Harga CPO Merosot 20%
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Tahun 2018 nampaknya menjadi tahun yang suram bagi komoditas minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO). Bagaimana tidak, harga CPO kontrak acuan di Bursa Derivatif Malaysia sudah amblas nyaris 20% di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD).
Sempat menembus level MYR 2.600/ton pada awal Januari 2018, harga CPO kini harus susah payah bertahan di atas level MYR 2.000/ton. Pekan lalu, harga CPO malah sempat tergelincir ke bawah level MYR 2.000/ton, untuk pertama kalinya sejak awal September 2015.
Sejak awal tahun, berbagai sentimen negatif memang menghantam harga CPO secara bertubi-tubi. Tim Riset CNBC Indonesia akan mengelaborasikannya satu per satu dalam tulisan ini.
Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30% menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga dikerek naik dari 40% menjadi 54%.
Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan, ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan (month-to-month/MtM). Catatan bulan Mei 2018 malah lebih parah lagi. Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MtM, atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Kedua, Eropa tak ingin hitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021, Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Melalui rilis resminya, mereka menyebutkan kebijakan itu diambil berdasarkan bukti kuat bahwa biofuel konvensional tidak memberikan kontribusi terhadap penurunan emisi gas rumah kaca, karena peralihan fungsi lahan secara tidak langsung (indirect land use change/ILUC).
Parlemen Eropa meyakini permintaan tambahan CPO untuk biofuel akan mendongkrak perluasan lahan dengan mengorbankan hutan, lahan basah, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan bisa meniadakan efek penurunan emisi biofuel.
Memang berkat lobi-lobi intensif pemerintah Indonesia plus kecaman dari negara produsen lainnya, pada 14 Juni 2018 Uni Eropa akhirnya memutuskan untuk tidak melarang penggunaan biofuel berbasis sawit, minimal hingga 2030.
Sayangnya, kabar positif ini tidak banyak membantu pemulihan harga CPO. Pasalnya, sejumlah sentimen negatif lainnya datang menyerang di paruh kedua tahun 2018.
Perang Dagang dan Kejatuhan Harga Minyak Ikut Pukul Harga CPO
Ketiga, berkecamuknya perang dagang AS-China. Isu ini menjadi salah satu topik yang paling ramai dibicarakan pada tahun ini. Konflik ini sebagian besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China dengan kebijakan sejenis.
Per Oktober 2018, total nilai produk made in China yang terkena bea masuk AS mencapai US$ 250 miliar. Kebanyakan menyasar komponen setengah jadi (intermediate), utamanya sektor elektronik dan sejenis mesin.
Sebagai balasan, China menjadikan produk otomotif dan pertanian Negeri Paman Sam sebagai target utama bea masuk-nya, yang mana merupakan barang-barang yang memang paling banyak diimpor oleh Beijing. Total nilai produk made in USA yang menjadi korban adalah US$ 110 miliar.
Produk agrikultur AS yang paling terdampak dari tarif balasan Negeri Panda adalah minyak kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.
Minyak kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga minyak kedelai.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga minyak kedelai kontrak acuan di Chicago Board of Trade (CBoT) anjlok hingga 17,35% di sepanjang tahun 2018 (hingga perdagangan tanggal 20 November 2018). Harga komoditas ini bahkan sempat menyentuh titik terendahnya dalam 3 tahun pada pertengahan September lalu.
Seperti diketahui, harga CPO memang banyak dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak nabati lainnya (seperti minyak kedelai), seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak nabati global. Ketika harga minyak kedelai melemah, kecenderungannya adalah harga CPO akan ikut turun.
Keempat, kejatuhan harga minyak mentah dunia. Sempat menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir pada awal Oktober 2018, harga sang emas hitam justru dibanting habis-habisan setelahnya. Hanya dalam 1,5 bulan, harga minyak amblas di kisaran 30%.
Harga minyak jenis light sweet yang menjadi acuan di AS sempat melemah 12 hari berturut-turut, yang merupakan reli pelemahan harian terpanjang dalam sejarah. Pada penutupan perdagangan hari Selasa (20/11/2018) kemarin, harganya bahkan sempat menyentuh level terendah nyaris dalam 1 tahun terakhir.
Ketidakseimbangan pasokan dan permintaan di pasar global menjadi faktor utama kejatuhan harga minyak mentah. Permintaan diekspektasikan melemah akibat perlambatan ekonomi dunia, sementara sejumlah negara produsen utama (seperti AS dan Rusia) justru memberikan sinyal adanya peningkatan produksi.
Teranyar, dalam laporan edisi November 2018, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan permintaan minyak dunia naik 1,29 juta barel/hari menjadi 31,54 juta barel/hari. Sedangkan produksi minyak tahun depan diperkirakan naik 127.000 barel/hari menjadi 32,9 juta barel/hari. Artinya ada potensi kelebihan pasokan sebesar 1,36 juta barel/hari.
"Meski pasar minyak dunia telah lebih seimbang, tetapi pertumbuhan pasokan mengindikasikan volume yang lebih tinggi melebihi permintaan yang berujung pada ekses yang membesar. Kemudian revisi ke bawah dari pertumbuhan ekonomi global menyebabkan tekanan terhadap permintaan minyak dalam beberapa bulan terakhir," sebut laporan OPEC yang menyinggung risiko terhadap harga minyak.
Penurunan harga minyak dunia memang cenderung menekan harga CPO yang merupakan bahan baku biofuel. Biofuel sendiri merupakan salah satu substitusi utama bagi bahan bakar minyak (BBM). Saat harga minyak dunia anjlok, produksi biofuel menjadi kurang ekonomis. Hal ini lantas menjadi sentimen menurunnya permintaan CPO.
Fundamental Buruk, Wajar Jika Harga Ambruk
Kelima, faktor terakhir datang dari faktor fundamental. Stok Malaysia dan Indonesia, dua top produsen CPO dunia, terus mengalami peningkatan pada tahun ini.
Beberapa waktu lalu, Malaysian Palm Oil Board (MPOB) merilis bahwa stok minyak kelapa sawit Malaysia naik 7,6% secara bulanan (month-to-month/MtM) ke 2,72 juta ton pada Oktober. Capaian itu merupakan level tertinggi sejak Desember 2017. Secara historis, stok minyak kelapa sawit Negeri Jiran telah meningkat selama 5 bulan berturut-turut.
Hal senada juga disampaikan oleh GAPKI. Pada bulan September 2018, stok akhir minyak kelapa sawit Indonesia tercatat naik sebesar 0,26% MtM ke 4,6 juta ton. Sebelumnya, pada bulan Juli 2018, stok minyak kelapa sawit RI mencapai rekor 4,9 juta ton, naik 5 bulan berturut-turut sejak bulan Maret 2018.
Stok kedua negara produsen di Asia Tenggara ini bahkan diperkirakan masih akan melambung hingga akhir tahun ini. Pasalnya, produksi minyak kelapa sawit akan mengalami peningkatan seiring pola musimannya.
Teranyar, GAPKI melaporkan tingkat produksi minyak kelapa sawit RI meningkat 8,87% MtM pada bulan September 2018 ke angka 4,42 juta ton. Capaian tersebut merupakan yang tertinggi di tahun ini. Peningkatan produksi CPO juga terjadi di Malaysia, yakni mencapai 6% MtM ke 1,96 juta ton per bulan Oktober 2018.
Di saat produksi diekspektasikan melambung, permintaan malah cenderung diramal akan tetap lesu. Selain bea impor yang dikenakan India, stok minyak kedelai domestik yang melambung juga menjadi penghambat permintaan di Negeri Bollywood.
Mengutip Reuters, produksi kedelai di India bahkan diramal meningkat 20% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka 10 juta ton pada periode Oktober 2018-Oktober 2019. Kemudian, jumlah lahan di India yang ditanami kedelai juga diekspektasikan meningkat menjadi 11,1 juta hektar di periode yang sama, dari sebelumnya 10,2 juta hektar.
Sementara, permintaan dari top importir lainnya seperti China dan Eropa juga diperkirakan akan melambat pada 3 bulan terakhir tahun ini. Pasalnya, minyak kelapa sawit memang cenderung memadat pada musim dingin.
Terbaru, GAPKI melaporkan ekspor CPO, Lauric Oil, Oleochemical, dan Biodiesel RI tercatat menurun 3,33% MtM ke 3,19 juta ton pada bulan September 2018.
Kemudian, realisasi ekspor minyak kelapa sawit Malaysia turun 3% MtM ke 1,57 juta ton pada bulan Oktober 2018, mengutip data dari MPOB.
Melihat fundamental yang buruk seperti ini, wajar jika harga CPO nampaknya memang belum akan bangkit. Tahun 2018 memang menjadi tahun yang suram bagi CPO. CNBC Indonesia