RS Mitra BPJS Kesehatan Harus Menerima Semua Peserta JKN, Ini Alasannya
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kementerian Kesehatan menekankan bahwa rumah sakit yang telah bermitra dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak diperbolehkan menolak peserta jaminan kesehatan nasional untuk mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkan.
Pernyataan tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan atas adanya laporan bahwa sejumlah rumah sakit yang bermitra dengan BPJS Kesehatan menolak peserta jaminan kesehatan nasional dengan berbagai alasan seperti keterbatasan tempat tidur, alat kesehatan yang tidak memadai, hingga alasan administrasi.
"Sudah ada di dalam peraturan, dimana setiap orang yang telah membayar iuran JKN atau dibayarkan pemerintah pusat atau pemerintah daerah harusnya menerima suatu manfaat," ujar Kepala Pusat Pembiayaan Kemenkes Yuli Farianti dalam diskusi "Rupa-Rupa Masalah Kuota Layanan BPJS Kesehatan" di Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Saat ini, katanya, kementeriannya bersama lembaga terkait sedang menyelidiki praktik pemberian kuota layanan BPJS Kesehatan oleh beberapa fasilitas kesehatan (faskes) yang menyebabkan beberapa peserta JKN ditolak mendapatkan layanan kesehatan.
"Terdapat beberapa alasan terjadinya pembatasan kuota pelayanan pasien JKN di RS. Pertama, karena mungkin di dalamnya tarif kurang memadai," katanya.
Ia menambahkan beberapa rumah sakit melakukan pengaturan kuota bagi tarif yang dianggap menjadi beban di rumah sakit untuk menjaga keberlangsungan pelayanan.
Alasan kedua, kata Yuli Farianti, cara pandang dan perilaku fee for service. Dalam proses pembentukan tarif INA-CBG (Indonesia case base group) dilakukan pengumpulan data keuangan secara agregat, sehingga analisa kecukupan tarif juga harus menggunakan data agregat.
"Bukan dilihat kasus per kasus yang rugi atau untung, namun dilihat secara agregat pendapatan FKRTL atau adanya sistem subsidi silang antar-grup yang ada," paparnya.
Ketiga, karena keterbatasan sumber daya manusia dan sarana prasarana (Sarpras). Beberapa rumah sakit mengalami keterbatasan Sarpras, contohnya pada antrean tindakan operasi jantung anak karena keterbatasan ruang ICU, atau rumah sakit mengalami keterbatasan SDM di rumah sakit rujukan, sehingga menyebabkan antrean pelayanan.
Keempat, utilisasi pelayanan tinggi. Menurutnya, regulasi membatasi pelayanan dengan alasan menjaga mutu dan kualitas pelayanan seperti pada tindakan phaco dan rehabilitasi medis.
"Saat ini kami bersama dengan KPK dan pihak-pihak terkait sedang mempelajari apakah ada indikasi kecurangan di sini," tutur Yuli.
Dalam kesempatan sama, Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan BPJS Kesehatan tidak boleh lepas tangan atau bersikap abai ketika memberikan pelayanan pada masyarakat, karena setiap bentuk pelayanan harus bersifat adil dan merata.
"BPJS tidak boleh lepas tangan dari masalah yang dialami oleh masyarakat hanya karena BPJS punya klaim bahwa kita tidak pernah mengatur itu. Fakta di lapangan terjadi masalah seperti itu, dan BPJS harus bertanggung jawab untuk membenahi masalah yang ada," katanya.