APBA 2021 16,9 T: Incognito Kemiskinan di Negeri Syariah?
Font: Ukuran: - +
Oleh: Muhammad Yuzan Wardhana, SP., M.EP.
Aceh rasanya berada di titik nadir rasa malu, karena beberapa berita kemiskinan ditengah pandemic kembali tersiar mendera umat bumi Serambi Mekah. Akankah berbuah ketimpangan kesejahteraan dan membuat moral insan-insan yang mengaku perduli akan nasib negeri ini juga tergerus oleh “kemiskinan” identik dekat dengan kekufuran. Jika demikian, bukankah seharusnya Syariah adalah solusi menghapus kemiskinan?
Negara-negara atau daerah dominan Islam sejatinya adalah contoh kemakmuran, walau syurga dari nikmat dan makmur itu menjadi rebutan koalisi dunia untuk menguasainya. Apakah Aceh yang merupakan negeri Syariah dengan APBA yang besar juga mengalami kondisi yang sama? Mari kita ulas fenomena tentang kemiskinan di Provinsi Aceh.
Menurut data, Aceh sudah tak lagi menduduki peringkat wahid sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Namun, benarkah wujud kemiskinan itu sudah lenyap atau justru tersembunyi tidak tercatat, tak ada jejak, dan tak terdata (incognito mode). Mari kita telaah rupa-rupa kemiskinan seperti apa yang kasat mata di Aceh, sehingga membuat provinsi kaya ini diklaim bebas miskin.
Rupa-rupa kemiskinan
Pertama, kultur Aceh yang sangat tinggi nilai kekeluargaan dan kebersamaannya, tercermin dari pola hidup bermasyarakat. Hingga, dapat diasumsikan wujud kerukunan ini dengan hampir setiap gampong memiliki kuali/belangong untuk merayakan kenduri pada hari-hari besar muslim atau hajatan adat, maupun masyarakat lainnya, dengan wujud kebersamaan dalam silaturahim.
Hal ini tentu memberi perpektif pada kita, bahwa peradaban atau kultur Aceh tak kesulitan untuk saling menopang kemegahan dan kekayaannya. Sekilas tak ada yang miskin diantara kita, walau tak dipungkiri kita menemukan beberapa kasus kemiskinan.
Bahwasanya ada diantara penduduk Aceh yang tak tersentuh oleh kepedulian sesama manusia dan terasa terasing dari peradaban sekitarnya. Maka tak heran jika dikatakan daerah yang memiliki kantung kemiskinan (identik di pelosok pedesaan) biasanya bersifat organik.
Arti maupun ilustrasi dari sifat organik adalah irama kehidupan masyarakatnya sangat ditentukan oleh lingkungan fisik (sumberdaya sekitar), lingkungan metafisik (hakekat hidup dari kepercayaan-kepercayaan/keimanan), maupun lingkungan sosialnya.
Kepuasan bertindak dan kepuasan batiniah sangat ditentukan oleh lingkungan-lingkungan tersebut. Maka dari itu masyarakat yang lazim berada di sekitar kantung kemiskinan lebih mementingkan kebutuhan dalam masyarakat, kebutuhan yang bersifat tradisional, hingga tidak jarang membatasi kebutuhan dan nafsu pribadi lainnya.
Pada dasarnya individu merupakan suatu bagian dari organisme masyarakat, fungsi dan kedudukannya, kebutuhan dan kepuasannya sangat ditentukan oleh organismenya sebagai keseluruhan, baik organisme alam (fisik dan metafisik) maupun organisme sosial melalui intuisionalnya.
Banyak tuduhan terhadap organisme yang berada di kantung kemiskinan, merupakan indolen, fatalisme, dan kemalasan yang bersumber pada tiadanya pengertian dan penghargaan berkehidupan.
Dalam hal ini masyarakat dengan dualisme organismenya lebih banyak meyangkut kebutuhan kehidupan bersosial yang terikat dalam adat istiadat. Sehingga, tak jarang muncul dilema peruntukan dana atau manajemen keuangan yang dibangun dalam keluarga menjadi terpecah untuk kebutuhan yang tidak focus.
Bukan hanya untuk usaha, melainkan juga bias untuk kebutuhan sosial adat istiadat yang juga serasa bukan beban baginya, karena prestis bermasyarakat bagi Acehnis lebih berharga dari pada menjalani kehidupan yang ego-isme.
Kedua, tipikal masyarakat yang berada di sekitar kantung kemiskinan adalah konsumtif sedangkan mobilisasi produktifitas dan produksinya sangat rendah. Hal ini bisa disebabkan oleh kesenjangan yang terlalu domplang antara kota dan desa, hingga pertentangan yang sering terjadi dalam rumah tangga miskin, yaitu dilema penentuan prioritas antara pemenuhan ekonomi barang atau ekonomi uang (saving money), dan kompleksitas utama dari keduanya adalah jika peredaran uang atau sirkulasi ekonominya sangat rendah di daerah tersebut, maka tak perlu ditanya kemampuan simpan/ menabung. untuk daya beli masyarakatnya saja sudah tentu berada diambang kelaparan dan sebagainya, hingga yang terparah adalah terkena jeratan “lingkaran setan kemiskinan” (Vicius Circle of Poverty).
Miskinkah Aceh ?
Dari kedua hal terkait rupa-rupa “incognito” kemiskinan di Aceh yang telah dikemukakan, maka masihkah ada terobosan yang mampu mendobrak bentangan garis kemiskinan? Agar belenggunya yang durjana mampu kita lepaskan dan kembali menghirup udara segar kesejahteraan ekonomi nan kaya bagi rakyat dan daerah Aceh yang kita cintai.
Optimisme itu harus kita miliki dengan menolak embel-embel Aceh provinsi miskin. Jika sifat organik yang identik berada di kantung-kantung pedesaan dan identik dengan kaum tani dan nelayan, dimana kemiskinan bergantung pada lingkungan fisik, maka tak perlu dibantah bahwa sumberdaya Aceh subur nan kaya, begitu juga dengan lingkungan metafisik yang berasal dari kepercayaan dan tak perlu dipertanyakan bahwa Aceh kental syariah Islamnya.
Balutan kasih sayang dengan saling berbagi dalam kehidupan masyarakatnya masih terus terjaga, ibarat seorang pengangguran yang tak bekerja sekalipun, untuk nasi sebungkus dan rokok sebatang, dalam sehari masih bisa didapat, walau perlu di ingat, kebiasaan merokok yang awalnya dari keinginan bisa menjadi kebutuhan, hingga melekat menjadi kulturiah yang lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya menurut dunia medis.
Maka apa yang salah pada Aceh yang bisa saja kembali berlabel miskin karena incognito menjadi cognito. Jika sumberdaya tak jadi halangan, metafisik atau kultur juga tak jadi hambatan.
Lantas, jika kedua perpektif yang telah diulas semata-mata bukan urgensi utama permasalahan terkait kemiskinan, mungkin perlu dipertanyakan bagaimana dengan kebijakan pemerintah Aceh maupun kebijakan pusat untuk Aceh dalam mengatasi kemiskinan?
Kebijakan skala prioritas seperti apa yang sedang dibangun oleh pilar-pilar utama pembangunan seperti eksekutif, legislatif, hingga peran aktif akademisi serta plus lembaga yang merepresentasikan kearifan lokal, yaitu Wali Nanggroe?
Masyarakat mungkin bisa dilabeli miskin, tapi tentu tak diam akan nasib dan masa depannya. Wajar jika masyarakat kritis terhadap pemerintah Aceh kini dengan segenap unsurnya, dan sudah wajib hukumnya bagi kita semua sebagai seorang Acehnese untuk berjuang bersama mendepak kemiskinan.
Rencana pembangunan berjangka jangan hanya sebatas rutinitas tak berkapasitas dalam penyusunannya, beri nilai prioritas dan tepat guna utamanya dengan menyentuh langsung kantong kemiskinan yang didominasi oleh kaum tani dan nelayan, utamanya dalam mewujudkan inovasi pembangunan dari segala aspek.
Mampu melihat kesempatan dalam kesempitan dengan pemanfaatan sumberdaya dan kearifan lokal, dan jangan anti dengan investasi di pedesaan yang identik dengan kemiskinan agar dapat menciptakan sirkulasi ekonomi uang yang deras namun terukur, agar roda kehidupan di kantung kemiskinan berputar kencang.
Untuk hal ini perlu pembinaan, pelatihan, pendampingan, dan pengawasan strategis plus gratis bagi sumberdaya manusia yang tak punya kesempatan mengecap pendidikan praktis, maupun peningkatan keterampilan akibat didera kemiskinan.
Hapus paradigma Aceh miskin dengan mewujudkan kenyataan kekayaan Aceh, tak perlu lagi ada perdebatan dalam lingkup koordinasi antar pilar pembangunan dan peran stakeholdersnya. Malulah pada diri kita seorang Acehnese yang terkenal martabat atau marwahnya sebagai bangsa yang tak mudah takluk.
Tak perlu lagi saling menyalahkan, karena yang dibutuhkan saat ini adalah niat baik dan aksi cepat tanggap menuju Aceh sejahtera dan bermartabat. Maka dari itu lepaskan egosentris yang menggoda dibalik kekuasaan yang ada pada setiap insan, agar tak perlu lagi ada keisengan kata-kata “Selamat Datang di Provinsi Termiskin”, atau tak perlu lagi timbul pertanyaan, kemanakah APBA 16,9 T itu hanyut di dalam arus pembangunan Negeri Syariah?
Penulis: Staf Pengajar Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Unsyiah