Komisi XI DPR RI Sebut Pengentasan Kemiskinan Indonesia Rapuh
Font: Ukuran: - +
Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati. [Foto: Munchen/nr/DPR]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Beberapa waktu lalu Bank Dunia merilis laporan bertajuk 'Indonesia Poverty Assessment: Pathways Towards Economic Security'. Laporan itu menyatakan, terjadi penurunan tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia dari 19% di tahun 2002 menjadi 1,5% pada 2022.
"Kita mengapresiasi pencapaian pengentasan kemiskinan ekstrem di Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Tetapi perlu kita catat bahwa perhitungan yang dilakukan oleh Bank Dunia masih menggunakan asumsi Purchasing Power Parity (PPP) sebesar USD1,9 per kapita per hari, sedangkan saat ini World Bank sudah menggunakan asumsi PPP sebesar USD2,15 per kapita per hari, jika menggunakan asumsi terbaru tentu angka kemiskinan ekstrem kita bertambah," tutur Anis Byarwati, Anggota Komisi XI DPR RI melalui keterangan tertulis, Jumat (19/5/2023).
Ia berharap Pemerintah lebih responsif dan menyiapkan program pengentasan kemiskinan ekstrem dengan fokus dan tepat sasaran.
"Fokusnya tetap mencakup rumah tangga yang secara ekonomi tidak aman dan rentan jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Bank Dunia sendiri telah menaikkan ketentuan batas untuk kelas penghasilan menengah ke bawah (lower middle-income class) dari USD3,20 menjadi USD3,65 per orang per hari," tutur Anis.
Politisi PKS tersebut juga mengingatkan bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 telah ditetapkan target penurunan tingkat kemiskinan antara 7% hingga 6,5%, atau 18,34 juta sampai 19,75 juta penduduk pada akhir tahun 2024.
Melihat pencapaian yang ada, Anis menilai bahwa program pengentasan kemiskinan Pemerintah selama ini masih belum efektif dan belum tepat sasaran.
"Per September 2022, BPS mencatat jumlah penduduk miskin mencapai sebesar 26,36 juta atau 9,57% artinya masih jauh dari target 7%. Bahkan angka kemiskinan di 14 provinsi masih berada di atas rata-rata nasional," paparnya.
Ia mengingatkan, program-program pengentasan kemiskinan di lapangan banyak yang tidak tepat sasaran.
"Bahkan data yang digunakan banyak yang kurang tepat sasaran. Sementara disisi lain kita ketahui bahwa target Pemerintah sangat ambisius," pungkasnya. [*]