Beranda / Kolom / Bukan Intelektual?

Bukan Intelektual?

Minggu, 31 Oktober 2021 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Bangsa ini memiliki sejumlah sebutan untuk para orang pandai atau terpelajar di negerinya. Keanekaan sebutan itu memunculkan diskursus tersendiri, baik di warung kopi maupun di dalam akademi. Lalu, kita pun dipaksa untuk melihat pengertiannya yang baku pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Intelektual adalah (orang) “cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan; atau, (seseorang yang memiliki) totalitas pengertian atau kesadaran, yang terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.”

Akademisi adalah (seseorang) “yang berpendidikan tinggi; atau, anggota akademi.”

Cendekiawan adalah seseorang yang “memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu; atau, orang cerdik pandai.”

Intelegensia adalah (seseorang yang memiliki) “daya reaksi atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara secara fisik maupun mental, terhadap pengalaman baru.”

Baiklah, anggap itu sebagai deretan kekayaan bahasa, yang membesarkan hati kita; dan untuk pengertiannya kita bisa merujuk pada kamus. Sekalipun, pada kenyataannya, ketika kita berhadapan dengan sebuah fenomena, sering kita kebingungan untuk memakai sebutan yang mana, yang paling tepat, dan sesuai dengan konteks kejadian. Ada banyak contoh kebingungan itu.

Contoh pertama, ketika Habibie mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember 1990, di penghujung masa Orde Baru. Saat itu, mereka yang bergelar sarjana dan beragama Islam berbondong-bondong masuk sebagai anggota organisasi itu.

Artinya, tergambarkan oleh kita, bahwa di sana ada kekacauan pemahaman antara sarjana, akademisi (yang sudah barang tentu sarjana) dengan cendekiawan (yang belum tentu memiliki gelar sarjana, apalagi berstatus akademisi), sebagaimana yang didefinisikan oleh KBBI.

Contoh lain, ketika keluar kebijakan Rektor Universitas Syiah Kuala untuk menggusur rumah-rumah para dosen, atau generasi terdahulu darinya, maka sosok rektor dinilai oleh para warga tidak mencerminkan kepribadian seorang intelektual.

Ahistoris dalam status lahan. Ahistoris terhadap paradigma pembangunan Kopelma Darussalam. Ahistoris di dalam pemilikan asset. Ahistoris terhadap asbabun nuzul lahirnya Kopelma Darussalam, yang mana di sana ada pendidikan setingkat SLTA, dan universitas. Tidak menghormati para pendahulunya. Tidak menghormati kebijakan para pemilik kewenangan seperti DPRA dan Gubernur Aceh. Tidak humanis terhadap warga.

Siapakah dia? Intelektual, atau akademisi, atau pun destruktor?

Ketika saya melakukan perjalanan ke Yogya, mampir ke sebuah toko buka yang menjadi langganan saya sejak mahasiswa di Yogyakarta 1979”yang mana pemiliknya pada waktu itu masih berjualan buku bekas di Shopping Center.

Tiba-tiba mata saya tertuju pada buku Fragmen Sejarah Intelektual, karya Ignas Kleden, yang dipajang di rak buku-buku baru. Memang buku tersebut adalah kumpulan berbagai artikel Ignas.

Namun yang menarik bagi saya adalah kata pengantarnya yang memberikan kerangka berpikir tentang apa itu intelektual, baik pada masa pergerakan nasional maupun pasca Indonesia diproklamirkan, sehingga langsung saya berusaha membacanya sepanjang perjalanan kereta api dan pesawat hingga mendarat di Banda Aceh.

Kata kunci yang paling kuat di dalam wacana yang dikonstruksikan oleh Kleden, kira-kira, bahwa intelektual adalah mereka yang memberikan “kontribusi kepada human investment dalam membangun Indonesia sebagai Rumah Bersama.”

Seandainya, kita aplikasikan dalam konteks kebijakan pembangunan di dalam Kopelma Darussalam, apakah kebijakan Rektor USK dalam hal pembangunan kampus dapat dikatagorikan sebagai tindakan yang memberikan kontribusi untuk human investment pada rumah bersama perdamaian paska DI/TII di Aceh?

Begitulah, kebijakan rektor itu lebih merepresentasikan diri akademisi yang asyik masyuk di dalam sebuah laboratorium, sehingga apa yang selalu dibayangkan adalah untuk meluaskan dan memenuhi fasilitas laboratoriumnya.

Mereka tidak merasakan berada di dalam sebuah konteks sosial yang sarat dengan nilai historis, baik aksi para syuhada, kebajikan para guru pendahulu dirinya dan, kebijakan para pemimpin Aceh. Naudzubillah!*

*Penulis adalah geograf dan sosiolog, yang bermukim di Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda