kip lhok
Beranda / Opini / Desa: Episentrum Baru Korupsi

Desa: Episentrum Baru Korupsi

Sabtu, 04 Desember 2021 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +


 Dosen Tetap STIA Iskandar Thani, Akhsanul Khalis M.P.A.  [Foto: IST] 


DIALEKSIS.COM |  Banda Aceh - Desa yang dulu dipuja sebagai simbol warisan kearifan adat dan budaya, sedang berada di ruang tergelapnya. Seiring mengalirnya anggaran ke setiap desa, penyakit korupsi pun tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan. Penyakit korupsi mulai menjangkiti elit-elit desa. kabar sejumlah kasus korupsi dana desa kentara menghiasi halaman berita nasional dan daerah. Dengan begitu pertanda ada masalah dengan integritas kepemimpinan desa saat ini. 

Degradasi nilai kepemimpinan

Adapun perbedaan nilai yang mencolok di antara model kepemimpinan desa zaman dulu dengan saat ini. Dahulu aparatur desa menjadi contoh teladan atas jiwa keluhuran kepemimpinan. Bayangkan dulu rata-rata kepala desa mengemban tanggung jawab kepemimpinan dalam masa jabatan dengan rentang waktu lama dan gajinya pun tergolong kecil. Kendati demikian, dengan gaji kecil kepala desa mampu bekerja mengayomi warganya di tengah himpitan berbagai macam peliknya masalah.

Nilai kepemimpinan desa yang seharusnya mengayomi warganya dengan kesederhanaan dan keluhuran akhirnya digerus oleh peliknya perkembangan zaman atas nama pembangunan dan modernisme. Kebijakan dana desa justru menjadikan sistem kepemimpinan desa terliberalkan. Liberalisasi dan kapitalisasi desa menghasilkan konsekuensi nilai kepemimpinan yang kian merosot.

Kepemimpinan desa mulai dibumbui konflik kepentingan. Kontestasi politik di level desa, tidak jauh beda dengan ajang pemilihan kepala daerah bupati atau gubernur. Akhirnya banyak elit-elit desa lahir dari pasar gelap politik transaksional.

Sistem kepemimpinan desa layaknya ala dealer yang cuma mengejar keuntungan. Motivasi menjadi elit desa atas dasar untung rugi. Dampak akibat praktik politik transaksional, tidak tertutup kemungkinan kepala desa terpilih berpotensi menjadikan dana desa sebagai keuntungan dari biaya politik. Kemudian juga praktik korupsi semakin dipermudah karena latar belakang sosiologi desa yang cenderung homogen; rantai kekeluargaan yang sangat erat membentuk dan mengamankan dinasti politik serta monopoli kekuasaan di level desa.

Hampir dipastikan sebagian besar oknum elit desa tersangkut dengan kasus korupsi. Banyak oknum elit pemerintah desa merasa punya kesempatan dengan memanfaatkan keberlimpahan dana desa. Korupsi menjadi anti klimaks bahwa pembangunan desa tidak hanya ditopang dengan anggaran desa yang banyak. Namun banyak pakar yang masih berpikir ketertinggalan desa dapat diselesaikan dengan keberadaan anggaran, ternyata anggapan itu meleset.

Pembangunan desa bukan saja tergantung kepada anggaran semata, akan tetapi sangat dibutuhkan sumber daya manusianya seperti: moralitas kepemimpinan. Semua orang pasti tahu sukses atau tidaknya pembangunan desa sangat ditentukan oleh nilai moralitas kepemimpinan. Moralitas kepemimpinan seperti sikap mendahulukan kepentingan umum dan kejujuran adalah pondasi dasar dalam mengelola lembaga publik.

Mata publik akan sulit berkedip memantau moralitas setiap pimpinan baik itu di lembaga tertinggi; presiden sampai kepada lembaga terkecil yaitu kepala desa. Setiap peradaban manapun, nilai moralitas seorang pemimpin akan terus menjadi penilaian utama.

Minimnya akuntabilitas

Aspek moralitas saja tidak cukup apabila konsep aturan dalam tata kelola anggaran tidak diperkuat. Mencegah korupsi dana desa mesti dibutuhkan penguatan kembali konsep akuntabilitas. Apabila perangkat desa paham dengan konsep akuntabilitas, celah korupsi bisa dicegah sedini mungkin.

Akuntabilitas yang bermakna adanya pertanggung jawaban sesuai dengan kebijakan mengenai pengeluaran dan pemasukan anggaran dari setiap program kerja.

Kerja perangkat desa dinilai masih sangat amatiran. Laporan dan catatan setiap kebijakan sering luput dikerjakan sebagai bukti pertanggung jawaban. Nilai pengetahuan aparatur desa tentang hukum dan aturan tata kelola dana desa bisa dikatakan masih tergolong minim.

Beberapa kasus korupsi dana desa karena penggunaan anggaran akibat asal terobos. Sering kali menggunakan uang dari sumber dana desa untuk keperluan pribadi, dengan status berupa pinjaman.

Akibat manajemen anggaran yang buruk, kepala desa sering lupa atau memang sengaja pura-pura lupa untuk mengembalikan pinjaman. Pada saat dilakukan audit: anggaran tidak sesuai dengan data, catatan pengeluaran berapa jumlah dana yang sudah terpakai tidak jelas.

Saya selaku penulis pernah memberikan tugas mini riset ke mahasiswa untuk meneliti tentang permasalahan dana desa. Hasil pantauan mahasiswa, banyak pembangunan desa khususnya di Aceh tidak maksimal. Dana desa banyak digelontorkan untuk membangun yang justru sarat kepentingan pribadi, tidak penting, terlalu dipaksakan, dan tidak strategis. Jangan heran kemudian banyak proyek fisik dibangun asal jadi dan berakhir mangkrak.

Kebijakan pembangunan desa berhenti di tengah jalan menandakan begitu kronisnya korupsi yang terjadi di desa-desa. Minimnya akuntabilitas pengelolaan dana desa, sampai kapan pun menyebabkan semakin banyak elit desa terjaring kasus korupsi.

Gelontoran anggaran desa sebagai wujud pembangunan dari pinggiran akhirnya menemui jalan terjal. Pembangunan desa yang bersumber dari anggaran desa hanya menambah beban masalah baru yaitu desa menjadi episentrum korupsi.

Penulis: Akhsanul Khalis M.P.A ( Dosen Tetap di STIA Iskandar Thani)

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI
Komentar Anda