Kemendagri Sarankan Aceh Cabut Qanun KKR dan Ikuti Putusan Mahkamah Konstitusi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Naufal Habibi
Surat dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah pada tanggal 7 November 2024. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Berdasarkan surat dari Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dilansir media dialeksis.com, Senin (11/11/2024), yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Otonomi Daerah pada tanggal 7 November 2024, terdapat tanggapan resmi terkait Rancangan Qanun Aceh tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 yang membahas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Surat ini ditujukan kepada Penjabat Gubernur Aceh sebagai respons atas permohonan fasilitasi dari Sekretaris Daerah Aceh yang diterima pada bulan September 2024.
Surat ini menjelaskan bahwa Rancangan Qanun tersebut telah dikaji secara mendalam dari sisi formal dan materiil. Kajian ini menyoroti beberapa poin penting, terutama mengenai keabsahan hukum pembentukan KKR dalam konteks undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 229 ayat (2) dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa KKR di Aceh tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengikuti regulasi nasional yang mengatur keberadaan KKR pada tingkat yang lebih luas.
Selanjutnya, Kementerian Dalam Negeri merujuk pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnya menjadi dasar hukum pembentukan KKR.
Namun, undang-undang ini telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa tujuan KKR, yang tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang tersebut, tidak dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtszekerheid).
Selain itu, Mahkamah menilai bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Berdasarkan kajian tersebut, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah menyarankan kepada Pemerintah Aceh untuk mempertimbangkan pencabutan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 terkait KKR.
Pemerintah Aceh diharapkan untuk menyusun ulang kebijakan rekonsiliasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di tingkat nasional.
Tindakan ini diharapkan agar pelaksanaan rekonsiliasi di Aceh dapat berjalan dengan efektif dan berlandaskan hukum yang lebih kuat.
Surat ini juga menekankan pentingnya koordinasi antara Pemerintah Aceh dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memastikan bahwa kebijakan rekonsiliasi yang dijalankan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip hukum nasional dan internasional. [nh]