembayaran dana dari wakaf itu dilakukan di Aceh. Alasannya, kalau uang itu diserahkan ke jamaah haji Aceh di Arab Saudi, maka uang itu beredar di Arab Saudi karena dibelanjakan untuk membeli oleh-oleh. Alasan lain , bahwa para jamaah tanpa sadar membelanjakan uang tersebut membeli berbagai barang untuk dibawa pulang ke Tanah Air, sehingga terkendala dengan penerbangan yang membatasi jumlah barang bawaan. Akibatnya, barang-barang tersebut akan tertinggal dan sia-sia.

Ternyata pemerintaan tersebut mendapat respon dingin direktur pengelola wajaf Dr Syekh Munir bin Abdul Ghani Asyi. Sikap dingin tersebut mungkin karena tidak sesuai Akte Ikrar Waqaf Habib Bugak, atau boleh jadi, nazir wakaf Habib Bugak itu tidak percaya bila dikelola pihak lain (pemerintah Aceh). Uang Baitul Asyi sudah diberikan ke jamaah haji Aceh sejak 2006. Setiap tahunnya diberikan di Arab Saudi sebesar 1.200 riyal. Tahun ini 2016 lalu, masing-masing jamaah mendapat sebesar 1.200 riyal lebih.

Terlepas dari silang pendapat dan incar-mengincar wakaf Habib Bugak yang saat ini nilainya mencapai Rp 12 triliun itu, bahwa wakaf bermakna adalah apa-apa harta yang apabila telah dijadikan objek wakaf maka tidak boleh lagi diperjual-belikan, hibah, dan wasiat, Barang (harta) tersebut harus kekal dengan niat mendekatkan diri pewakif kepada Allah swt. 

Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi atau Habib Bugak Al Asyi. IstHabib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi atau Habib Bugak Al Asyi. Ist

Intinya bagaimana niat si-wakif pada saat harta itu diwakafkan. Itulah yang dituangkan dalam akte wakaf yang saat ini tersimpan rapi pada Nazir Waqaf Habib Bugak di Maktab Al-Aziziyah Mekkah’ 

Karenanya tulisan ini tidak membahas soal silang pendapat tentang wakaf Baitul Asyi, di sini  hanya mengingatkan kembali siapa Habib Abdurrahman atau dikenal Habib Bugak. Banyak sarakata menyebutkan beliau adalah keturunan dari Syekh Abdullah, dari garis Syekh Abdurrahim, yang juga di kenal sebagai Tengku Chik Awee Geutah yang maqamnya terpelihara dan dayahnya masih wujud.

Habib Bugak telah menyisihkan (menahan, waqafa) dari hartanya sendiri (min maalihi) dengan akte yang disahkan Mahkamah Syar’iyah Mekkah, dengan bahasa Arab pada tahun 1224. Hal itu tertuang dalam sarakata Sayyid Abdurrahman Peusangan yang distempel oleh Sultan Kerajaan Aceh Darussalam, dan sama kedudukannya dengan Presiden sekarang.
Sayyid Abdurrahman atau Habib Bugak adalah seorang hartawan dan dermawan yang memiliki tanah luas. Sayyid Abdurrahman itu kelahiran Mekkah, kakek buyutnya adalah Ulama besar Mekkah yang menjadi Mufti di Mekkah. Adalah wajar seorang ulama memiliki rumah di sekitar Ka’bah. Konon lagi, Ka’bah dan dan sekitarnya termasuk Masjidil Haram adalah sesuatu yang dulu turun temurun dijaga dan dipelihara oleh para Sayyid bahkan sejak kakek-kakek Nabi Muhammad saww, indatu Habib Abdurrahman. Karena kecintaan beliau kepada Aceh dan menjaga kehormatan dan martabat Habib yang telah dimuliakan oleh masyarakat Aceh termasuk para Sultannya, hartanya dia wakafkan untuk generasi Aceh.

Hotel Elaf Al Mashaer, salah satu hotel yang berdiri di atas tanah wakaf ulama asal Aceh, Habib Bugak Al-Asyi, di dekat Masjidil Haram, Mekkah.Hotel Elaf Al Mashaer, salah satu hotel yang berdiri di atas tanah wakaf ulama asal Aceh, Habib Bugak Al-Asyi, di dekat Masjidil Haram, Mekkah.

Sayyid Abdurrahman wafat di Bugak dan dimakamkan di Peusangan, Monklayu. Beliau digelar Habib Bugak Asyi yang diperkuat dengan sarakata yang ditandatangani oleh Sultan Mahmudsyah dan Sultan Mansyursyah sebagai Presiden Negara Aceh masa itu. 

Menurut penelitian yang dilakukan sejak tahun 2007 oleh Tim Red Crescent yang dipimpin Dr. Hilmy Bakar atas bantuan dan bimbingan Dr. Alwi Shihab (mantan Menko Kesra), Prof. Alyasa Abubakar (mantan Kadis Syariat Islam Aceh), Prof. Yusni Sabi (mantan Rektor IAIN Ar-Raniri), Prof. Azman Ismail (Imam Besar Masjid Baiturrahman), Prof. Muslim Ibrahim (Ketua MPU), menyebutkan bahwa Habib Abdurrahman Al-Habsyi, selain sebagai pemberi Waqaf Habib Bugak di Mekkah, ternyata juga memiliki peranan yang signifikan dalam sejarah perdamaian Kerajaan Aceh Darussalam, terutama pasca pelengseranan Dinasti Sayyid Jamalullayl sebagai penguasa, pasca dimakzulkannya Sultanah Kamalatsyah pada tahun 1699 M.

Penelitian tersebut diperkuat dengan penelitian lanjutan program doktor (Ph.D) di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan mendapat dukungan serta kerjasama dengan beberapa organisasi seperti Asyraf Aceh, Lembaga Pendataan Nasab dan Penelitian Sejarah Islam Aceh, keluarga besar keturunan Sayyid Abdurrahman Al-Habsyi, serta Rabithah Alawiyah Aceh.

Terakhir Rabithah Alawiyah (Perhimpunan Sayyid) Indonesia berpusat di Jakarta, bersama Maktab Daaimi (penjaga silsilah keturunan Rasulullah yang otoritatif dan diakui dunia) bersama Asyraf Aceh telah memberikan dukungan dan penyempurnaan kepada penelitian ini, yang memberikan pengesahan silsilah Sayyid Abdurrahman Al-Habsyi, sebagai seorang sayyid yang tercatat dengan jelas memiliki silsilah menyambung kepada keluarga Rasulullah (Ahlul Bayt). Beliau berasal dari Mekkah dan datang ke Kerajaan Aceh, serta memiliki keturunan di Aceh sampai sekarang dengan memakai nama Al-Habsyi.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pasca wafatnya Sultan Iskandar Tsani, kepemimpinan Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh putri Sultan Iskandar Muda, yang juga Permaisuri Sultan Iskandar Tsani, Sultanah Safiatuddin yang dilanjutkan saudari-saudarinya atas bimbingan dan asuhan ulama kharismatis Syekh Abdul Rauf al-Singkili yang dikenal juga sebagai Maulana Syiah Kuala yang menjabat Qadhi Malik al-Adil. Ketika beliau wafat, para ulama sepakat memakzulkan Sultanah Kamalatsyah dan digantikan oleh suaminya, Sayyid Badrul Alam Ibrahim Jamalullayl sebagai Sultan Aceh yang baru. Sejak saat itu Aceh dibawah Dinasti Sayyid Jamalullayl yang berasal dari Mekkah, sebagai utusan Syarif Mekkah ke Kerajaan Aceh Darussalam.

Sistem kepemimpinan yang Islamis dan sangat kosmopolis di Kerajaan Aceh Darussalam masa itu, telah memungkinkan "orang luar" menjadi Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam. Kepemimpinan bukan hanya ditentukan oleh garis keturunan saja, tapi yang terpenting kualitas kepemimpinan seseorang, sebagaimana dicontohkan Sultan Iskandar Muda yang telah menunjuk penggantinya Sultan Iskandar Tsani yang diketahui bukan orang Aceh, tapi berasal dari Pahang di Semenanjung Melayu. Tradisi inilah yang diikuti para Sultan sesudahnya, sehingga menjadikan Kerajaan Aceh sebagai miniatur negara Islam internasional, atau "Serambi Mekkah".

Selama hampir 25 tahun dinasti Jamalullayl menjadi penguasa Kerajaan Aceh Darussalam, telah menimbulkan pergesekan dikalangan elit penguasa dan para bangsawan, yang berujung pada pergantian Sultan, yang menaikkan seorang pengusaha kaya raya, dengan gelar Orang Kaya Maharaja Lela yang berketurunan darah Bugis.

Saat itu Qadhi Malik al-Adil tidak lagi memiliki peranan sentral sebagaimana sebelumnya, akibat belum adanya Ulama Kharismatik seperti Maulana Syiah Kuala atapun Habib Abu Bakar Balfaqih, yang juga dikenal sebagai Habib Dianjung atau Teungku Dianjong.

Dalam tradisi para sultan Aceh sejak Kerajaan Perlak ataupun Pasai terdahulu (baca: Sejarah Melayu dan Hikayat Raja Pasai), untuk menjalin hubungan dekat dengan Syarif Mekkah dan senantiasa meminta penasihat dari penguasa pusat spiritual dunia Islam yang secara tradisi dipimpin oleh para keturunan Rasulullah saww. Demikian pula halnya dengan Sultan Aceh dari Dinasti Bugis yang tengah berkuasa. Sang Sultan meminta Syarif Mekkah untuk mengirimkan para ulama yang akan membantu memelihara perdamaian di Kerajaan Aceh.

Pada sekitar tahun 1760-an, Syarif Mekkah telah mengirim serombongan alim ulama ke Kerajaan Aceh, yang terutama diantaranya adalah Sayyid Abdurrahman Al-Habsyi berasal dari Hadramawt Yaman, Syekh Abdullah Al-Baid dan lain-lainnya. Para alim ulama ini mengajar dan berdakwah di Bandar Aceh Darussalam dan membantu Sultan sebagai penasihat kerajaan. Mereka melanjutkan tradisi para pendahulunya sebagai utusan resmi Syarif Mekkah di Kerajaan Aceh Darussalam.

Setelah selesai menjalankan tugas di Bandar Aceh, Sayyid Abdurrahman bersama sahabatnya, Syekh Abdullah berpindah ke Aceh bagian timur, yang dikenal sebagai Matang Bireuen sekarang. Sayyid Abdurrahman tinggal di sekitar pantai ujung delta Krueng Tingkem. Sedangkan shabatnya Syekh Abdullah tinggal di penggiran Sungai Tingkem sebelah atas (sekarang Awee Geutah). Hubungan kedua sahabat ini terjalin harmonis sampai beberapa generasi, diketahui banyak terjadi hubungan perkawinan antara keturunan Sayyid Abdurrahman dengan keturunan Syekh Abdullah.

Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Nazir Waqaf Habib Bugak di Mekkah yang ditunjuk oleh Habib Bugak, dari pertama harta tersebut diwaqafkan sampai sekarang adalah keturunan Syekh Abdullah, sahabat seperjuangan beliau di Mekkah, Bandar Aceh sampai di Peusangan. Direktur Pengelola Waqaf Habib Bugak sekarang, Syekh Munir bin Abdul Ghani Asyi adalah keturunan dari Syekh Abdullah, dari garis Syekh Abdurrahim, yang juga di kenal sebagai Tengku Chik Awee Geutah yang maqamnya terpelihara dan dayahnya masih wujud.

"Syekh Munir tidak segan-segan menyebut dirinya sebagai orang Aceh dan memakai gelar Asyi, dan menyebutkan bahwa moyang beliau Syekh Abdullah di Aceh. Beliau juga menyebutkan bahwa Habib Bugak itu adalah Sayyid atau keturunan Rasulullah (dalam satu wawancara dengan Dr. Hilmy Bakar di Mekkah).  

Tampaknya, Baitul Asyi, wakaf orang Aceh di Mekkah itu begitu menggiurkan  yang saat ini nilainya mencapai Rp 12 triliun.  Rasa itu sepertinya akan berulang. modusnya  beda-beda! 


Keyword:


Editor :
Ampuh Devayan

riset-JSI
Komentar Anda