Beranda / Opini / Hilangnya Semangat Intelektual

Hilangnya Semangat Intelektual

Senin, 22 November 2021 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Ilustrasi. [Foto: IST]

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Menarik untuk membaca hal ihwal mengenai intelektualitas mahasiswa. Mengetahui ilmu filsafat, fokus studi dengan kian fokus dilumat kawan, kanda ataupun sahabat ketika mereka memasuki dunia universitas.

Hari ini mengenai intelektualitas mengalami sedikit perubahan karena beberapa faktor yang membuat tumpul beberapa mahasiswa karena sistem dan kondisi diri tenggelam arus hari ini.

Bukan tujuan untuk memperkeruh situasi, namun kegelisihan sekali lagi tidak bisa dihindarkan karena dorongan dari nalar selalu mengamati dan merekontruksi atas apa yang telah sahabat amati ketika mereka berkumpul. Celoteh, keluh kesah sampai gagasan mengegebu-gebu kala kumpul tak bisa dihindarkan. Beruntunglah bagi mahasiswa yang merasakan habitus seperti itu.

Rasanya sangatlah begitu cepat bagaimana mengenyam pendidikan di tingkat strata satu (S1) harus empat tahun atau tercekik dengan ancaman surat dropout dari pihak kampus yang maha mulia itu bila melebihi batas. Sayangnya, tidak semua kepala sepakat dengan pernyataan itu. Menarik memang dinamika kampus disamping kompleksitas kehidupan yang saling berkaitan.

Diawal semester siswa beradaptasi untuk bisa menyesuaikan kondisi di tingkat universitas. Mengikuti lingkar studi sampai bergabung di beberapa organisasi rela dilakoni untuk meningkatkan kapasitas. Beberapa, dengan kernyit dahi pasrah, menyampaikan sedang mencari jati diri dan menikmati proses terjal yang dijalani.

Mencari jati diri, tidak bisa dilepaskan dari mereka kaum muda untuk bisa menemukan way of life. Marwah mahasiswa hari ini pasca reformasi sedang dipertaruhkan. Membandingkan fase bukan tujuan, namun tidak bisa dibendung kalau ada yang menggunakan opsi pemahaman dengan cara membandingkan.

Kemerosotan Gerakan?

Berbicara mengenai gerakan mahasiswa, apabila kita tilik kembali sekitar era 98-an, gerakan mahasiswa bergerak secara masif. Kontinuitas untuk menumbangkan rejim yang telah mencongkolkan kukunya di Indonesia bukan perihal mudah. Tumpah darah, hingga harkat dan martabat rela dikorbankan demi satu kata yaitu demokrasi dan kebebasan. Lalu bagaimana kondisi hari ini?

Gerakan tolak UU Omnibuslaw yang telah mampu menarik simpati mahasiswa, buruh dan masyarakat secara umum menuai banyak pro dan kontra. Dimanakah sekarang gerakan itu? Putus asakah? Atau sedang menyiapkan strategi? strategi?

Negara maju mengilhami dan menghalalkan proses sistem ekonomi secara terbuka dan mengarah bebas alias liberal. Bagi para penganut pemahaman yang terkesan mengarah kedalam alias fokus dalam negeri, kadang tidak sepakat dengan sistem liberal karena pertimbangan kelestarian alam dan kebudayaan, hampir mengarah kepada neogandiisme.

Pilihan untuk menciptakan sistem pasar secara liberal atau tertutup untuk dalam negeri masih menjadi perdebatan klasik yang tak kunjung usai. Dilain sisi, konsep liberal telah menyebar dan digunakan banyak negara hingga berakibat kepada terpengaruhnya beberapa negara terpaksa atau dipaka untuk mengikutinya. Tidak hanya itu, konsep liberal yang ditawarkan berisiko memberi efek negatif berupa problem terkait kebudayaan.

Disamping itu, konsep liberal memberikan dampak positif salah satunya dengan majunya tingkat perekonomian dan pembangunan yang terkesan progresif. Terbukanya angka investasi dan kebijkan hutang yang masif memberika progresnya pembangunan pada negara maju. Namun, Apakah kita sejatinya meniru regulasi tersebut?

Pembangunan diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi bangsa dan masyarkat secara merata. Konteks pembangunan sering menjadi topik perdebatan, dikarenakan framing mengenai pembangunan hari ini diklaim merusak sumber daya alam, menghilangkan kesempatan kerja dari alam petani.

Mansour fakih memandang pembangunan sebagai sebuah ideology untuk mengarah pada developmentalism. Ideologi menurut fakih diaritkan sebagai ranah gerak untuk mengimplemantisikan dari konsep developmentalism.

Kembali mengulasi tentang gerakan mahasiswa dan intelektualitas, apabila kita lihat dengan cara membandingkan dengan gerakan sebelumnya era reformasi sangatlah begitu jauh perbandingannya.

Gerakan mahasiswa bukan tentang merebut kantor DPR atau bahkan menurunkan rejim, akan tetapi gerakan mahasiswa sebagai conscientizacao (proses kesadaran), dengan harap dapat terus berlanjut.

Dilematis memang. Jati diri bangsa belum menemukan titik temu secara kuat untuk dijadikan konsensus bersama membangun bersama. Konsepsi ekonomi pancasila yang telah digagas dan di sampaikan oleh Moh. Hatta pada waktu itu, di gadang-gadang menjadi konsep pemikiran ekonomi bangsa Indonesia. Cita-cita itu nampaknya kurang bisa direalisasikan dengan baik, karena kuatnya hegemoni sistem liberal.

Demo mahasiswa berbondong-bondong menyerbu kantor DPR karena regulasi yang diterapkan oleh pemerintah karena tidak berpihak pada rakyat, bisa jadi harus kita acungi jempol. Namun, perlu kita resapi bersama ketika regulasi itu dengan mulus disepakati walaupun berjuta rakyat turut kejalan, bahkan beberapa rela kening mereka bercucuran darah.

Menyinggung sedikit karya Theo. Toemion yang berjudul Uang dan Masalah di dunia, propagandanya tentang demokrasi di Indonesia telah dimanfaatkan dengan baik oleh para pemodal.

Salah satunya dibalik layar kemenangan rakyat ketika menggulingkan rejim otoriter, akan tetapi dilain sisi sedang ada kesepekatan melalui Letter Of Intent yang mengawali banyak munculnya eksploitasi lahan di Indonesia.

Bagaimana kuatnya peranan asing memberikan gambaran sedemikian detailnya, sehingga membuat tertarik beberapa negara berkembang agar bisa beriringan atau bahkan lebih unggul dari negara krediturnya, -terdengar lumayan mustahil.

Demonstrasi perjuangan mahasiswa untuk menyuarakan dan mengkritisi regulasi pemerintah memang cukup alot. Pasalnya proteksi dan kekuatan penyangga untuk memuluskan, misalnya program omnibuslaw- sangatlah kuat. Beberapa kelompok yang memiliki kapabilitas modal kuat itu, kong kali kong terkait regulasi, masyarakat pinggiran lagi-lagi jadi tumbal.

Sekali lagi, Mahasiwa menyelesaikan perkuliahan tepat pada waktu empat tahun dirasa mereka sangatlah kurang cukup. Ilmu pengetahuan dan pengalaman intelektualitas dirasa kurang, apabila menggantungkan hanya pada kampus. Lalu, harusnya seperti apakah Mahasiswa untuk bisa bersaing dengan kondisi sosial yang telah mengalami perubahan ini?

Kajian tentang Marxisme sampai bahkan teologi pembebesan semakin tua semester semakin mengernyitkan dahi mahasiswa. Dilain sisi negara-negara maju seperti Tiongkok dan Amerika lebih futuristik dengan bersaing penguatan pengetahuan masing-masing salah satu dengan menerbangkan objek citra untuk mengamati kondisi di angkasa. Belum lagi ditambah rencana paska kelulusan. Semakin panas mereka dibuat.

Belum lagi ditambah, adu mulut sana-sini, menguatkan atas prespektif etnosentris yang masih sering terjadi bahkan perasaan mengagungkan satu agama untuk merendahkan agama lain. Miris, memang kondisi itu apabila masih tepatri pada hati dan fikir bangsa yang elok ini Indonesia.

Filsafat dan pendewasaan nalar kritis

Nalar kritis mulai tumbuh-tumbuhnya pasca siswa dari Sekolah Menengah Atas (SMA), memasuki dunia universitas karena mulai menggeluti dunia filsafat dan pengetahuan secara umum. Pembelajaran mengenai filsafat dirasa penting. Dengan filsafat individu atau kelompok mampu mengamati dan mengekspresikan dari proses pergulatan ide .

Berkaca dari negara Prancis, bahwasannya pembelajaran filsafat sudah diterima dan dipelajari oleh siswa mulai dari mereka masuk Sekolah Menengah Atas. Filsafat sudah dikenalkan lebih awal dibandingkan di Indonesia, yang rata-rata dari beberapa fakultas atau prodi disampaikan diawal semester perkulihan.

Kondisi yang sedemikian rupa, pantas saja, beberapa siswa dari sekolah menengah kadang merasa gagap mengenai filsafat yang mengarah kepada intelektualitas. Filsafat berpengaruh pada proses kesadaran mahasiswa dalam mengamati realitas pada kematangan berfikir.

Kematangan proses berfikir adalah tujuan dalam pengenalan ilmu filsafat kepada para pembelajar di Indonesia. Kematang mengamati realitas diharapkan mampu menyisir beberapa problematika untuk ditawarkan solusi atas permasalahan. Semakin baik dan matang bangsa atas kontruksi berfikir mereka, maka akan semakin mudah, pemerintah menjalankan kebijakannya.

Kegagapan inilah tak lain, karena konsep pendidikan di Indonesia mengarah kepada liberalisasi sistem edukasi dan penilaian atas kualitas siswa yang di fokuskan kepada angka-angka semata. Saklek dan bersifat mesin, riskan muncul apabila sistem tersebut tidak ditanggulangi.

Gagasan dan jati diri mahasiswa terus mengalami penurunan kualitas. Tekanan mental memenuhi kebutuhan ekonomi salah satunya hingga konsep pendidikan yang mengalami kebuntuan untuk membangun kader penerus bangsa. Gilang-gemilang mahasiswa atas intelektualitasnya mungkin akan mati di era ini, apabila kesadaran intelektual ala Edward W. Said tak pernah dikenyam.

Belajar filsafat dirasa perilaku yang membuang-buang waktu, bagi mereka memandang dunia perkuliahan hanya melulu soal pekerjaan dan mendapatkan uang segudang. Tujuan skopus hingga lupa bagaimana advokasi masyarakat pinggiran mungkin akan hanya cerita novel mahasiswa lawas.

Gerakan mahasiswa, bedah buku sastra juga akan dianggap usang. Lunturnya intelektualitas karena konstruksi berfikir mereka dirubah bagaimana menciptakan pondasi uang secara pragmatis korbannya semangat intelektualis. Lalu apa salahnya?

Ketika boomingya investasi bitcoin dan saham di Indonesia. Berbondong-bondong mahasiswa untuk rela investasi dibeberapa perusahaan terbuka untuk tujuan cashflow. Ada beberapa, jeli dengan pasokan pengetahuan keungan untuk menyisir dan analisis perilaku pasar keuangan. Perbedaan ini, memberi gambaran serius tentang konsep berfikir matang.

Baru kemarin, bitcoin dipukul oleh pakar keuangan yang iri, atas hegemoninya di dunia. Bila saja, para investor muda itu tau, bagaimana kejumudan dan relasi raksasa keuangan internasional mampu memporak-porankan Indonesia pada awal 1998, pasti saja akan penuh perhitungan untuk menjajakan langkahnya.

Keresahan kaum intelektual di Indonesia ditandai dengan muramnya wajah, ketika dihadapkan pada tujuan paska kuliah. Hal ini terjadi karena objek dan tujuan mereka untuk bergabung dan bekerja di beberapa industri ataupun bos-bos besar baru.

Pengembangan intelektual dipandang dan dikotakan hanya pada lingkup unviersitas semata. Faktor ini dipengaruhi dengan proses liberalisasi di Indonesia tidak dibendung dengan konter narasi yang apik. Banyak anggapan bahwasannya intelektualitas itu dikotakan pada sektor kampus semata.

Sebenarnya, apabila kita tilik kembali panyampaian Francis Fukuyama dalam bukunya Trust, mendedah terkait dengan kekuatan sosial. Para mahasiswa lebih sering memandang kapital hanya pada uang luput menyampaikan kapital sosial menurut Fukuyama. Karena itulah mereka terjebak dan berharap pada bos-bos besar.

Pandemi dan merosotnya intelektualitas

Faktor eksternal menjadi pengaruh bagaimana ruang candradimuka bagi pelajar dan mahasiswa stagnan karena pandemi. Pemerintah lebih mengutamakan angka PDB (Produk Domestik Bruto), dibandingkan investasi pemikir penerus bangsa.

Kebingungan semakin menjadi, ketika mahasiswa atau pelajar hanya terfokus pada kelulusan mendapatkan nilai tinggi disamping itu, berjuta-juta manusia merasakan problem yang sama untuk bekerja di tempat favorit mereka.

Hampir satu tahun, pandemi belum juga beranjak di Indonesia. Otomotis sekolah-sekolah masih ditutup dengan alasan menjaga keamanan anak bangsa, akan tetapi mungkin tidak untuk mengamat resiko shock mengenyam di tingkatan pendidikan.

Dunia kampus tempat - mahasiswa itu, juga terkena dampaknya. Lingkup diskusi dan berproses di dunia kampus harus terkendala sampai waktu yang belum ditentukan. Pendidikan bukanlah masalah sepele. Bisa berpengaruh secara domino atas ekonomi, sosial dan budaya.

Mahasiswa yang diharapkan sebagai garda terdepan agent of change dipaksa melempem. Kuliah Kerja Nyata (KKN) Online semakin lucu dibuatnya. Biaya pendidikan mahal juga berisiko pada alerginya pelajar untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.

Pengetahuan dan semangat belajar harus ditekankan secara kuat untuk mahasiswa dan pelajar. Apabila mahasiswa dan pelajar tidak aktif maka, kepasifan dalam belajar akan terjadi. Selanjutany lunturnya intelektualistas akan kena imbasnya.

*Penulis: Aqil Ulil Aufa Bahruddin, Mahasiswa Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN Ar-Raniry, Pegiat Media Sosial

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda