Mahasiswa Harus Ikut Sukseskan Pemilu dan Jauhi Hoaks
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Tanggerang - Pemilihan Umum merupakan momentum yang baik untuk memilih pemimpin. Momentum ini harus dimanfaatkan dengan cara menyukseskannya. Semua komponen warga negara yang memiliki hak pilih, termasuk mahasiswa, harus menggunakan hak pilihnya secara proporsional dengan memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, DPD, dan pasangan Capres-Cawapres. Pilih yang benar-bener bisa diyakini mampu membawa kebaikan di negeri ini. Caranya dengan memperhatikan secara cermat para calon itu: bagaimana latar belakang kehidupannya, bagaimana keluarganya, bagaimana cara dia berbicara, bagaimana cara dia memperlakukan orang lain, semua harus diperhatikan.
"Kita harus tahu bagaimana kehidupan sehari-hari calon pemimpin kita. Kita harus tahu, misalnya, bagaimana dia tidur. Apakah dia tidur dengan istrinya, atau dengan istri orang lain. Kalau dia mengisap rokok misalnya, kita harus tahu apakah rokoknya murni atau bercampur narkoba, dan seterusnya. Kita harus memilih yang benar-benar baik menurut kita. Mungkin bukan yang terbaik, tapi yang kita yakini paling asedikit keburukannya," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abd Rohim Ghazali dalam Seminar Nasional ‘Peran Pendidikan di Tahun Politik’ Selasa, 12 Maret 2019 di kampus Universitas Muhammadiyah Jakarta, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan.
Di hadapan sekitar 300 mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan UMJ, Abd Rohim Ghazali mengatakan bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam membangun suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa bisa dilihat terutama dari kualitas pendidikannya.
Oleh karena itu, ketika kota Hiroshima dan Negasaki luluh lantak akibat bom atom tantara Sekutu, yang ditanyakan Kaisar Jepang pertama kali adalah berapa jumlah guru yang menjadi korban, dan berapa jumlah guru yang selamat. Bukan berapa jumlah dokter atau insinyur. Itu artinya, untuk membangun kembali kota yang hancur, pertama kali yang harus diperhatikan adalah pendidikannya.
"Bukan berarti bidang-bidang lain tidak penting," tegas Rohim. "Semuanya penting, tapi yang paling penting adalah sektor pendidikannya. Jika sektor pendidikan sudah baik, yang lain-lain akan ikut baik."
Dalam perspektif Islam, tujuan utama pendidikan adalah untuk membangun akhlak, pembentukan karakter yang terpuji. Rasulullah SAW diutus pada umatnya untuk menyempurnakan akhlak. Nah, di tahun politik, menurut Rohim, tantangan utama kita adalah pada soal akhlak ini. Menyetir kata-kata Muhammad Hatta, Rohim mengatakan bahwa jika seseorang kurang memiliki kecerdasan bisa dilatih dengan belajar, jika kurang memiliki keahlian bisa diatasi dengan belajar ketrampilan, tapi jika kurang memiliki kejujuran, sangat sulit diatasi.
Tapi di tahun politik ini kita sulit membedakan mana kejujuran dan mana kebohongan. Antara yang haq dan yang hoaks, sulit dibedakan, apalagi berita-berita yang tersebar di media sosial. Para penyebar berita hoax bisa dari mana saja, bahkan dari kalangan profesor pun ada yang hobi menyebar hoax. "Ironis bukan?" tandas Rohim.
Dalam Islam memang ada kebohongan yang diizinkan, kapan itu? Jawabannya ada pada hadits Nabi SAW. Kata Nabi, semua kebohongan tidak bisa dibenarkan kecuali pada tiga hal, yaitu pada saat perang karena perang mengandung tipu daya; pada saat mendamaikan dua orang yang sedang beritikai; dan pada saat suami/istri iangin menyenangkan pasangannya.
Hadits ini harus digunakan dengan hati-hati, harus diperhatikan betul konteksnya. Pada menjelang Pemilu ini, ada kalangan yang mengumpamakannya seperti sedang perang, apakah itu Perang Badar atau perang total. Padahal Pemilu bukan perang. Pemilu adalah kompetisi politik, sama seperti kompetisi dalam dunia olah raga, harus dijalankan dengan fairness, dengan kejujuran, dengan cara-cara yang elegan. Akan sangat berbahaya kalau suasana politik menjelang Pemilu disamakan dengan suasana perang. Karena dalam perang boleh berbohong, maka mungkin karena itu pula mengapa sekarang-sekarang ini kebohongan berseliweran, hoax tersebar dimana-mana.
Cek Fakta
Menjawab pertanyaan peserta seminar, apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam menghadapi suasana Pemilu yang diwarnai banyak hoaks ini? Dan bagaimana caranya untuk menghindari atau mengurasi hoaks? Rohim mengatakan bahwa mahasiswa harus memiliki dua hal, kecerdasan dan integritas moral. Dengan kecerdasan mahasiswa akan cermat memilih dan memilah mana berita benar dan mana yang hoax. Dan dengan integritas moral mahasiswa bisa membentengi diri dari cara-cara amoral yang mungkin dilakukan oleh para politisi atau oleh para juru kampanye. Jika mendapatkan berita, dari mana pun datangnya, harus dikonfirmasi kebenarannya. Harus tabayun. Harus dicek faktanya.
Tapi, Rohim juga mewanti-wanti, dalam mengecek fakta harus cermat. Kita harus bida membedakan mana fakta dan mana koinsidensi. Koinsidensi itu kebetulan. Misalnya, Rohim mencohkan, "pada saat saya masuk ruangan ini, ada seorang mahasiswa yang terserang batuk. Bagi orang yang tidak suka saya, bisa saja mengatakan, karena Rohim masuk, seorang mahasiswa terserang batuk. Padahal kan tidak ada hubungannya. Itu hanya kebetulan saja." Tapi, Rohim menambahkan, dalam suasana sekarang, hal-hal yang tampak kebetulan pun bisa saja merupakan hasil rekayasa, hasil konspirasi. Ini juga harus kita cermati, jangan sampai tertipu. Kejadiannya tampak (seperti) kebetulan, padahal sudah disekenariokan. Pokoknya kita harus cermat dalam menyikapi semua peristiwa yang terjadi di sekeliling kita.
Untuk mengurangi hoaks, menurut Rohim, cara yang paling tepat adalah selain cek fakta, yang paling penting adalah kita sendiri jangan sekali-kali menyebar hoax. Kita harus memulai dari diri sendiri. Bagi yang memiliki akun media sosial, entah facebook, twitter, Instagram, dan lain-lain, jangan sekali-kali dibpakai untuk menyebar hoaks. Bagi yang sudah terbiasa menyebar hoaks, hentikan sekarang juga, dan tutup dengan postingan-postingan yang baik-baik, setiap saat, setiap jam, bila perlu setiap menit. Karena kita yakin kebaikan yang banyak akan menghapus keburukan. Asalkan yang diulang-ulang kebaikannya, dan keburukannya jangan diulang, dicukupkan sampai di sini.
Selain Rohim, hadir sebagai pembicara seminar, Wakil Ketua LPSK (Lembaga Perlindungan saksi dan Korban) Maneger Nasution, serta Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud RI, Nadjamuddin Ramly. Maneger mengharapkan para mahasiswa mengkrtitisi visi-misi capres-cawapres di bidang pendidikan, dan Nadjamuddin mengajak kepada seluruh mahasiswa yang hadir untuk kembali pada kearifan budaya lokal (local genius) pada saat menghadapi perrsoalan-persoalan krusial, seperti persoalan politik yang dihadapi sekarang ini. "Di antara kearifan budaya yang kita miliki dan sering diabaikan adalah musyawarah mufakat yang terkandung dalam salah satu sila Pancasila," ungkap Nadjamuddin. (KSP)