KemenPPPA Dorong Kesadaran Korban Kasus Kekerasan Perjuangkan Hak restitusi
Font: Ukuran: - +
Plt. Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA, Margareth Robin Korwa. [Foto: Humas KemenPPPA]
DIALEKSIS.COM | Nasional - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mendorong peningkatan kesadaran korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak untuk memahami dan memperjuangkan ganti kerugian atau restitusi sebagai wujud pemenuhan hak mereka.
Plt. Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA, Margareth Robin Korwa mengungkapkan bahwa hingga saat ini pihaknya masih menemukan tantangan pelaksanaan proses pemberian hak korban kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah. Salah satu tantangannya adalah terkait restitusi atau ganti kerugian yang belum optimal diajukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH), hingga korban yang enggan mengajukan restitusi.
Oleh karena itu, guna merespon kendala tersebut di lapangan, KemenPPPA menyelenggarakan Rapat Koordinasi antar Lembaga dalam Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Wilayah II sebagai wadah para APH untuk dapat berbagi pengalaman terbaik dalam menangani kasus kekerasan seksual.
KemenPPPA yang menyelenggarakan fungsi penyediaan layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan dan penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus mengupayakan dilaksanakannya sinergi dan koordinasi antara lintas sektor.
"Hal ini dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan korban mendapatkan layanan yang komprehensif baik perlindungan, mengakses keadilan melalui penegakan hukum, hingga bisa pulih kembali. Salah satu pemenuhan hak korban tersebut adalah diberikannya restitusi dari pelaku sebagai biaya ganti rugi atas tindak pidana yang dilakukan. Namun begitu, masih banyak korban yang tidak paham atau enggan untuk mengajukan restitusi," tutur Margareth, dikutip Sabtu (9/9/2023).
Ia menyampaikan, setahun pasca diundangkannya UU No.12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), KemenPPPA senantiasa mendorong APH, dan mengedukasi masyarakat mengenai hak korban kekerasan seksual yakni untuk mendapatkan restitusi. Selain dari keengganan korban, peran APH juga menjadi penting untuk turut serta dalam mengedukasi korban dan keluarga korban mengenai hak restitusi.
"KemenPPPA bersama Kementerian/Lembaga telah menyusun peraturan turunan dari UU TPKS yang sekarang dalam proses harmonisasi. Peraturan tersebut terdiri dari tiga Peraturan Pemerintah, dan empat Peraturan Presiden, salah satunya adalah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Dana Bantuan Korban TPKS sebagai amanat Pasal 35 ayat (4) yang diprakarsai Kementerian Hukum dan HAM. Melalui peraturan tersebut diharapkan mampu menjadi acuan mengajukan restitusi untuk korban kekerasan seksual bagi para APH di lapangan," tutur Margareth.
Merespon hal itu, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat, Nirwana menyampaikan salah satu hambatan dalam pengajuan proses restitusi karena korban enggan untuk meminta restitusi yang dianggap akan meringankan atau membebaskan korban dari hukuman penjara. Peran penyidik menjadi sangat penting untuk memberikan informasi dan edukasi agar para korban mengetahui tentang hak restitusi dan dapat memudahkan proses pengajuan ke LPSK.
"Hak restitusi diharapkan disampaikan kepada korban sejak awal oleh rekan-rekan penyidik. Sehingga korban kekerasan dan keluarga tahu mengenai haknya dan korban memahami bahwa restitusi tidak akan membebaskan pelaku dari pidana penjara. Peraturan Mahkamah Agung (Perma) juga telah mengatur melalui Perma No.1/2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana yang dapat menjadi acuan," ucap Nirwana.
Jaksa Ahli Madya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Robert Sitinjak, juga mendorong para jaksa untuk dapat merespon kebutuhan restitusi bagi korban melalui pelacakan dan pemblokiran aset pelaku. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir pelaku mengalihkan aset mereka sehingga akhirnya restitusi tidak dapat dibayarkan pada korban.
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus viktimolog, Rena Yulia menyampaikan, pencantuman nilai tuntutan ganti kerugian dalam tuntutan pidana diperhitungkan berdasarkan kerugian materil yang dapat dibuktikan sebagai akibat langsung tindak pidana.
"Adapun unsur kerugian yang diderita oleh korban dan bisa diajukan untuk restitusi antara lain biaya pengobatan, biaya konseling, kehilangan pendapatan atau keuntungan yang dapat diperhitungkan, biaya pemakaman dan penguburan, biaya transportasi selama mengurus proses restitusi, hilangnya kebahagiaan dalam hidup akibat penderitaan yang dialami, biaya penggantian atau perbaikan aset dan properti dan biaya tambahan lain yang dapat dibuktikan penggunaannya," jelas Rena.
Tenaga Ahli Pusat Perlindungan Perempuan (P2A) dan Anak Provinsi DKI Jakarta, Wulansari menyampaikan upaya koordinasi perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan seksual telah dilaksanakan melalui nota kesepahaman antara Pemprov DKI Jakarta dengan kepolisian Daerah Metro Jaya. Dari aduan yang masuk, korban akan diberikan asesmen untuk menentukan pelayanan yang akan diberikan. Apakah itu layanan psikologis, pendampingan korban, maupun layanan hukum.
"Dari layanan hukum yang diberikan dengan bekerjasama dengan pihak kepolisian, sudah ada 87 klien yang restitusinya diproses oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pemberian restitusi oleh pelaku menjadi suatu hal yang penting untuk memberikan efek jera sekaligus memberikan hak dan keadilan bagi korban," tutur Wulan.
Ketua Harian Kompolnas, Benny Mamoto, turut menyampaikan tantangan dan komitmen penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Pemberian respon yang cepat dan melakukan inovasi merupakan hal yang penting untuk meminimalisir tantangan yang dialami dalam menangani kasus kekerasan seksual.
"Kasus kekerasan seksual rentan terhadap masalah waktu. Jika kasus sudah lama terjadi bisa saja TKP sudah rusak, pelaku sudah kabur dan barang bukti telah hilang. Hal ini akan menyulitkan dalam proses penyidikan karena minimnya bukti. Untuk merespon hal itu, Kompolnas sudah melakukan upaya inovasi melalui dibuatnya bank data kriminal yang akan membantu penyidik agar dapat bekerja lebih efektif ketika bukti dan saksi yang tersedia terbatas," ungkap Benny. [*]