Konser Dilarang! Banjir Datang!
Font: Ukuran: - +
Akhsanul Khalis M.P.A., Alumni Magister Administrasi Publik (Konsentrasi Kebijakan Publik), Universitas Gadjah Mada (UGM). [Foto: For Dialeksis]
Menafsirkan penyebab banjir
Memang tidak sulit mencari literasi secara umum tentang penyebab banjir. Sumbernya bertebaran di internet baik itu dari jurnal ilmiah dan buku hasil penelitian. Mayoritas ilmuwan menyatakan penyebab banjir karena kerusakan lingkungan hidup dan kesalahan tata ruang. Hanya di Aceh ada sekelompok masyarakat berpendapat berbeda: konser musik penyebab bencana banjir.
Keyakinan itu juga patut juga dihargai terlebih orang Aceh terkenal religius dan sangat beradab. Penulis juga tidak setuju apabila digelar konser musik model: joget-jogetan, mabuk-mabukkan, menampilkan perempuan sexy nan erotis di atas panggung. Perilaku menyimpang seperti itu tentu memungkinkan mengundang bala (bencana) serta dicabut keberkahan pada suatu negeri.
Mungkin jenis bala (bencana) yang datang murni tidak ada campur tangan manusia seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, angin topan. Karena di kamus antropologi masyarakat Aceh: Bala itu datang karena ulah perilaku hura-hura dan kemaksiatan.
Berbeda dengan musibah yang datang tanpa ada perilaku hura-hura dan bermaksiat, memang sudah ketentuan Sang Pencipta untuk menguji kesabaran hamba-Nya.
Pertanyaan pentingnya, kenapa konser musik dianggap penyebab tunggal dalam konteks mengundang bencana banjir?. Terkadang masyarakat cenderung senang membuat narasi kurang rasional mengenai bencana banjir.
Kalaupun tidak senang kepada konser musik silahkan dilarang tapi jangan hubungkan konser musik sebagai penyebab banjir. Nyatanya jenis bala (bencana) banjir tidak terlepas dari akibat ulah tangan manusia rakus.
Seharusnya bencana banjir itu menjadi momen kita merespon dengan cara berpikir kritis. Hal penting tentang bencana banjir yang perlu disorot akhirnya terlupakan. Inilah yang dikatakan dalam teori governmentality: kondisi kemampuan individu mempelajari dan melakukan kontrol terkait dengan isu politik dan eksploitasi ekonomi Negara (Lemke, 2000).
Tania Li, seorang antropolog berkebangsaan Kanada, menjelaskan lebih lanjut di bukunya “The Will To Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia. (2012)” tentang tafsiran governmentality.
Ia berpendapat ketika sebuah kebijakan tanpa sebuah kritikan dan ada unsur pembiaran, disitulah celah masuknya kapitalisme untuk menguasai dan mengeksploitasi. Para kapitalis perusak hutan itu pun tertawa melihat kenaifan cara berpikir kita.
Kapitalis malah semakin bebas dan aman mengeksploitasi alam dengan cara merusak ekosistem hutan tanpa harus merasa bersalah.
Perlu dicatat bahwa dalam pikiran kapitalis tidak mengenal spiritualitas, mereka hanya menyembah keuntungan materi semata. Bagi mata kapitalis kerusakan habitat: hutan menjadi gundul dan kosong itu merupakan suatu keindahan. Seperti kata aktivis lingkungan Naomi Klein dalam bukunya The Shock Doctrine: The Rise of The Disaster Capitalism (2007) : “blank is beautiful”. Di atas puing-puing hutan yang rusak itulah kemudian berpotensi dijadikan aktivitas eksploitasi baru.
Selanjutnya » Kemungkinan lebih burukSeandainya kita m...