Kamis, 09 Oktober 2025
Beranda / Berita / Nasional / IDeAS Ungkap 13 Perusahaan Tambang Emas Kantongi IUP Seluas 24 Ribu Hektare

IDeAS Ungkap 13 Perusahaan Tambang Emas Kantongi IUP Seluas 24 Ribu Hektare

Kamis, 09 Oktober 2025 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Direktur Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), Munzami HS. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Aceh - Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) merilis hasil kajian terbaru terkait kondisi perizinan tambang mineral dan batubara (minerba) di Aceh.

Laporan tersebut mengungkap fakta bahwa terdapat 64 Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif di Aceh, dengan total luas mencapai 110.655 hektare, dan 13 di antaranya merupakan IUP tambang emas yang kini menguasai wilayah seluas 24.045 hektare di enam kabupaten.

Kajian yang disusun berdasarkan data publikasi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh per Juni 2025 itu menemukan bahwa mayoritas izin tambang emas diterbitkan dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yaitu pada 2024 hingga 2025.

“Fenomena ini menarik dan perlu dicermati secara kritis. Hampir separuh IUP tambang emas yang ada sekarang muncul dalam waktu yang sangat berdekatan, sementara di sisi lain kita melihat maraknya penertiban tambang rakyat yang disebut ilegal,” ujar Munzami HS, Direktur IDeAS, kepada media dialeksis.com, Kamis (9/10/2025).

13 IUP Tambang Emas di 6 Kabupaten Aceh

Dari data yang diolah IDeAS, 13 perusahaan tambang emas tersebut tersebar di enam kabupaten, yakni Aceh Selatan (4 IUP), Aceh Jaya (3 IUP), Aceh Barat (2 IUP), Aceh Tengah (2 IUP), serta masing-masing 1 IUP di Nagan Raya dan Abdya.

1. PT Aceh Jaya Alam Mineral 4.877 Ha (Jangka Waktu : 2024 s.d 2032).

2. PT Draba Mineral Internasional - Aceh Tengah, 4.569 Ha (Jangka Waktu : 2022 s.d 2030).

3. PT Magellanic Garuda Kencana - Aceh Barat, 3.250 Ha (Jangka Waktu : 2012 s.d 2032).

4. PT Aceh Jaya Baru Utama 2.362 Ha (Jangka Waktu : 2025 s.d 2033).

5. PT Abdya Mineral Prima 2.319 Ha (Jangka Waktu : 2025 s.d 2033).

6. PT Alexa Tambang Abadi 1.826 Ha (Jangka Waktu : 2024 s.d 2032).

7. PT Selatan Aceh Emas 1.648 Ha (Jangka Waktu : 2022 s.d 2030).

8. PT Pegasus Mineral Nusantara 1.008 Ha (Jangka Waktu : 2022 s.d 2030).

9. PT Bersama Sukses Mining 752 Ha (Jangka Waktu : 2024 s.d 2029).

10. PT SamaSama Praba Denta 605 Ha (Jangka Waktu : 2024 s.d 2032).

11. PT Acsel Makmur Alam 577 Ha (Jangka Waktu : 2024 s.d 2032).

12. Koperasi Putera Puteri Aceh 195 Ha (Jangka Waktu : 2010 s.d 2029).

13. CV Blang Leumak Raya 57 Ha (Jangka Waktu : 2024 s.d 2029).

Munzami menjelaskan, lonjakan penerbitan izin dalam dua tahun terakhir sangat signifikan. “Tahun 2024 saja ada enam IUP tambang emas baru yang diterbitkan Pemerintah Aceh melalui DPMPTSP, dan dua lagi di tahun 2025. Ini lonjakan yang patut ditelusuri secara mendalam,” katanya.

Menurut IDeAS, munculnya gelombang izin baru di tengah maraknya penertiban tambang emas rakyat menimbulkan dugaan kuat di tengah masyarakat bahwa ada kebijakan yang tidak berpihak kepada penambang kecil.

“Jangan-jangan kebijakan penertiban tambang emas ilegal yang dilakukan pemerintah saat ini justru untuk membuka jalan bagi perusahaan besar. Kita berharap hal itu tidak benar. Namun pemerintah harus mampu membuktikan keterbukaannya agar publik tidak curiga,” tegas Munzami.

Ia menambahkan, tambang rakyat yang telah berlangsung puluhan tahun di sejumlah daerah seperti Aceh Selatan, Nagan Raya, dan Aceh Tengah seharusnya tidak langsung diberangus tanpa solusi.

"Negara harus hadir memberi jalan legalitas melalui Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), bukan justru menutupnya sementara izin baru terus keluar untuk korporasi besar,” ujarnya.

IDeAS melalui Munzami HS mengajukan empat rekomendasi strategis kepada Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Pertama, pemerintah perlu memberlakukan kembali moratorium penerbitan IUP Minerba seperti yang pernah dilakukan antara tahun 2014 hingga 2018 di masa Gubernur Zaini Abdullah dan awal pemerintahan Irwandi Yusuf.

“Kebijakan moratorium waktu itu efektif menahan laju eksploitasi tambang liar dan memberi waktu untuk menata ulang kebijakan energi dan sumber daya mineral Aceh,” jelasnya.

Kedua, IDeAS menekankan pentingnya pengawasan berkala terhadap aktivitas 64 perusahaan pemegang IUP, baik oleh DPRA maupun instansi teknis eksekutif.

“Jangan sampai IUP yang diberikan untuk bijih besi atau tembaga justru digunakan untuk menambang emas. Praktik penyalahgunaan izin semacam itu bukan hal baru di sektor ini,” tegas Munzami.

Ketiga, IDeAS mendorong revisi Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 jo Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Minerba agar dapat mengakomodir isu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), serta menyesuaikan dengan Undang-Undang Minerba terbaru, yakni UU Nomor 2 Tahun 2025.

Keempat, revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 juga dinilai mendesak untuk dilakukan, terutama dalam sinkronisasi dengan UU Minerba terbaru.

“Kita tidak boleh lagi membiarkan terjadinya tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan Aceh dalam urusan minerba. Tata kelola tambang harus menjadi cerminan otonomi yang sehat, bukan ajang tarik-menarik kepentingan,” ujarnya.

Munzami menegaskan bahwa tata kelola pertambangan yang sehat harus berbasis pada keterbukaan, keadilan, dan keberlanjutan.

“Pertambangan bukan hanya soal investasi dan PAD, tapi juga soal keadilan ekologis dan sosial. Jika rakyat ditertibkan, maka perusahaan pun harus diawasi. Jika izin rakyat dihapus, maka izin korporasi pun harus diaudit,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bank aceh