kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Obral Gelar Kehormatan, Mengotori Proses Akademik

Obral Gelar Kehormatan, Mengotori Proses Akademik

Rabu, 09 Juni 2021 15:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Sumber : Dok. cnnindonesia.com

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Universitas Pertahanan akan menganugerahi gelar Profesor Kehormatan dengan status Guru Besar Tidak Tetap kepada Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri dalam sidang senat terbuka pada Jumat mendatang (11/6).

Amarulla menjelaskan alasan pemberian gelar kehormatan itu tidak terlepas dari kepemimpinan Megawati dalam menghadapi konflik dan krisis multidimensi di era pemerintahannya.

Gelar profesor kehormatan yang diterima Ketua Umum PDIP ini akan menggenapi gelar lainnya yang telah lebih dulu diperolehnya. Dia telah menerima sembilan gelar doktor kehormatan atau honoris causa dari berbagai universitas, baik dalam dan luar negeri.

Jika melihat ke belakang, selain Megawati, sejumlah pejabat, politikus juga tidak jarang mendapatkan gelar doktor kehormatan dari universitas.

Aturan mengenai pemberian gelar Doktor Kehormatan termuat dalam Peraturan Menristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan. Dijelaskan bahwa tata cara dan syarat pemberian gelar doktor kehormatan diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.

Sedangkan pemberian gelar profesor tidak tetap, diatur dalam Permendikbud No 88 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri.

Salah satu pasalnya menjelaskan kriteria untuk pengusulan profesor tidak tetap adalah yang bersangkutan memiliki karya bersifat pengetahuan yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan manusia.

Sejumlah akademikus menilai pemberian gelar doktor kehormatan dan jabatan profesor tidak tetap di Indonesia, terlalu mudah, bahkan terkesan 'diobral'.

"Lihat saja itu politisi, tiba-tiba jadi profesor doktor, tidak pernah kerjain disertasi. Politisi, ketua partai, anggota DPR, ujug-ujug doktor, profesor doktor," kata Associate Professor Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (8/6).

Sulfikar menyatakan fenomena politikus yang mendapat gelar maupun jabatan akademis itu menunjukkan obsesi kaum feodal. Para politikus, kata dia, melihat gelar doktor dan jabatan profesor sebagai simbol kekuasaan yang ingin mereka pakai.

"Padahal kan ini adalah simbol yang dipakai secara khusus dalam dunia akademik. Dipelintir oleh kaum politisi untuk mengangkat kekuasaan simbolik mereka," ucap dia.

Pemberian gelar yang serampangan, menurut dia, juga mengotori proses akademik yang harus ditempuh seseorang untuk mendapatkannya. Bagi masyarakat akademik, gelar doktor ataupun jabatan akademik profesor adalah sesuatu yang bernilai karena diperoleh dari kerja keras dan dedikasi bertahun-tahun.

Sulfikar menyebut orang-orang yang mendapat gelar kehormatan seharusnya adalah mereka yang betul-betul membuktikan kompetensi, karya dan kontribusi keilmuan di masyarakat. Menurutnya, universitas di luar Indonesia cukup ketat dalam menyeleksi kriteria-kriteria itu.

"(Contoh) Pak SBY itu dapat doktor honoris causa dari NTU (Nanyang Technological University). Seleksi lebih ketat, gila-gilaan," kata Sulfikar.


Sumber : Dok. cnnindonesia.com

Standar Kampus

Ketua Asosiasi Profesor Indonesia (API) Ari Purbayanto menilai sejumlah kampus di Indonesia tidak memiliki standar yang tinggi dalam memberikan gelar kehormatan kepada seseorang.

Akibatnya, timbul kesan siapapun yang memiliki pengaruh, jabatan, akan diberikan dengan mudah oleh kampus.

"Di Indonesia itu terlihat kampus tidak punya standar, dalam pelaksanaan pemberian gelar. Ini juga preseden buruk, bahwa begitu mudahnya," kata Ari

Ia mengatakan sebenarnya tidak ada standar yang ketat dan objektif dalam pemberian gelar maupun jabatan akademik.

Di sejumlah peraturan, kata dia, syarat yang tercantum soal memiliki jasa, keahlian atau prestasi luar biasa, bisa diartikan secara subjektif. Oleh karena itu, ia menyebut penilaian terakhir kembali lagi kepada masyarakat.

"Masyarakat harusnya menilai mana universitas yang kukuh dengan standar tinggi dan mana universitas yang asal-asalan. Ada lagi standar etika, itu banyak dilanggar, umpamanya seseorang terlibat kasus pidana, kok bisa dapat," ucapnya.

(yoa/bmw)

Sumber : cnnindonesia.com
Keyword:


Editor :
Alfatur

riset-JSI
Komentar Anda