Sepak Terjang Kasus Mafia Tanah Yang Masih Merajalela di Indonesia
Font: Ukuran: - +
Nirina Zubir bertemu dengan mafia tanah yakni Riri Khasmita di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (18/11/2021). [Foto: KOMPAS.com/Revi C Rantung]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Sepak terjang mafia tanah kembali mengemuka, menyusul peralihan nama sertifikat tanah milik keluarga figur publik, Nirina Zubir.
Praktik mafia tanah ini dilakukan oleh asisiten rumah tangga (ART) almarhumah ibunda Nirina yaitu Riri Khasmita.
Karena kasus yang menimpa keluarganya tersebut, Nirina memperkirakan kerugian mencapai Rp 17 miliar.
Keluarga Nirina bukanlah yang pertama menjadi korban keberingasan ulah mafia tanah. Sebelumnya, terdapat kasus lainnya yang juga terjadi di Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi DKI Jakarta.
Kanwil BPN DKI Jakarta telah menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) bodong kepemilikan tanah seluas 7,78 hektar atas nama Abdul Halim.
Sebelum diterbitkannya SHM atas nama Abdul Halim, Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Surat Keterangan (SK) Pembatalan 38 Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Salve Veritate.
Pembatalan 38 SHGB atas nama PT Salve Veritate oleh Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta ini dilakukan pada saat tanah tersebut masih dalam proses peradilan atau belum inkracht (eksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap).
Dalam penerbitan SK Pembatalan juga tidak ada Berita Acara Pemeriksaan Lapangan dan Laporan Penyelesaian Sengketa sebagaimana prosedur dalam Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Pejabat Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Administrasi Jakarta Timur juga dinilai secara sengaja melakukan mal-administrasi atas proses penerbitan SHM Nomor 4931/Cakung Barat atas nama Abdul Halim karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN akhirnya membatalkan SHM seluas 7,78 hektar atas nama Abdul Halim.
Namun, Kuasa Hukum Abdul Halim, Hendra, menampik pernyataan Sofyan. Dia mengeklaim, tanah yang berlokasi di Cakung, Jakarta Timur, tersebut merupakan milik Abdul Halim dan telah didaftarkan melalui mekanisme Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) serta sesuai prosedur perundang-undangan yang berlaku.
Adapun kasus lainnya, Kasus yang melibatkan mafia tanah dan tak kalah heboh adalah terkait ibunda Wakil Menteri Luar Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyo (SBY) Dino Patti Djalal.
Ibunda Dino menjadi korban mafia tanah karena mengetahui sertifikat miliknya telah dicuri. Padahal, kata Dino, ibunya tidak pernah melakukan akad jual beli (AJB) rumah tersebut.
Hingga akhirnya, Polda Metro Jaya mengungkap kasus mafia tanah yang dialami dan dilaporkan pihak keluarga Dino. Setidaknya, ada 15 tersangka yang ditangkap dari tiga laporan dugaan penipuan sertifikat tanah dan bangunan milik ibundanya itu.
Terkait hal ini, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan A Djalil dalam berbagai kesempatan selalu menjanjikan akan memberantas mafia tanah hingga ke akar-akarnya.
Sofyan juga memastikan akan melakukan audit terhadap pegawai BPN dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terlibat.
Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi mengakui masih ada oknum di BPN yang terafiliasi dengan jaringan mafia tanah.
Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN berupaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan pertanahan dengan digitalisasi dokumen.
Hingga saat ini, lebih dari 2,8 miliar dokumen pertanahan tercatat di seluruh kantor BPN di seluruh Indonesia.
Kementerian ATR/BPN juga gencar melakukan sertifikasi tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada seluruh bidang tanah di Indonesia.
Hal itu untuk memastikan agar pendaftaran tanah dilakukan dengan tepat. Jika terjadinya sengketa tanah, maka Kementerian ATR/BPN akan berupaya menyelesaikan dengan mengedepankan mediasi.
Selain itu, adapun upaya yang dilakukan untuk memberantas mafia tanah adalah dengan membentuk Tim Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah sejak tahun 2018. Awalnya, anggota dari tim ini terdiri dari Kementerian ATR/BPN dan Kepolisian Negara RI.
Tim ini dibentuk untuk menindaklanjunti Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri ATR/Kepala BPN dengan Kepala Kepolisian RI dalam surat Nomor 3/SKBIII/2017 dan Nomor B/26/III/2017.
Kementerian ATR/BPN juga telah menandatangani MoU bersama dengan Kejaksaan Agung RI pada tahun 2020 sebagai bagian dari tim tersebut. MoU yang ditandatangani tersebut tercantum pada Nomor 1/SKB-HK.03.01/1/2020 dan Nomor 11 tahun 2020.
Hingga saat ini, lebih dari 2,8 miliar dokumen pertanahan tercatat di seluruh kantor BPN di seluruh Indonesia. Kementerian ATR/BPN juga gencar melakukan sertifikasi tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) pada seluruh bidang tanah di Indonesia.
Jika terjadi sengketa tanah, Kementerian ATR/BPN akan berupaya menyelesaikan dengan mengedepankan mediasi. Selain itu, upaya yang dilakukan untuk memberantas mafia tanah adalah dengan membentuk Tim Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah sejak tahun 2018.
Awalnya, anggota dari tim ini terdiri dari Kementerian ATR/BPN dan Kepolisian Negara RI. Tim ini dibentuk untuk menindaklanjunti Memorandum of Understanding (MoU) antara Menteri ATR/Kepala BPN dengan Kepala Kepolisian RI dalam surat Nomor 3/SKBIII/2017 dan Nomor B/26/III/2017.
Kementerian ATR/BPN juga telah menandatangani MoU bersama dengan Kejaksaan Agung RI pada tahun 2020 sebagai bagian dari tim tersebut. MoU yang ditandatangani tersebut tercantum pada Nomor 1/SKB-HK.03.01/1/2020 dan Nomor 11 tahun 2020.
Inspektur Jenderal Kementerian ATR/BPN Sunraizal menambahkan, hingga saat ini telah memberikan sanksi terhadap 125 pegawai BPN yang terlibat dalam praktik mafia tanah. Dia merinci, 32 pegawai mendapatkan hukuman berat, 53 orang dihukum disiplin sedang, dan 40 orang dihukum disiplin ringan.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai, respons dan penanganan kasus mafia tanah yang dilakukan Pemerintah seperti pemadam kebakaran.
Apabila kasus mafia tanah yang melibatkan korban dari elite atau pejabat maupun figur publik, maka akan direspon dengan cepat.
Menurut Dewi, jaringan mafia tanah ini melibatkan orang-orang dalam pemerintahan, aparat, hingga pengadilan. Dan itulah mengapa, Kata Dewi, konflik agraria banyak mengalami kemacetan. Karena, Pemerintah enggan membongkar praktik manipulatif, kolutif, koruptif dan pidana pemalsuan penerbitan sertifikat hak atas tanah yang juga melibatkan orang dalam. (Kompas)
- Aset Tanah Ibunda Nirina Sebanyak Rp17 Miliar di Gelapkan oleh ART
- PT Banda Aceh Bebaskan Pemimpin Perusahaan Serambi Indonesia dari Segala Dakwaan
- Kementan dan Kapolri Tandatangani MoU, Siap Kawal Ketahanan Pangan Rakyat Indonesia
- Indosiar Tayangkan Laga Indonesia Vs Afghanistan, Ini Susunan Pemainnya