Ironi OJK: Ketika Pengawas Perlu Diawasi
Font: Ukuran: - +
Penulis : Aryos Nivada
Aryos Nivada Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia - Aceh sekaligus pendiri Jaringan Survei Inisiatif. Foto: Dialeksis
DIALEKSIS.COM | Opini - Otoritas Jasa Keuangan kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan karena kesuksesan mengawasi industri keuangan, melainkan karena tersandung dalam pengelolaan keuangannya sendiri. Badan Pemeriksa Keuangan memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian untuk laporan keuangan OJK tahun 2023. Sebuah ironi yang menohok: pengawas justru butuh diawasi.
Temuan BPK mengungkap praktik yang mengkhawatirkan. Ada pengeluaran imbalan kinerja tahun 2022 sebesar Rp759,61 miliar yang "dipindahkan" ke anggaran 2023. Pengeluaran kas Rp394,10 miliar juga masih menjadi tanda tanya besar dalam pertanggungjawabannya. Ini bukan sekadar masalah administrasi, melainkan cermin dari persoalan yang lebih fundamental.
"Ada temuan yang mengindikasikan pelanggaran hukum dan ini patut diselesaikan secara hukum," ujar Alfian, Koordinator MaTA, organisasi pemantau transparansi dan akuntabilitas di Aceh. Pernyataan ini menegaskan bahwa masalah OJK telah melampaui ranah administratif.
Akar masalahnya terletak pada konstruksi kelembagaan yang anomali. OJK berada di posisi ambigu: bukan lembaga di bawah presiden, tapi juga tidak sepenuhnya independen seperti Bank Indonesia. Status hibrid ini menciptakan celah dalam akuntabilitas. Alih-alih menjadi kekuatan, justru menjadi kelemahan.
Kegagalan OJK tidak hanya dalam pengelolaan internal. Menjamurnya pinjaman online dan judi online ilegal menunjukkan ketidakmampuan lembaga ini menjalankan fungsi pengawasannya. OJK seolah kehilangan taring dalam menghadapi fenomena yang mengancam stabilitas keuangan dan merugikan masyarakat.
Para komisioner OJK memang dipilih dengan standar tinggi. Mayoritas berasal dari kalangan profesional dan akademisi dengan rekam jejak mumpuni. Namun, kompetensi teknis ternyata tidak cukup. Dibutuhkan kemampuan navigasi politik dan koordinasi lintas institusi yang lebih baik.
"Kadar kepercayaan publik terus menurun. Saat ini perlu diberdayakan manajemen yang memiliki mental berintegritas," tegas Alfian. Pernyataan ini menyentuh inti persoalan: krisis kepercayaan.
Jika merujuk pada pemikiran DiMaggio dan Powell dalam teori institusionalisme menegaskan bahwa legitimasi sebuah lembaga tidak hanya ditentukan oleh efisiensi operasional, tetapi juga oleh kemampuannya memenuhi ekspektasi sosial. OJK gagal dalam kedua aspek tersebut. Laporan keuangan bermasalah mencerminkan inefisiensi, sementara ketidakmampuan mengatasi masalah pinjol dan judol ilegal menunjukkan kegagalan memenuhi harapan publik.
Situasi ini menuntut langkah perbaikan yang radikal. Pertama, reformasi sistem pengendalian internal. Kedua, revisi kriteria seleksi komisioner dengan penekanan pada aspek kepemimpinan dan kapasitas politik. Ketiga, penguatan koordinasi lintas institusi.
DPR, khususnya Komisi XI, harus mengambil peran lebih aktif. Bukan sekadar merespons ketika ada temuan, melainkan memastikan tata kelola OJK yang sehat sejak awal. "Mereka harus memiliki perhatian untuk tata kelola yang berintegritas," kata Alfian.
Krisis seringkali menjadi titik balik yang memaksa sebuah lembaga bertransformasi, demikian menurut teori perubahan institusional Douglass North. Opini WDP dari BPK seharusnya menjadi momentum bagi OJK untuk berbenah. Jika tidak, lembaga ini berisiko kehilangan relevansinya.
OJK tidak bisa lagi berlindung di balik kompleksitas tugas dan keunikan status kelembagaannya. Publik butuh lebih dari sekadar janji perbaikan. Mereka menuntut aksi nyata, dan waktunya adalah sekarang.