Komnas HAM Mulai Bergerak, Tetapkan Kasus Munir Pelanggaran HAM Berat
Font: Ukuran: - +
Komnas HAM. [Dok. kabar24.bisnis.com]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Tim Ad Hoc penyelidikan penetapan pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Untuk memulai penyelidikan Komnas HAM akan mengirim Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Pertama SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) itu akan kita sampaikan nanti," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat menggelar konferensi pers di kantornya di Jakarta pada Rabu (7/9/2022).
Setelah surat diberikan ke Kejagung, lembaganya akan segera bekerja melakukan penyelidikan.
Namun dari lima anggota Tim Ad Hoc, baru ada tiga nama, yaitu Taufan Damanik, Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga dan Direktur Eksekutif Amnnesty Internasional Indonesia (AII) Usman Hamid. Sementara dua anggota lainnya sedang proses pengajuan.
"Dua lagi kami sedang menghubungi dan meminta kesediaannya. Karena belum ada pernyataan kesediaannya secara resmi, maka pada hari ini belum bisa kami sebutkan," ujar Taufan.
"Tetapi dua nama itu adalah yang juga merupakan daftar nama-nama yang diusulkan oleh rekan-rekan masyarakat sipil maupun tokoh-tokoh HAM lainnya," sambungnya.
Terhitung setelah 18 tahun berlalu, yakni pada 7 September 2004, kasus pembunuhan aktifis HAM Munir belum ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat.
Lantaran itu, pada Rabu (7/9/2022), Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (Kasum) menggeruduk kantor Komnas HAM. Di hadapan para petinggi lembaga hak asasi manusia mereka menyampaikan tuntutannya.
"Kami mendesak Komnas HAM untuk segera membuka kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat melalui penyelidikan pro justitia," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti sebagai orator menyampaikan tuntutannya.
Mereka menilai pembunuhan Munir bukan kasus biasa, melainkan pembunuhan berencana. Dijelaskan alasan pembunuhan Munir bukan peristiwa biasa karena sejumlah alasan.
"Minimal ada tiga alasan mengapa peristiwa pembunuhan ini tergolong kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes), bahkan merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violations of human rights)," ujar Fatia.
"Pertama, Tempat Kejadian Perkara (TKP) adalah sebuah penerbangan lintas negara skala internasional yaitu penerbangan dari Bandara Cengkareng, Provinsi Banten menuju transit di Bandara Changi, Singapura, serta dari Bandara Changi, Singapura menuju tujuan akhir Bandara Schipol Amsterdam, Negeri Belanda," sambungnya.
Kemudian kedua, metode pembunuhan Munir menggunakan racun arsenik.
"Bahan kimia berbahaya yang tidak mudah untuk diperoleh warga biasa dan dipakai untuk menghilangkan nyawa seseorang, dalam suatu perjalanan penerbangan luar negeri yang semestinya bebas dari segala barang bawaan yang dapat membahayakan keselamatan manusia," kata Fatia.
Ketiga, para pelakunya sudah diketahui jelas, dengan melibatkan aktor-aktor dan korporasi negara.
"Setidaknya dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Maskapai Garuda Indonesia. Dalam salah satu amar putusan kasus Munir, majelis hakim Pengadilan Negeri menyatakan kasus Munir adalah konspirasi pembunuhan yang melibatkan adanya operasi intelijen," jelas Fatia.
Karenanya mereka menilai, Ada banyak alasan lainnya yang dapat digali lebih jauh dari berkas-berkas hukum selama persidangan kasus Munir sebelumnya.
"Dengan Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justitia sesuai UU Pengadilan HAM, maka kejahatan yang merupakan serangan sistematik terhadap Munir dan komunitas pembela hak asasi manusia ini sangat layak untuk dibuka kembali sebagai pelanggaran HAM yang berat yang diatur oleh UU Pengadilan HAM," kata Fatiah.(Suara)