Pendemo RKUHP Ditangkap, Dalih Langgar Prokes
Font: Ukuran: - +
Sumber Dok. cnnindonesia.com
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 938 orang ditangkap saat melakukan aksi demonstrasi dengan alasan melanggar protokol kesehatan sepanjang pandemi virus corona (Covid-19).
KontraS juga menemukan 300 dugaan kasus kekerasan yang dialami demonstran selama berunjuk rasa di masa pandemi Covid-19.
"Di era Covid terdapat 938 orang yang ditangkap dengan alasan melanggar prokes karena melakukan aksi. Sejak Desember hingga November 2020, terdapat 300 peristiwa atas kekerasan atau penyerangan yang dalam lingkup kebebasan berekspresi," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam acara yang disiarkan Youtube ICJRID, Kamis (10/6).
Ia mengatakan angka kasus paling banyak tercatat pada Oktober 2020. Waktu tersebut, sambung dia, adalah puncak aksi penolakan masyarakat sipil dan buruh terhadap UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Awalnya, ia mengira alasan pelanggaran protokol kesehatan sebagai dalih pelarangan aksi hanya bisa dilakukan pemerintah saat pandemi. Namun ia khawatir pelarangan aksi bisa berlanjut jika Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan.
Kekhawatiran ini mengacu pada Pasal 273 yang melarang penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara. Yang melanggar aturan tersebut bisa terancam penjara 1 tahun atau denda Rp10 juta.
"Ketika pelarangan ini (kebebasan berdemonstrasi) terbentuk di negara ini, Indonesia sudah tidak bisa dikatakan sebagai negara yang demokratis. Karena ada pelarangan terhadap kebebasan berekspresi masyarakat," tutur Fatia.
Fatia menegaskan kebebasan menggelar aksi protes merupakan salah satu esensi demokrasi yang paling utama bagi sebuah negara demokratis. Dengan adanya pasal tersebut dalam RKUHP, ia menilai situasi ini kian mendukung penyusutan ruang masyarakat sipil.
Ia juga menyinggung sejumlah pasal lain yang dinilai bermasalah dalam RKUHP, seperti pasal terkait penghinaan presiden dan pemerintah. Menurut Fatia, pasal tersebut merupakan upaya pemerintah melindungi diri dari kritik masyarakat sipil.
"Kalau dibilang kita kembali ke era Orde Baru, sebenarnya kita memang tidak pernah pergi dari era Orde Baru. Di mana hari ini Jokowi beserta jajarannya mempergunakan cara-cara Orde Baru yang lebih adaptif dengan modernisasi. Lewat penyerangan digital, represifitas aparat dengan pola berulang," tambah dia.
Sebelumnya, pemerintah kembali berupaya mendorong pengesahan RKUHP dengan wacana memasukkan aturan tersebut dalam RUU Prioritas 2021. RKUHP sendiri sempat menuai penolakan masif dari masyarakat.
Pada akhir 2019, komplek DPR/MPR dipenuhi massa aksi demonstrasi yang banyak terdiri dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil. Gejolak ini kemudian menyebabkan RKUHP gagal disahkan saat itu.
(fry/bmw)
Sumber : cnnindonesia.com