DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Perwakilan Rumoh Pangan Aceh (RPA), Muhammad Haikal mengulas panduan kemitraan untuk redistribusi pangan standar nasional di tengah krisis ketahanan pangan global dan tingginya angka pemborosan makanan di Indonesia.
Hal ini disampaikan dalam Forum Kedua Gotong Royong Atasi Susut dan Sisa Pangan (GRASP) 2030 yang diinisiasi oleh Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD).
Forum ini mempertemukan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah, industri, lembaga internasional, hingga jaringan foodbank nasional. Yayasan Rumoh Pangan Aceh (RPA) turut hadir sebagai bagian dari inisiatif penting ini.
“RPA hadir membawa perspektif dari daerah, khususnya Aceh, agar praktik redistribusi pangan tak hanya berkembang di kota-kota besar, tapi juga menjangkau wilayah-wilayah yang membutuhkan di luar Jawa,” ungkap Muhammad Haikal kepada media dialeksis.com via WhatsApp, Jumat (1/8/2025).
Forum ini dihadiri oleh berbagai pihak penting, termasuk Badan Pangan Nasional (Bapanas), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta perusahaan besar seperti Nutrifood, Kalbe, dan PT Cisarua Mountain Dairy Tbk.
Selain itu, sejumlah organisasi foodbank seperti Aksata Pangan, Ruang Pangan, Foodcycle, Garda Pangan, SOS, dan tentunya RPA, juga turut menandatangani komitmen GRASP 2030.
Kehadiran Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) dan Kedutaan Besar Denmark untuk Indonesia menunjukkan pula dukungan internasional terhadap isu ini.
Forum ini dibuka dengan pemaparan hasil pertemuan sebelumnya, lalu dilanjutkan dengan pembahasan intensif terhadap draft nol pedoman redistribusi pangan.
Topik yang dibahas mencakup kesiapan penyedia dan penerima surplus pangan, pentingnya transparansi dalam proses evaluasi dan distribusi, serta perlunya standar operasional prosedur (SOP) yang baku.
Hari kedua forum menyoroti isu teknis yang sangat krusial, yakni kategori risiko penanganan dan penyimpanan pangan serta sisa umur simpan minimal dari tanggal kedaluwarsa saat pangan didonasikan.
Diskusi berlangsung dinamis, khususnya terkait bagaimana membedakan antara pangan yang masih layak konsumsi tetapi tidak memenuhi standar kontrol mutu industri.
“Kami di RPA sering menerima pangan dengan masa simpan yang pendek. Tantangannya, bagaimana tetap memastikan keamanan bagi penerima bantuan, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia,” jelas Haikal.
Dalam forum tersebut juga dibahas perlunya evaluasi menyeluruh terhadap tanda-tanda kerusakan untuk setiap jenis pangan, serta penguatan sistem pelaporan dan penelusuran (traceability) untuk menjamin keamanan dan akuntabilitas donasi pangan.
Output utama dari forum ini adalah penyempurnaan draft nol menjadi dokumen yang lebih komprehensif dan siap menjadi pedoman nasional.
Penyelenggara membuka ruang partisipasi lanjutan untuk memperkaya isi dokumen dengan masukan tambahan, sebelum dirampungkan secara resmi.
“Kami berharap, apa yang kami pelajari di forum ini bisa kami adaptasi di Banda Aceh dan daerah lain di Aceh. RPA ingin tumbuh menjadi foodbank yang tidak hanya responsif terhadap kebutuhan masyarakat, tapi juga profesional dan akuntabel,” pungkas Haikal. [nh]