Rabu, 06 Agustus 2025
Beranda / Berita / Nasional / Tangkal Perceraian, Dayah dan Gampong Jadi Pusat Konseling Keluarga di Era Digital

Tangkal Perceraian, Dayah dan Gampong Jadi Pusat Konseling Keluarga di Era Digital

Minggu, 03 Agustus 2025 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Ilustrasi dayah dan gampong salah satu solusi tangkal perceraian di Aceh. [Foto: Dokumen hasil olah Artificial Intelligence (AI) oleh media dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Tahun 2025, angka perceraian di Aceh melonjak tajam sepanjang semester I 2025.

Berdasarkan data Mahkamah Syar’iyah (MS) Aceh, tercatat 2.923 pasangan mengajukan gugatan cerai dalam enam bulan terakhir. Mayoritas kasus didominasi oleh istri yang menggugat cerai suami.

Dari total perkara perceraian tersebut, sebanyak 2.311 merupakan cerai gugat (diajukan oleh istri), sedangkan cerai talak (diajukan suami) hanya 612 perkara.

Total perkara yang masuk ke MS Aceh sepanjang tahun ini mencapai lebih dari 5.000 kasus. Selain perceraian, perkara tersebut juga mencakup warisan, harta bersama, dan kasus pidana syariat (jinayat). Namun, judi online dan kecanduan media sosial seperti TikTok kini menjadi pemicu perceraian di Aceh.

Menanggapi hal tersebut, Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Hukum Keluarga di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Zahratul Misna menawarkan dayah dan gampong sebagai pusat konseling keluarga berbasis nilai dan budaya lokal.

Menurut Mahasiswa Pascasarjana tersebut, problematika keluarga di Aceh kini sudah sangat kompleks dan tidak bisa ditangani hanya dengan pendekatan seremonial atau ceramah umum. Diperlukan sebuah sistem pendampingan yang konkret, terstruktur, dan dekat dengan masyarakat.

"Konseling tidak harus dalam bentuk kantor ber-AC di kota. Justru yang dibutuhkan adalah ruang aman di gampong, di meunasah, atau di dayah tempat orang merasa nyaman berbicara. Konseling berbasis lokal ini jauh lebih efektif karena dekat secara emosional dan kultural,” ujarnya kepada dialeksis.com, Minggu (3/8/2025).

Ia menilai, selama ini banyak pasangan muda di Aceh yang mengalami krisis komunikasi dan kepercayaan, namun tak tahu harus mengadu ke mana.

Lembaga formal seperti KUA atau pengadilan syariah baru hadir ketika konflik sudah akut. Sementara kebutuhan untuk intervensi dini sangat minim.

Dalam konteks Aceh yang memiliki warisan keislaman dan komunitas yang kuat, dayah dan gampong memiliki posisi strategis untuk dijadikan pusat konseling keluarga.

Dayah tidak hanya tempat belajar agama, tetapi juga tempat mencari solusi dalam kehidupan, termasuk pernikahan.

“Dayah bisa memberikan penguatan nilai-nilai spiritual dan pendidikan rumah tangga yang relevan dengan era digital. Bukan cuma mengajarkan fikih pernikahan, tapi juga bagaimana bersikap ketika pasangan terlalu sibuk dengan media sosial, atau ketika ekonomi terganggu karena judi online,” terangnya.

Sementara itu, aparatur gampong seperti keuchik, imam gampong, dan tuha peut bisa dilibatkan dalam mediasi atau pendampingan informal yang sifatnya kekeluargaan. Dengan catatan, mereka diberi pelatihan dan pemahaman tentang isu-isu rumah tangga kontemporer.

Ia merinci langkah konkret yang dapat dilakukan di tingkat dayah dan gampong untuk menangkal laju perceraian akibat disrupsi digital dengan membentuk pos konseling keluarga di gampong.

Pos ini bisa menjadi tempat pengaduan awal untuk pasangan yang mengalami konflik ringan, sebelum mereka masuk ke ranah hukum. Pendamping bisa berasal dari tokoh agama, tokoh perempuan, atau mahasiswa hukum keluarga yang dilatih khusus.

Selain itu, mendorong Majelis Ta’lim dan pengajian keluarga bertema era digital. Materi pengajian tidak lagi hanya fokus pada hukum waris atau salat, tapi juga menyentuh tema seperti bahaya judi online, etika bermedia sosial dalam rumah tangga, hingga cara mendidik anak di zaman TikTok.

Dalam hal ini, menurutnya pelatihan bagi aparat Gampong dan guru dayah. Pelatihan ini mencakup komunikasi empatik, deteksi dini konflik rumah tangga, dan prosedur rujukan ke lembaga konseling yang lebih profesional jika diperlukan.

"Mahasiswa Pascasarjana Hukum Keluarga dan Psikologi Islam bisa melakukan pengabdian di gampong-gampong sebagai konselor muda atau pendamping keluarga dan para teungku dan keuchik bisa diajak aktif di media sosial untuk menyampaikan pesan-pesan rumah tangga islami yang aktual dan mencerahkan," ujarnya.

Dalam pandangannya, kesalahan pendekatan selama ini adalah menganggap penyuluhan atau ceramah cukup untuk membentengi rumah tangga dari ancaman digital. Padahal, solusi sejati adalah sistem pendampingan yang berkesinambungan dan membumi.

“Ceramah itu penting, tapi tidak cukup. Kita butuh sistem. Kita butuh orang-orang yang mau duduk mendengar keluhan istri yang merasa dicueki karena suaminya main TikTok terus. Atau ibu-ibu yang diam-diam main slot karena tekanan ekonomi. Ini persoalan nyata, bukan sekadar teori,” tegasnya.

Inisiatif menjadikan dayah dan gampong sebagai pusat konseling keluarga merupakan solusi yang tak hanya konkret tapi juga sesuai dengan struktur sosial Aceh. Ini memadukan pendekatan agama, budaya, dan partisipasi masyarakat sipil dalam satu kerangka kerja.

“Kalau kita bisa menata sistem ini, Aceh bisa jadi percontohan nasional dalam menjaga ketahanan keluarga di tengah badai digitalisasi. Ini hanyalah staregi untuk mengurangi fenomena tersebut namun hal itu semua pada akhirnya hanya kembali kepada pribadi masing karena perubahan bermula dari keinginan dan kesadaran diri sendiri,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI