kip lhok
Beranda / Opini / Bahasa Aceh dan Instruksi Pj. Gubernur

Bahasa Aceh dan Instruksi Pj. Gubernur

Minggu, 30 April 2023 12:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Herman RN, Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (Adobsi) Provinsi Aceh; Mengajar di FKIP USK. Foto: For Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Opini - “BAHASA adalah jati diri bangsa!” Slogan ini sudah hidup berabad silam. Jargon singkat ini menegaskan bahwa bahasa adalah lambang kebanggaan sebuah bangsa. Manakala bahasa nasional menjadi lambang dan identitas nasional, bahasa daerah menjadi lambang dan jati diri daerah yang bersangkutan.

Mungkin karena itulah, Pj. Gubernur Aceh mengeluarkan instruksi nomor 05/INSTR 2023 tentang Penggunaan Bahasa Aceh, Aksara Aceh, dan Sastra Aceh, tertanggal 21 Maret 2023. Dalam intruksi tersebut Pj Gubernur Aceh atas nama Pemerintah Aceh meminta semua instansi pemerintah dalam lingkup Pemerintah Aceh agar menggunakan aksara Aceh untuk nama-nama kantor. Setiap hari Kamis, semua pegawai dalam lingkungan Pemerintah Aceh pun diminta dapat menggunakan bahasa Aceh.

Selintas, instruksi Pj. Gubernur Aceh ini sangat bagus dan patut diapresiasi. Ada keinginan Pj Gub untuk menaikkan derajat identitas ke-Acehan dengan mewajiban berbahasa Aceh pada hari Kamis. Hal seperti ini sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sejak tahun 2014 silam. Melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah nomor 430/9525 tentang Penggunaan Bahasa Jawa untuk Komunikasi Lisan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mewajibkan PNS di Jawa Tengah untuk menggunakan bahasa Jawa setiap hari Kamis.

Hal senada juga dilakukan oleh Bupati Bandung untuk bahasa Sunda. Bupati Bandung, Supriatna, mewajibkan berbahasa Sunda setiap hari Rabu bagi pelajar, mulai TK hingga SMP. Kewajiban ini berlaku sejak 13 Oktober 2021.

Entah karena ada di Jawa dan Bandung, Pj. Gubernur Aceh mau ikut-ikutan, atau memang ini suatu kebijakan strategis yang muncul dari tim ahli bidang bahasa dan budaya dalam lingkungan Pemerintah Aceh. Intinya, intruksi tersebut perlu, tetapi harusi mempertimbangkan beberapa hal agar tidak sampai buet walanca-walancé, asai pubuet hana pike.

Beberapa catatan penting yang harus dipahami oleh Pj. Gubernur Aceh antara lain bahwa Aceh tidak memiliki aksara khusus sebagaimana aksara Carakan di Jawa. Bagaimana masyarakat memahami kewajiban menulis dengan aksara Aceh dalam instruksi Pj. Gubernur tersebut?

Selain itu, sampai sekarang Aceh belum memiliki ejaan standar yang berlaku dan sah. Masing-masing punya langgam tersendiri menulis dalam bahasa Aceh. Orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) punya stile sendiri menulis dalam bahasa Aceh, misalnya masih terpengaruh ejaan Van Ophuiysen. Mereka menulis jeut ‘jadi’ dengan djeud.

Dalam kalangan masyarakat awam, penulisan ‘baru’ sering disamakan seperti menulis ‘kemarin’. Kedua kata ini ditulis baroe. Belum lagi soal penggunaan tanda diakritik, ada yang menggunakan tanda diakritik, ada yang tidak. Artinya, belum ada ejaan standar yang memang disahkan oleh Pemerintah Aceh sehingga penulisan dalam bahasa Aceh masih tarik-menarik di setiap kalangan.

Kongres Bahasa Aceh

Kongres Bahasa (daerah) Aceh sudah beberapa kali dilakukan. Paling tidak, tahun 2007, pernah diselenggarakan Kongres Bahasa Daerah Aceh di Anjong Mon Mata. Kongres yang digagas oleh Pemerintah Aceh masa Pemerintahan Irwandi-Nazar ini sudah lumayan bagus dengan melibatkan unsur dari berbagai kabupaten/kota. Namun, rekomendasi hasil kongres tersebut hilang bersama angin lalu.

Selanjutnya, pada tahun 2015 pernah ada Kongres Peradaban Aceh (KPA 2015). Kongres ini fokus pada penguatan bahasa-bahasa lokal di Aceh. Menariknya, kongres ini diinisiasi oleh beberapa aktivis, pemuda, dan politisi yang peduli pada peradaban Aceh. Dana penyelenggaraan KPA 2015 dikutip dari individu warga Aceh, baik yang ada di Aceh maupun yang di luar Aceh. Sayangnya, hasil kongres yang luar biasa dahsyat itu juga hilang ditelan dawa-dawi oknum internal KPA 2015.

Artinya, hingga sekarang belum ada standar ejaan yang benar-benar disahkan oleh Pemerintah Aceh. Harusnya, sebelum mengeluarkan instruksi wajib menulis dan menggunakan bahasa Aceh, Pemerintah Aceh sudah memiliki ejaan standar sehingga penulisan dalam bahasa Aceh akan seragam.

Perlu Tim Perumus

Untuk memperkuat instruksi Pj. Gubernur Aceh terkait penggunaan tulisan bahasa Aceh, Pemerintah Aceh perlu membentuk tim perumus ejaan bahasa Aceh standar. Ejaan ini mungkin saja akan berbeda dengan gaya Van Ophuiysen, akan berbeda dengan rumusan Scnouck Hurgronje, dan akan beda lagi dengan gaya penulisan kalangan GAM. Terlepas dari itu semua, Pemerintah Aceh perlu mengeluarkan Pedoman Ejaan Bahasa Aceh (PEBA).

 PEBA disusun oleh tim ahli bidang bahasa dengan melibatkan pakar akademisi, penulis, dan peneliti. Tidak perlu banyak orang, lima hingga 7 orang cukup. Tim ini yang akan merumuskan PEBA. PEBA kemudian disosialisasikan ke seluruh kabupaten/kota, kantor, lembaga, badan, dan instansi sekolah. Setelah sosialisasi berjalan, barulah instruksi kewajiban penulisan menggunakan bahasa Aceh dan kewajiban berkomuniasi dengan bahasa Aceh itu relevan perintahkan.

 Karena instruksi Pj. Gubernur Aceh tentang bahasa Aceh ini sudah keluar, Pemerintah Aceh harus segera membentuk tim perumus PEBA. Buku pedoman ejaan tersebut dapat diluncurkan secara resmi bertepatakan dengan momen Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VIII. Jika ini dilakukan segera, barulah hadih maja nanggroe meusyara’, lampôh mupageue, umong meu-ateueng, ureueng meunama, geutanyo mubasa berjalan dengan relevan di Provinsi Aceh. Semoga!

Penulis: Herman RN (Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (Adobsi) Provinsi Aceh; Mengajar di FKIP USK)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda