Dukungan Penuh Masyarakat Tolak Koruptor Nyaleg
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta- Dukungan masyarakat terhadap kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak serta bandar narkotika bukan isapan jempol belaka.
Hasil jajak pendapat/poling petisi change.org berjudul "Koruptor Kok Nyaleg" dibanjiri dukungan publik agar calon-calon yang berlatar belakang buruk, terutama yang telah melakukan tindak pidana korupsi tidak lagi maju di Pemilu 2019 nanti.
Jajak pendapat yang telah dimulai April lalu berhasil mengumpulkan 240 ribu lebih dukungan, intinya menolak agar calon-calon yang telah tidak diloloskan pendaftarannya maju lagi dari jalur sengketa.
Ketua KPU, Arief Budiman mengucapkan terimakasih dan apresiasi kepada masyarakat yang telah mendukung lembaganya menjalankan aturan larangan terpidana korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan terhadap anak maju di Pemilu 2019. Dia mengungkapkan bahwa menjalankan aturan yang tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) 20 Tahun 2018 tidaklah mudah.
"Ketika kita bahas PKPU 20 terjadi perdebatan panjang oleh partai politik, DPR dan Bawaslu. Saat itu kami sempat merasa kok jangan-jangan kita (KPU) sendiri yang aneh, saya merasa kok kita sendirian ya, jangan-jangan kita yang salah, kita pelajari lagi," ungkap Arief.
Meski demikian, berpegang satu keyakinan untuk menyelenggarakan Pemilu yang dapat menghadirkan wakil-wakil rakyat yang bersih di kemudian hari, KPU hingga saat ini terus memperjuangkan aturan itu.
"Kami berbangga dan berterima kasih, sekaligus memberi apresiasi, hari ini ternyata 240 ribu memberi dukungan kepada kita, dan saya berharap untuk kepentingan masa yang akan datang," sambung Arief.
Dalam kesempatan tersebut juga, sejumlah pengamat dan peneliti bidang politik dari berbagai LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Bersih menyampaikan dukungannya kepada KPU.
"Di dalam kotak itu ada simbol dari apa yang sudah dikumpulkan dari masyarakat bukan dari politisi bukan dari para pimpinan, dan menarik apa yang merka sampaikan tentang protes mereka terhadap aturan dan kondisi yang membuat para koruptor ini bisa jadi calon," ungkap Peneliti Netgrit, Hadar Nafis Gumay di Media Center KPU, Jakarta.
Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengaku kecewa dengan sikap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang meloloskan calon berlatar belakang mantan narapidana korupsi, seolah melompati kewenangan Mahkamah Agung (MA).
"Bisa dibayangkan PKPU sedang diuji di MA sementara Bawaslu dalam putusannya sudah melakukan penilaian terhadap PKPU 20 tahun 2017, kalau seandainya MA memutus PKPU tidak bertentangan dengan Undang-undang (UU) lalu kita mau apa? Ini adalah kekacauan hukum yang luar biasa," cetus Fadil.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina mengapresiasi sikap KPU yang menurutnya tetap konsisten ditengah situasi yang menginginkan agar aturan tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. "Harapan kami petisi ini menjadikan dasar kepada KPU untuk tetap semangat dan konsisten dalam melangkah menoak mantan napi korupsi maju di legislatif," pungkas Almas. (hupmas kpu bil/foto: ieam/ed diR)