Beranda / Berita / Nasional / Ricuh, Manokwari Mencekam

Ricuh, Manokwari Mencekam

Senin, 19 Agustus 2019 11:06 WIB

Font: Ukuran: - +

Demo pecah di Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, Senin (19/8/2019) pagi. [FOTO: CNN Indonesia]

DIALEKSIS.COM | Papua - Manokwari, ibu kota Provinsi Papua Barat, mencekam setelah berlangsungnya demonstrasi sejak Senin (19/8/2019) pagi ini. Aksi ini dipicu oleh kejadian dugaan rasis terhadap mahasiswa asal Papua yang diserang sekelompok orang di Jawa Timur beberapa hari lalu. 

Amatan sejumlah media, lalu lintas seputar Kota Manokwari, lumpuh total. Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua Barat dibakar massa, berikut sejumlah kendaraan roda empat dan roda dua juga hangus dibakar massa yang mengamuk.

"Kantor DPRD Provinsi Papua Barat dibakar di Jalan Siliwangi," kata seorang warga Manokwari, Ishak, seperti dikutip CNN Indonesia, Senin (19/8/2019).

Dia menambahkan, "Jalan-jalan dipalang, ada pembakaran di sejumlah lokasi kompleks di pusat kota. Situasinya mencekam."

Jurnalis lokal, Hendrik Akbar, dalam laporannya di CNN Indonesia TV menyebut, aksi massa dilakukan di Jalan Trikora Wosi, Jalan Yos Sudarso dan Jalan Merdeka Manokwari. 

"Kendaraan roda empat dibakar, satu sisi lainnya kendaraan roda dua juga dibakar," ujarnya.

Dari pantauan di lokasi, aparat TNI dan Polri berjaga-jaga di setiap titik. Polisi masih di lokasi kerusuhan berusaha menenangkan massa yang bergejolak. Sejumlah ruas jalan dan jalur-jalu menuju jalan protokol sudah ditutup.

"Polisi masih belum melakukan tindakan secara langsung, masih berkoordinasi untuk melakukan pengamanan selanjutnya. Pagi tadi pukul 08.00 Kapolda Papua Barat tiba di lokasi untuk berkoordinasi dengan tokoh masyarakat untuk aksi pagi ini," kata Hendrik.

Sementara Ishak warga Manokwari mengatakan aparat kepolisian di sekitar lokasi belum bisa mengendalikan situasi. 

"Aparat ada, tapi tidak bisa bergerak. Situasi mencekam, tadi sempat sepi tapi kembali mencekam," ujarnya.

Warga setempat berusaha menghindari provokasi. Sementara sejumlah warga dari luar Papua melindungi diri. 

"Tetangga kami banyak juga pendatang, kami berupaya melindungi. Di pusat kota, warga diimbau jangan keluar toko," ujarnya.

Seorang warga pendatang, Edi Hartanto tak berani keluar rumah di Manokwari. Dia mendapat imbauan itu dari aparat setempat dan sejumlah rekan. 

"Untuk sementara masyarakat dilarang keluar rumah, apalagi yang pendatang, setelah kejadian kemarin di Surabaya ada tindakan rasis itu, kemudian ada aksi balasan (di Manokwari)," kata Edi, dikutip CNN Indonesia.

Kericuhan di Manokwari, Papua Barat, Senin (19/8/2019). [FOTO: IST/Republika]

Hingga kini pihak kepolisian belum memberikan penjelasan terkait aksi di Manokwari pagi ini. 

Kapolda Papua Barat Brigadir Jenderal (Brigjen) Herry Rudolf Nahak belum menjawab panggilan telepon dan pesan dari CNN Indonesia. Begitu pula Kabid Humas Polda Papua Barat AKBP Mathias Krey juga belum merespons panggilan telepon dan pesan.

Aksi protes berujung blokade dan pembakaran di Papua diduga buntut insiden di Jawa Timur pada 15 Agustus 2019.

Di Surabaya, sebanyak 43 mahasiswa Papua dibawa ke Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya. Mereka diangkut paksa oleh sejumlah aparat kepolisian dari asrama yang mereka tempati di Jalan Kalasan, Surabaya. Namun kini mereka telah dipulangkan.

Menahan Diri

Anggota Komisi III DPR Teuku Taufiqulhadi meminta semua pihak menahan diri terkait aksi massa di Manokwari, Papua Barat. Ia meminta agar menyerahkan persoalan tersebut kepada pihak yang berwenang.

"Pihak berwenang juga, saya harap, dapat mengambil langkah yang tepat dan bijaksana," kata Taufiqulhadi seperti dikutip Republika, Senin (19/8/2019).

Ia berpandangan yang terjadi di Papua saat bukanlah insiden yang dilatarbelakangi rasisme. Ia meyakini tidak ada rasisme yang dilakukan sesama anak bangsa.

"Tetapi mungkin sedikit terjadi kesalahpahaman, yang sering terjadi di antara sesama warga di negara kita. Jadi jangan cepat-cepat kita lari pada rasisme," ujarnya.

Ia menilai kesalahpahaman biasa terjadi antara satu desa dengan desa lainnya maupun satu suku dengan suku yang lainnya. Ia berharap, seharusnya, aparat cepat mengantisipasinya.

"Kami meminta aparat penegakan hukum untuk mengambil langkah penertiban sesegera mungkin. Kami akan terus memantau hal tersebut," tegasnya.

Langgar HAM

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay menilai tindakan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada 16 Agustus lalu oleh anggota ormas telah melanggar HAM.

Aksi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Polisi memaksa masuk asrama dan menembakkan gas air mata. [FOTO: Farid Miftah/CNN Indonesia]

Apalagi keesokan harinya, 17 Agustus, polisi mulai memaksa masuk ke asrama sembari membawa senjata pelontar gas air mata. Lalu, sebanyak 43 mahasiswa di dalamnya pun sempat ditangkap meski saat ini telah dilepaskan oleh kepolisian.

"Kami mendesak Komnas HAM menginvestigasi kasus dugaan pelanggaran HAM karena telah terjadi pembiaran dari tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan oknum TNI, Polri, Pol PP, dan ormas di Jatim terhadap mahasiswa Papua," ujar Gobay melalui keterangan tertulis, Minggu (18/8/2019).

Insiden itu bermula dari beredarnya foto yang menunjukkan kerusakan tiang bendera merah putih di depan asrama. Sekelompok massa dari ormas yang merasa tak terima pun langsung mendatangi asrama tersebut.

Menurut Gobay, aturan tentang lambang negara sejatinya telah diatur dalam undang-undang. Jika terjadi perusakan, mestinya hal itu dilaporkan ke kepolisian.

"Sedangkan mereka tidak memastikan siapa pelakunya (perusakan) tapi langsung mendatangi asrama mahasiswa dan melakukan tindakan main hakim sendiri," katanya, seperti dilansir CNN Indonesia.

Oleh karena itu, Gobay mendesak pemerintah provinsi Jawa Timur menerbitkan peraturan gubernur tentang jaminan perlindungan Orang Asli Papua (OAP) dari ancaman tindakan rasisme dan kekerasan. Tindakan para aparat dan ormas itu dinilai telah berlebihan.

"Prinsipnya, usulan ini bersifat desakan secara konstitusional sebab perlindungan, penghargaan, penghormatan, dan penegakan HAM merupakan tanggung jawab negara, terutama pemerintah," ucap Gobay.

Ia juga meminta meminta agar pelaku pengepungan dan penyerangan asrama mahasiswa diproses hukum karena telah melakukan perusakan. Menurutnya, aparat kepolisian maupun TNI dapat langsung memecat anggotanya yang terbukti ikut terlibat dalam perusakan di asrama tersebut.

Sementara anggota ormas dan Satpol PP yang ikut melakukan perusakan, kata Gobay, menjadi tanggung jawab pemerintah kota Surabaya.

"Kami harap oknum anggota TNI dan polisi yang melakukan perusakan dapat diberi sanksi pemecatan tak hormat karena telah melanggar hukum," tuturnya.

Sebelumnya, ratusan massa dari berbagai ormas menggeruduk asrama mahasiswa Papua di Surabaya, pada 16 Agustus lalu. 

Dari ratusan massa itu terdapat sejumlah kelompok yang mengenakan atribut ormas FPI dan Pemuda Pancasila. Mereka dengan lantang menyanyikan 'bantai Papua' di depan asrama.(me/dbs)


Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda