Pakar Sarankan RUU Cipta Kerja Disusun Ulang
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, mengatakan sebaiknya draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ditarik kembali. Memperbaiki RUU tersebut dikatakannya harus dilakukan secara menyeluruh.
"Pemerintah perlu menarik kembali dan memperbaiki secara fundamental RUU Cipta Kerja," ujar Hikmahanto, dalam keterangan pers, Jumat (21/2).
Ia mengatakan bahwa kesalahan pemerintah dalam penyusunan RUU Cipta Kerja terjadi di beberapa lapisan sekaligus. Mulai dari penyusun draf hingga Kementerian Hukum dan HAM.
"Kesalahan tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada drafter saja mengingat Kementerian Hukum dan HAM melalui Ditjen Perundang-undangan perlu melakukan verifikasi atau pengujian sebelum diserahkan ke DPR," ujar Hikmahanto.
Kementerian Hukum dan HAM harus juga menghayati apa yang dipikirkan oleh Presiden. Menurut Hikmahanto, tanpa menghayati sulit bagi Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan verifikasi. Peran lain dari Kementerian Hukum dan HAM adalah memastikan agar RUU Cipta Kerja berskema omnibus law itu sesuai dengan koridor konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Proses ini sepertinya yang tidak dilampaui oleh RUU Cipta Kerja sehingga staf khusus presiden menganggap RUU tersebut tidak sesuai dengan instruksi Presiden," ujarnya.
Dalam konteks demikian, menurut Hikmahanto, masukan dan perbaikan tidak bisa dilakukan pasal per pasal RUU yang ada di tangan DPR. Pasalnya secara fundamental RUU sudah tidak sesuai dengan keinginan Presiden.
Pendapat Hikmahanto berbeda dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco yang menilai tidak perlu ada penarikan kembali draf RUU Cipta Kerja. Perbaikan bisa dilakukan melalui pembahasan di DPR.
Seperti diketahui, berbagai penolakan terhadap isi RUU Cipta Kerja terus bermunculan. Selain itu, pemerintah mengatakan ada kesalahan dalam pengetikan isi Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pemerintah dapat mengubah undang-undang tanpa proses di DPR.
"Kalau menurut saya diperbaiki pada saat pembahasan bersama di DPR saja, pemerintah dengan DPR mana yang salah ketik salah persepsi itu disamakan," ujar Dasco. (Im/mediaindonesia)