DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah sekaligus pemerhati lingkungan Aceh, TM Zulfikar mengatakan Menteri Kehutanan beserta seluruh pejabat yang membidangi urusan kehutanan di pusat dan daerah harus memikul tanggung jawab atas situasi bencana banjir dan longsor di Sumatera.
“Banjir dan longsor yang terus berulang tidak bisa lagi kita anggap sebagai fenomena alam semata. Ini adalah cermin dari kegagalan tata kelola hutan kita. Dalam konteks itu, pejabat pengelola hutan memang layak dimintai pertanggungjawaban secara institusional,” ujar TM Zulfikar kepada media dialeksis.com, Jumat (5/12/2025).
TM Zulfikar menjelaskan, kementerian dan seluruh jajaran pejabat kehutanan sejatinya memiliki mandat besar untuk menjaga fungsi ekologis hutan sebagai penyangga kehidupan.
Hutan berperan penting dalam menyerap air hujan, menjaga kestabilan tanah, serta mengurangi potensi banjir dan longsor. Ketika fungsi ini rusak, maka bencana menjadi keniscayaan.
Namun dalam realitasnya, deforestasi masih terus terjadi. Pembukaan lahan berskala besar, alih fungsi kawasan hutan, hingga praktik pembalakan liar, masih sering dijumpai di berbagai daerah.
Ironisnya, pelanggaran-pelanggaran tersebut kerap terjadi akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
“Kalau kita melihat adanya deforestasi masif, pembukaan lahan tanpa kajian lingkungan yang memadai, serta pembiaran terhadap aktivitas ilegal seperti illegal logging, itu menunjukkan adanya kelemahan serius dalam sistem pengelolaan hutan,” tegasnya.
Menurutnya, kelemahan tersebut bukan persoalan individu semata, melainkan kegagalan struktural dalam perencanaan, pengawasan, dan penegakan regulasi.
Inilah yang seharusnya menjadi dasar untuk menuntut akuntabilitas dari institusi yang bertanggung jawab.
Lebih jauh, TM Zulfikar menilai bahwa tata kelola hutan di Indonesia juga belum sepenuhnya adaptif terhadap realitas perubahan iklim.
Intensitas hujan yang meningkat, perubahan pola cuaca ekstrem, serta degradasi lahan yang semakin luas seharusnya dijawab dengan kebijakan yang lebih progresif dan berbasis ekologi.
“Pejabat kehutanan semestinya memprioritaskan konservasi, restorasi lahan kritis, serta pengendalian kerusakan hutan secara serius. Jika kebijakan-kebijakan ini tidak berjalan atau tidak memberikan dampak nyata, maka evaluasi kinerja dan akuntabilitas mutlak dilakukan,” katanya.
Ia menilai, berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan selama ini sering kali hanya bersifat simbolik, tidak menyentuh akar persoalan, bahkan cenderung berhenti di atas kertas.
Akibatnya, kawasan-kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air justru berubah menjadi wilayah rawan bencana.
TM Zulfikar juga mengatakan bahwa tuntutan tanggung jawab ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan individu tertentu secara personal tanpa dasar.
Yang dipersoalkan adalah peran institusi kehutanan sebagai pemegang kebijakan strategis dalam menjaga kelestarian hutan.
“Kita harus melihat bahwa institusi yang mengurus hutan memiliki peran kunci dalam menentukan apakah risiko bencana bisa ditekan atau justru diperparah. Saat kerusakan hutan terus berlanjut, publik wajar mempertanyakan efektivitas kepemimpinan dan kebijakan yang ada,” ujarnya.
Ia menilai, selama ini masih terjadi jurang yang lebar antara kebijakan di atas kertas dengan kondisi faktual di lapangan. Sementara masyarakat di wilayah rawan bencana harus terus hidup dalam ketidakpastian, pihak yang memiliki kewenangan justru kerap abai terhadap dampak lingkungan jangka panjang.
Khusus untuk Aceh, TM Zulfikar mengingatkan bahwa wilayah ini memiliki bentang alam yang sangat rentan -- mulai dari kawasan pegunungan, daerah aliran sungai (DAS), hingga pesisir.
Jika hutan di wilayah hulu terus rusak, maka banjir dan longsor akan menjadi ancaman rutin bagi masyarakat di hilir.
“Aceh tidak boleh hanya menjadi penonton dari kerusakan ekologis yang terus terjadi. Bila eksploitasi hutan dibiarkan tanpa kendali, maka korban berikutnya adalah rakyat kecil: petani, nelayan, dan masyarakat desa,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti masuknya berbagai kepentingan ekonomi skala besar yang kerap mengorbankan kawasan hutan, mulai dari tambang, perkebunan, hingga proyek-proyek pembangunan yang minim kajian lingkungan.
Ia mendorong agar pemerintah pusat dan daerah tidak lagi menunda langkah-langkah strategis penyelamatan hutan. Mulai dari moratorium pembukaan kawasan rawan, penertiban izin bermasalah, penguatan peran masyarakat adat dalam menjaga hutan, hingga transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Banjir dan longsor bukan hanya soal air dan tanah yang bergerak. Ini tentang bagaimana kita sebagai bangsa memperlakukan alam. Kalau hutan terus dikeruk tanpa kendali, maka bencana hanya tinggal menunggu waktu,” pungkasnya. [nh]