KPK Hampir Tamat?
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dielu-elukan warga Indonesia sebagai lembaga 'super hero' dalam memburu tikus-tikus berdasi, kini goyah menyusul sejumlah kebijakan pemerintah yang mengecilkan ruang gerak lembaga yang berdiri sejak 2002 tersebut.
Kekhawatiran itu diutarakan blak-blakan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019).
"Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk, sedang di ujung tanduk," ujar Agus Rahardjo kepada media.
Menurut insinyur teknik sipil lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) itu, dalam beberapa waktu terakhir terlihat jelas ancaman dari berbagai pihak yang berusaha melemahkan KPK.
Agus kemudian merinci upaya yang diduga melemahkan KPK. Mulai dari calon pimpinan (capim) KPK yang diduga bermasalah hingga usulan DPR untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"Bukan tanpa sebab. Semua kejadian dan agenda yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini membuat kami harus menyatakan kondisi yang sesungguhnya saat ini," kata mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) 2010 itu.
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta. [Foto: Dwi Narwoko/Merdeka.com]Menurut dia, capim KPK bermasalah yang diloloskan panitia seleksi (pansel) bakal mengganggu agenda pemberantasan korupsi.
Selain itu, ujar pria yang memulai karir PNS sebagai Staf Perencanaan Pembangunan Bappenas itu, setidaknya terdapat sembilan poin dalam draf RUU KPK usulan DPR yang berisiko melumpuhkan kerja KPK.
Sembilan poin itu, yakni terancamnya independensi KPK, dibatasinya penyadapan, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, dibatasinya sumber penyelidik dan penyidik, penuntutan perkara korupsi yang harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Poin lainnya yang dinilai akan melumpuhkan kerja KPK adalah tidak adanya kriteria perhatian publik sebagai perkara yang dapat ditangani KPK, dipangkasnya kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan serta dihilangkannya kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan.
"Kemudian, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas," kata Agus.
Tak hanya lewat capim bermasalah dan revisi UU KPK, upaya pelumpuhan Lembaga Antikorupsi juga dilancarkan melalui RUU KUHP.
Agus mengatakan, saat ini, DPR tengah menggodok RUU KUHP yang akan mencabut sifat khusus dari Tindak Pidana Korupsi. "Sehingga keberadaan KPK terancam," ungkap Agus.
Agus mengatakan, KPK menyadari DPR memiliki wewenang untuk menyusun RUU inisiatif dari DPR. Namun, KPK meminta DPR tidak menggunakan wewenang tersebut untuk melemahkan dan melumpuhkan KPK.
Selain itu, KPK juga berharap Presiden dapat membahas terlebih dulu bersama akademisi, masyarakat dan lembaga terkait untuk memutuskan perlu atau tidaknya merevisi UU KPK dan KUHP tersebut.
Hal ini lantaran RUU KPK inisiatif DPR tersebut tidak akan mungkin dapat menjadi UU jika Presiden menolak dan tidak menyetujui RUU tersebut.
"Karena Undang-undang dibentuk berdasarkan persetujuan DPR dan Presiden. KPK percaya, Presiden akan tetap konsisten dengan pernyataan yang pernah disampaikan bahwa Presiden tidak akan melemahkan KPK. Dan KPK juga mendukung program kerja Presiden melalui tugas pencegahan dan penindakan korupsi," kata pria kelahiran 1956 itu. (me/dbs)