DIALEKSIS.COM | Opini - Dalam legenda ”Atu Belah Atu Bertangkup”, batu ajaib menelan seorang ibu yang putus asa, meninggalkan anak-anaknya dalam kemiskinan karena tak patuh pada pesan orang tua. Cerita itu diwariskan turun-temurun di tengah masyarakat Aceh, seolah peringatan bahwa kekayaan atau kekuasaan bisa membawa petaka bila tak dikelola secara bijak.
Kini, legenda itu terasa laksana cermin bagi realitas Aceh. Provinsi berlimpah sumber daya alam dan menerima dana otonomi khusus (Otsus) triliunan rupiah setiap tahun, justru masih memanggul stigma sebagai daerah termiskin di Sumatra.
Seakan-akan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) ditambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK) yang begitu besar justru menjelma menjadi “Atu Belah” modern, menelan harapan rakyat yang mestinya penerima manfaat utama.
Kuat dugaan rapuhnya tata kelola pemerintahan, di mana praktik misalokasi APBA dan APBK disinyalir terjadi secara sistemik. Anggaran yang seharusnya menjadi pemicu pembangunan dan pengentasan kemiskinan, justru disalahgunakan melalui praktik "meukat" dan "fee proyek" sehingga menggerogoti pembangunan.
Secara teori, sistem keuangan daerah Aceh sudah dibuat rapih. Salah satunya, melalui mekanisme pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota dewan, yang berfungsi menjembatani aspirasi rakyat dengan rencana pembangunan. Semua usulan dimasukkan ke Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD), diverifikasi, dan kemudian divalidasi berlapis oleh birokrasi.
Di atas kertas, Pokir adalah pagar pengaman. Tapi di lapangan, pagar itu rapuh. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali mengingatkan: Pokir rawan dijadikan alat transaksional. Legislator bisa saja menekan SKPA atau SKPK agar menunjuk kontraktor tertentu, lalu meminta “fee proyek” sebagai imbalan, atau bahkan ”panjar” yang duluan dipungut di depan.
Kasus serupa pernah terbongkar di berbagai daerah lain. Di Lombok Barat, misalnya kejaksaan mengusut dugaan penyalahgunaan dana Pokir. Di Padang, Sumatra Barat, Wakil Ketua DPRD terjerat kasus bansos. Pola serupa diyakini juga terjadi di Aceh, meski kerap sulit dibuktikan secara hukum -- mungkin belum diusut tuntas.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut oleh aktivis antikorupsi sebagai “sistem bayangan”. Mekanisme formal yang transparan hanya jadi etalase, sementara transaksi sesungguhnya malah berlangsung di balik layar -- di ruang-ruang gelap lobi politik dan pertemuan tidak resmi.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun nyaris selalu membuka pola yang sama: kekurangan volume pekerjaan, proyek tidak sesuai spesifikasi, gedung tak fungsional, hingga keterlambatan yang tak dibayar denda.
Sebagai contoh, pembangunan Gedung Badan Pengelolaan Keuangan Aceh (BPKA) senilai Rp34,7 miliar terbengkalai, tahun 2023, padahal letaknya hanya sepelemparan batu dari Kantor Gubernur Aceh. Ada juga pembayaran utang tujuh proyek multi-years sebesar Rp43,9 miliar ternyata tak tercantum dalam APBA-P 2024.
Kebocoran itu punya wajah nyata. Bendungan Krueng Pase di Aceh Utara, misalnya, dibangun dengan biaya puluhan miliar dari APBN. Harapannya: sawah petani tak lagi kekeringan. Nyatanya, proyek mangkrak, air tak mengalir, ribuan petani merugi, gagal panen.
Korupsi tak hanya menguapkan uang negara. Ia merampas mata pencaharian, memutus rantai produksi pangan, dan menggerogoti rasa percaya rakyat terhadap pemerintah.
Masalah tak berhenti di proyek infrastruktur. Bekas Kadis Pendidikan Aceh dijebloskan ke penjara akibat kasus pengadaan wastafel miliaran rupiah dari APBA 2020. Mestinya, kasus ini diusut sampai ke akar-akarnya, dan siapa pun yang ikut menikmati dana dari proyek Rp43,5 miliar diproses hukum. Belum lagi kasus beasiswa dari APBA 2017 yang merugikan negara Rp10 miliar.
Lebih menyakitkan lagi, program bantuan bibit ikan Rp15,7 miliar yang melibatkan Ketua BRA tahun 2023, untuk mantan kombatan GAM dan korban konflik ternyata fiktif. Kasus korupsi ini semakin memperparah ketidakpercayaan masyarakat.
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mencatat, sepanjang 2024, kasus korupsi paling banyak justru bersumber dari dana desa. Modusnya berulang: laporan fiktif, mark-up, hingga penyelewengan langsung. Artinya, praktik “Atu Belah”-- meminta bagian dari proyek -- tidak hanya menjadi budaya di provinsi, kabupaten dan kota, tapi juga sudah merembes hingga ke gampong.
Kemiskinan
Sejak 2008, Aceh sudah menerima lebih dari Rp100 triliun dana Otsus. Tetapi, angka kemiskinan masih membayangi. Analisis ekonom menunjukkan: persoalan utamanya bukan karena kurang dana, melainkan dugaan korupsi, rendahnya kualitas pendidikan, dan minimnya investasi.
Dana pendidikan yang dikorupsi berarti hilangnya kesempatan memperbaiki kualitas Sumber Daya Manusia Aceh. Proyek mangkrak membuat investor enggan menanamkan modal. Akhirnya, rakyat kecil yang menanggung akibatnya.
Memang, ada kabar baik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan kemiskinan Aceh, dari 14,23% pada Maret 2024 menjadi 12,33% pada Maret 2025. Penurunan ini tercepat di Sumatra. Tapi pertanyaan krusialnya: apakah penurunan itu berkelanjutan, atau hanya “hiasan statistik” sementara praktik ”fee proyek” tetap subur?
Kesenjangan desa dan kota juga masih tajam. Pada September 2024, angka kemiskinan perdesaan mencapai 14,99%, jauh lebih tinggi dari perkotaan yang hanya 8,37%. Kalau korupsi di level desa tak terkendali, capaian penurunan kemiskinan bisa terancam balik arah.
Pemerintah Aceh bukan tanpa usaha. Ada peraturan gubernur tentang penanganan benturan kepentingan. Ada juga program ”Satu Data Aceh” guna mendorong tata kelola berbasis data. Bahkan, Aceh pernah mendapat penghargaan dalam penerapan standar tata kelola.
Namun, jurang besar tetap terbentang antara regulasi dan implementasi. Banyak pihak menilai Aceh perlu langkah lebih radikal. Salah satu gagasan yang kerap dilontarkan pakar antikorupsi adalah mewajibkan seluruh transaksi anggaran dilakukan non-tunai. Sistem ini menciptakan jejak digital yang sulit dihapus, memudahkan pelacakan, dan mempersempit ruang untuk praktik suap.
Lebih jauh lagi, transparansi penggunaan anggaran mesti menjadi budaya, bukan hanya sekadar jargon. Tanpa perubahan mendasar, APBA dan APBK besar akan terus bocor, meninggalkan rakyat dengan janji-janji pembangunan yang tak pernah utuh terwujud.
Epilog
Legenda ”Atu Belah Atu Bertangkup” ditutup dengan pengorbanan ibu yang menjadi jimat bagi anak-anaknya. Dari tragedi lahirlah daya tahan. Begitu pula Aceh. Semoga kepercayaan publik yang tersisa dijadikan modal menuju perubahan.
Pertanyaan yang menggantung kini: apakah APBA akan terus sebagai “ajang bagi-bagi proyek antar-elite” yang menggerogoti, ataukah "Atu Belah" menjadi instrumen untuk benar-benar mengangkat kesejahteraan rakyat?
Pilihan ada di tangan elite politik, birokrasi, penegak hukum, dan masyarakat sipil. Jika keberanian yang revolusioner tak kunjung ditempuh, maka ”Atu Belah” terus menelan generasi Aceh.[**]
Penulis: Nurdin Hasan (Jurnalis Freelance)