Cut Nyak Dhien Ratu Jihad, Kartini Pejuang Emansipasi, Tidak Perlu Dibanding-Bandingkan
Font: Ukuran: - +
Penulis : Sherly Maidelina
21 April dikenal dengan hari Kartini, tanggal lahirnya dijadikan Presiden Soekarno untuk diperingati sebagai Hari Pahlawan Kemerdekaan Nasional, khususnya tentang emansipasi. Soekarno menetapkan hari Kartini pada 2 Mei 1964.
Jargon “Habis Gelap Terbitlah Terang” dijadikan inspirasi bagi kaum hawa yang merasa masih tertindas ketidakadilan gender. Baik stereotip atau pelebelan negatif, subordinasi anggapan tak penting dalam hal politik serta marjinalisasi atau rentan termiskinkan dengan upah yang lebih minim daripada kaum adam, serta double burden atau beban ganda.
Dimana seorang Ibu acapkali menjadi pendidik, pengasuh sekaligus tulang punggung keluarga. Sebagai pejuang emansipasi, maka peringatan hari Kartini pun sering disuguhi penayangan akan keberhasilan kaum hawa menempati posisi yang selama ini ditempati pria.
Seperti perempuan menjadi pilot atau pemimpin ditengah-tengah dominasi kaum adam. Ya keberhasilan emansipasi pada umumnya ditinjau dari segi puncak karir yang bisa sejajar dengan kaum pria, istilahnya ketika pria bisa lalu mengapa perempuan tidak.
Perjuangan perempuan untuk bisa mencapai puncak yang dianggap ranahnya pria pun bisa dibilang dua kali lipat lebih ekstra dibanding pria. Karena perempuan yang sukses dikarir tentu dia juga harus siap menjalani peran ganda dengan juga sukses mendidik anak atau sebagai istri dan Ibu.
Muncullah istilah perempuan super atau wonder women. Maka publik pun menjadi salut akan keberhasilan tersebut, dan itulah dianggap generasi kartini. Pertanyannya, benarkah?
Terlepas dari benar tidaknya keberhasilan dari sebuah emansipasi, tulisan saya ini lebih menyoroti bahwa Kartini dan Cut Nyak Dhien berbeda di garis perjuangan mereka. Sehingga tak perlu publik kecewa atau berkomentar sinis, mengapa Kartini yang dirayakan, mengapa tak Cut Nyak Dhien yang lebih hebat tidak dirayakan.
Dimana Cut Nyak Dhien, adalah wonder women yang sebenarnya, yang rela mengorbankan nyawa demi menyelamatkan negeri. Cut Nyak Dhien tak takut mengangkat senjata, bahkan ia pun berinisiatif langsung mengganti sang suami di medan perang dengan memimpin pasukan ‘Inong Balee’ atau ‘perempuan janda’.
Dimana istilah janda pada saat itu tentu bukanlah istilah yang rendah. Malah janda dijadikan kekuatan sebuah pasukan. Tak hanya Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati pun menamai pasukan perangnya “Inong Balee”.
Mengingat kondisi janda merupakan kekuatan besar untuk semangat melawan penjajah yang telah menghilangkan nyawa suami mereka. Sehingga Aceh adalah sebuah daerah dimana Janda merupakan sebuah pasukan khusus yang terdiri dari perempuan luar biasa, berperang demi negeri tercinta.
Cut Nyak Dhien dan Kartini sama-sama dijadikan pahlawan, film tentang mereka pun dibuat untuk dikenang generasi masa kini. Dilihat dari film pun, tentu harusnya kita mencerna bahwa mereka berdua memang berjuang di jalan yang berbeda.
Kartini berjuang di alam pikiran, alam pikiran yang merendahkan kaum hawa dan para budak. Sementara Cut Nyak Dhien berjuang di medan perang, disituasi yang tak ada catatan sejarah tentang terpinggirkannya kaum perempuan ketika itu.
Tak ada istilah ketidakdilan gender ketika itu, karena kerajaan Samudera Pasai pun beberapa kali di pimpin oleh kaum hawa. Mengenai teknik perang pun, bahkan Malahayati dikenal belajar memanah dan berkuda di Turki. Tak ada pertentangan sebagaimana yang dirasa Kartini. Intinya Aceh saat itu tak perlu memperjuangkan yang disebut “emansipasi”.
Apa itu Emansipasi? Kbbi.web.id menerangkan bahwa emansipasi bermakna, 1. pembebasan dari perbudakan; 2. Persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sementara emansipasi wanita yaitu proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju.
Maka ditinjau dari istilah emansipasi itu sendiri, telah bisa kita pahami, bahwa di masa Kartini , perempuan untuk bersekolah saja susah, konon lagi untuk ikut andil dalam berperang. Karena Kartini tinggal di wilayah Jawa yang saat itu berhasil dikuasai oleh Belanda.
Perbudakan merajalela, bahwa anak petinggi atau ningrat pun masih sulit bersekolah. Sementara Cut Nyak Dhien tinggal di Aceh, dimana Belanda tak pernah berhasil mendudukinya.
Dalam surat Kartini kepada Manuela Abendanon-Mandri tahun 1901 ia menulis. "Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami".
Dalam surat tersebut jelas Kartini sedang mengkritik budaya Jawa, maka ketika kini situasi telah berubah. Dimana perempuan Jawa juga mendapatkan pendidikan yang layak dan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Bahkan sudah bisa menentukan pasangan hidupnya sendiri bisa dibilang cita cita Kartini terwujud dan ia layak disebut pejuang emansipasi dalam ruang lingkup pendidikan.
Sehingga makna kesetaraan yang diinginkan Kartini yaitu tentunya dibidang kesempatan mendapatkan pendidikan antara laki-laki dan perempuan, agar perempuan bisa menjadi Ibu yaitu pendidik paling utama bagi anak-anaknya dan pria akan menjadi penjaga kepentingan bangsa . (sumber Kompas.com, 23 /4/2021)
Dari sudut perjuangan alam pikiran “habis gelap terbitlah terang” tentu tak ada yang salah jika Kartini dikenang. Sementara dari segi keberanian melawan penjajah dengan siap berdarah-darah, Cut Nyak Dhien tak ada duanya.
Bahkan Cut Nyak Dhien pun ketangkap diusianya yang telah renta hingga meninggal dunia di usia 60 tahun. Sementara Kartini, baru saja ia telah berhasil membangun sekolah untuk anak-anak perempuan, ia meninggal dunia diusia terlalu muda, 25 tahun dan empat hari setelah melahirkan anak pertamanya.
Jika ditanya mana yang lebih hebat dari keduanya? Tentu keduanya sama-sama hebat di jaman dan dengan situasi mereka. Sehingga keduanya tidaklah patut dibanding-bandingkan. Cut Nyak Dien adalah ‘Ratu Jihad’ dan Kartini ‘Pejuang Emansipasi’.
Penulis: Sherly Maidelina (Wakil Ketua FORHATI (Forum Alumni HMI-Wati) Langsa)