kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Aturan Kampanye di Rumah Ibadah Dipersoalkan ke MK

Aturan Kampanye di Rumah Ibadah Dipersoalkan ke MK

Jum`at, 07 Juli 2023 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis, 6 Juli 2023. Permohonan perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni. 

Donny Tri Istiqomah selaku kuasa hukum para Pemohon menjelaskan identitas dan kedudukan hukum para Pemohon. Handrey Mantiri (Pemohon I) adalah warga negara sekaligus merangkap sebagai pemilih. Sedangkan Ong Yenni (Pemohon II) adalah warga negara yang menjadi calon anggota legislatif.  

Donny memaparkan pokok permohonan pengujian materiil UU Pemilu. Para Pemohon mengujikan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan, 'Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan'. 

"Sedangkan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan, 'Fasilitas pemerintah, tempat Ibadah, dan tempat Pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan',” jelas Donny.

Menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu telah menghalangi atau mengurangi hak para Pemohon untuk mendapatkan keadilan substantif dalam memilih. Sebab pembolehan kampanye di tempat ibadah akan membatasi para Pemohon untuk mengikuti kampanye seluruh peserta Pemilu, kecuali di tempat ibadah berdasarkan agama Pemohon I (Gereja Protestan) dan Pemohon II (Vihara). Potensi ini jelas akan merugikan hak konstitusional para Pemohon khususnya dalam kebebasan dan keadilan dalam memilih calon.  

“Penjelasan pasal ini membolehkan untuk kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, kampanye di tempat ibadah dan Pendidikan. Prinsipnya diperbolehkan. Sementara normanya menyatakan dilarang. Dampaknya buat para Pemohon secara konstitusional potensi kerugiannya pertama untuk Pemohon II ini agamanya Budha dalam konteks kampanye di tempat ibadah itu setidaknya ada ketidakadilan,” kata Donny.

Diperbolehkannya menggunakan fasilitas Pemerintah untuk kampanye akan membuat Pemerintah sulit untuk bersikap netral kepada semua peserta Pemilu. Sebab sebagaimana kita ketahui bersama, presiden dan kepala daerah walaupun dipilih secara langsung oleh rakyat namun pencalonannya tetap diusung dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan dibukanya peluang bagi presiden dan kepala daerah untuk mengijinkan digunakannya fasilitas pemerintah dikhawatirkan presiden maupun kepala daerah hanya akan memberikan fasilitas itu kepada peserta pemilu (partai politik) yang menjadi pengusung dan pendukungnya saja. 

Penggunaan fasilitas umum sebagai tempat kampanye hanya menjadi tempat mereka yang berkuasa di daerah itu. Akibatnya dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap proses politik. Dengan demikian, Kampanye Pemilu perlu diadakan di ruang-ruang yang netral dan non-religius untuk mendorong partisipasi maksimal dari seluruh anggota masyarakat.  

Selain itu, perlakuan yang sama di hadapan hukum untuk mewujudkan keadilan dalam kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan mustahil diwujudkan sehingga seharusnya tetap dilarang. 

Para Pemohon meyakini penjelasan norma tersebut bersifat memperluas dan menambah norma serta mengakibatkan pendelegasian kepada aturan yang lebih rendah. Dalam pandangan Pemohon, perluasan dan penambahan norma yang demikian telah menimbulkan kerugian konstitusional berupa ketidakpastian hukum.  

Selanjutnya, terkait penggunaan tempat ibadah, Pemohon meyakini bahwa kehidupan beragama tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Terhadap kampanye di tempat pendidikan, para Pemohon beranggapan bahwa dalam menunaikan tugas mencerdaskan bangsa, para pendidik seharusnya bersikap netral atau tidak berpihak kepada kekuasaan politik tertentu. Kampanye di tempat pendidikan jelas berpotensi membagi institusi-institusi pendidikan ke dalam berbagai aliran politik. 

Untuk itu, dalam petitum, MK diminta Pemohon untuk menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf f UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda