Hukuman Maling Uang Rakyat Dipangkas Berjamaah, Korupsi Disebut Kejahatan Luar Biasa
Font: Ukuran: - +
Ilustrasi. [Dok. Liputan6]
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Kurang lebih sebanyak 23 terpidana kasus korupsi bebas bersyarat bulan ini. Hal itu disampaikan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Namun pembebasan para narapidana kasus korupsi itu segera menuai sorotan dari masyarakat, salah satunya dari Pengamat Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Nusa Tenggara Timur Dr Jhon Tuba Helan.
Ia berpendapat hukuman bagi terpidana kasus korupsi di Tanah Air sebaiknya jangan dikurangi agar menimbulkan efek jera. Apalagi kasus korupsi masuk dalam kategori extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.
"Sudah seharusnya hukuman bagi koruptor jangan dikurangi agar membawa efek jera karena korupsi itu merupakan kejahatan luar biasa," katanya ketika dihubungi di Kupang, Jumat (09/09/2022).
Ia mengatakan hal itu berkaitan dengan wacana seputar pengurangan hukuman bagi terpidana kasus korupsi.
Menurut dia, ketika negara konsisten dalam memberantas praktik korupsi maka hukuman bagi pelaku tidak perlu dikurangi dengan memastikan bahwa aturan hukum tidak memberikan peluang untuk pengurangan hukuman.
Hukuman yang berat bagi koruptor, kata dia, dapat memberikan efek jera sehingga membuat orang berpikir berkali-kali lipat jika hendak melakukan kembali perbuatan sekaligus mengingatkan warga lainnya.
Dosen Fakultas Hukum Undana itu mengatakan masyarakat juga berhak mengajukan gugatan jika ada aturan seperti Undang-Undang No 22/2022 yang dinilai dapat mengurangi hukuman bagi koruptor.
"Masyarakat dapat melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena dirugikan dengan aturan tersebut," katanya.
Tuba Helan menambahkan berhasil atau tidaknya gugatan terhadap aturan sangat tergantung dari argumentasi atau dasar pemikiran penggugat, namun lebih baik lagi jika gugatan dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang anti korupsi.
23 Narapidana korupsi bebas
Dalam sebulan ini sebanyak 23 narapidana kasus korupsi bakal dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Mereka mendapat pembebasan bersyarat pada 6-7 September 2022 dari pemerintah.
Ke-23 narapidana kasus korupsi itu antara lain; Ratu Atut Chosiyah, Desi Aryani, Pinangki Sirna Malasari, dan Mirawati. Berikutnya, Syahrul Raja Sampurnajaya, Setyabudi Tejocahyono dan Sugiharto.
Kemudian Andri Tristianto Sutrisna, Budi Susanto, Danis Hatmaji, Patrialis Akbar, Edy Nasution, Irvan Rivano Muchtar, dan Ojang Sohandi. Lalu Tubagus Cepy Septhiady, Zumi Zola Zulkifli, Andi Taufan Tiro serta Arif Budiraharja.
Berikutnya Supendi, Suryadharma Ali, Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Anang Sugiana Sudihardjo, dan terakhir Amir Mirza Hutagalung. Sedangkan, seorang narapidana korupsi yaitu Jero Wacik mendapatkan Cuti Menjelang Bebas (CMB).
Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly, pembebasan sedikitnya 23 orang narapidana perkara korupsi tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Kami harus sesuai ketentuan saja, aturan UU-nya begitu," kata Yasonna dikutip dari Antara, Jumat (09/09/2022).
Sebanyak 23 orang narapidana kasus korupsi bebas setelah memperoleh Surat Keputusan (SK) Pembebasan Bersyarat maupun mendapat Cuti Menjelang Bebas (CMB).
"Jadi kan PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 99 sudah di-review, ada juga keputusan MA (Mahkamah Agung) mengatakan bahwa narapidana berhak remisi," kata Yasonna.
"Jadi kan sesuai prinsip non-diskriminasi, ya kemudian di-judicial review-lah PP 99. Nah, itu makanya kita dalam penyusunan UU Pemasyarakatan, menyesuaikan judicial review," ujarnya menambahkan.
Mahkamah Agung mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga Kemenkumham telah menerbitkan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022.
Dalam Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022 tersebut, disebutkan bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi bebas bersyarat wajib membayar denda dan uang pengganti.
Namun, tidak perlu mendapatkan pernyataan kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana ditetapkan oleh instansi penegak hukum seperti dalam PP 99 tahun 2012.
"Tidak mungkin lagi kami melawan aturan dari keputusan JR (judicial review) terhadap UU yang ada. Itu kan sudah jadi UU," tambahnya.
Pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012 sesungguhnya diawali Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 41 Tahun 2021.
Putusan MK tersebut membuka pintu lebar bagi MA, melalui putusan Nomor 28P/HUM/2021, yang menyatakan pasal-pasal "pengetatan remisi" PP 99 bertentangan dengan UU Pemasyarakatan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Penghilangan syarat justice collabolator dalam putusan MA menjadikan hal tersebut sebagai syarat pemberian hak sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2014.
Dasar pemberian hak bersyarat narapidana berupa pembebasan bersyarat mengacu pada Pasal 10 UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.
Persyaratan pembebasan bersyarat tersebut adalah berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko, serta telah menjalani masa pidana paling singkat dua per tiga dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit sembilan bulan.(Antara)