Ketika Semangat Sportivitas Semakin Memudar
Font: Ukuran: - +
Dr. Ernita Dewi,S.Ag.,M.Hum (Akademisi UIN Ar-Raniry/Ketua Wanita Syarikat Islam Kota Banda Aceh). [Foto: For Dialeksis]
Kejadian ini bukan hanya disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kekalahan semata, tetapi disinyalir ada alasan lain yang ikut mendukung seperti ketidakdisiplinan suporter di Indonesia. Terhitung sejak tahun 1990 kasus kekerasan dalam sepak bola Indonesia yang menyebabkan luka berat dan menelan korban jiwa sebanyak 48 kejadian. Angka kekerasan ini terhitung paling tinggi di kawasan Asia Tenggara bahkan Asia. Tentu ini menjadi tugas kita bersama, bagaimana masyarakat kita harus lebih sportif lagi ketika hadir dalam suatu pertandingan.
Bercermin pada peristiwa berdarah di Stadion Kanjuruhan Malang pada 1 Oktober 2022, tentu nurani kita terusik untuk menelusuri kembali mengapa semangat sportivitas dalam bidang olahraga kita menjadi semakin memudar. Bukankah semangat sportivitas adalah landasan pijak utama saat kita bersepakat untuk bertanding, sebab kita tahu bahwa pertandingan akan menghasilkan dua nilai menang dan kalah, lalu bagaimana kita akan melaksanakan sebuah pertandingan bila kita hanya berkomitmen untuk menang tetapi tidak berkomitmen untuk menerima kekalahan dengan hati yang terbuka. Tidak mungkin sebuah kompetisi apapun itu hanya menjanjikan satu kemenangan dan tidak ada kekalahan, kalau hanya ada yang menang saja maka itu bukan kompetisi namanya.
Sportivitas merupakan sikap mental yang menunjukkan martabat kesatria pada olahraga. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sportivitas adalah sikap adil (jujur) terhadap lawan dan sikap mengakui keunggulan (kekuatan, kebenaran) lawan atau kekalahan (kelemahan, kesalahan) sendiri. Sportivitas mesti dikaitkan dalam semua kompetisi, apapun jenis kompetisi tersebut, jika memunculkan ada yang menang dan kalah, maka disitulah seorang kesatria akan menunjukkan sikap jujur dan adil untuk mengakui kehebatan pemenang.
Selanjutnya » Menang dan kalah merupakan keniscayaan y...