Beranda / Berita / Nasional / Aktifis Anti Korupsi Sebut Pansel Capim KPK Gagal Paham Tentang LHKPN

Aktifis Anti Korupsi Sebut Pansel Capim KPK Gagal Paham Tentang LHKPN

Senin, 29 Juli 2019 23:05 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS | Jakarta - Aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai panitia seleksi calon pimpinan KPK gagal paham dalam memaknai kewajiban pelampiran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dalam proses seleksi pimpinan komisi antirasuah.

Hal itu menanggapi pernyataan Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih yang menyatakan peserta capim KPK tidak wajib melampirkan LHKPN dalam proses seleksi. Menurut Yenti, para LHKPN baru wajib disetor atau dilaporkan setelah terpilih sebagai pimpinan KPK.

"Kita memandang Pansel gagal paham dalam memaknai kewajiban LHKPN dalam proses seleksi Pimpinan KPK," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dihubungi wartawan, Senin (29/7).

Ia memiliki pemahaman berbeda dengan Yenti terkait terjemahan Pasal 29 angka 11 UU KPK. Dalam pasal itu, kata Kurnia, tegas menyebutkan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK harus mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal itu, kata Kurnia, bermakna sebelum para pendaftar terpilih menjadi Pimpinan KPK terdapat perintah hukum untuk menyertakan dokumen pelaporan LHKPN sebagai syarat mutlak.

Kurnia melanjutkan kepatuhan penyerahan LHKPN merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai integritas seorang penyelenggara negara.

"Untuk itu maka dorongan kita tetap agar Pansel dapat menelusuri kepatuhan LHKPN mereka, jika ditemukan ada figur yang tidak patuh maka sudah sewajarnya Pansel untuk menggugurkan yang bersangkutan," katanya.

Lebih lanjut, Kurnia lantas mempertanyakan definisi integritas kepada Pansel Capim KPK terkait LHKPN para capim KPK.

"Jika ada pernyataan dari unsur keanggotaan Pansel yang menyebutkan bahwa tidak ada kewajiban dari para pendaftar untuk melampirkan dokumen LHKPN, maka pertanyaan pentingnya adalah: Apa sebenarnya definisi integritas yang dipahami oleh Pansel Pimpinan KPK?" katanya.

Sebelumnya, Yenti Garnasih menyatakan LHKPN diwajibkan bagi komisioner atau pimpinan KPK yang diangkat. Dengan begitu, kata Yenti, kewajiban penyerahan LHKPN bukan ditujukan bagi para peserta capim. Pansel, kata Yenti, khawatir ketika LHKPN sudah disyaratkan sejak awal proses pendaftaran tak banyak orang yang mendaftar proses seleksi capim. Terlepas dari itu, Yenti menegaskan pansel selalu mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dalam setiap proses atau tahapan seleksi capim.

Menanggapi kritik ICW soal LHKPN tersebut, saat ditemui di GEdung ACLC KPK hari ini, Yenti mengatakan, "Ya, kalau kritik kan biasa. Dikritik terus, biasa itu lah. Jadi itu dirumuskan dari UU KPK, hanya kita memiliki persepsi yang berbeda."

Menurutnya pemahaman soal Capim yang harus menyerahkan LHKPN setelah terpilih sudah dilakukan sejak pemilihan pimpinan KPK jilid I atau masa periode 2003-2007 . Hanya saja, menurut dia, isu ini terlalu dibesar-besarkan di pemilihan capim KPK jilid V atau untuk periode 2019-2024.

Yenti justru menyoroti soal aturan pelaporan LHKPN yang seharusnya diperkuat. Salah satunya adalah ketiadaan sanksi bagi penyelenggara negara yang lalai melaporkan LHKPN.

"Ini kan kita lihat saat praktiknya di mana aturan LHKPN ini diterapkan, gimana aturannya, kan enggak ada sanksinya juga. Saya sering menanyakan LHKPN ini nasibnya gimana. Mengapa gak ada sanksinya? Kok bisa suatu aturan tanpa sanksi?" kata pengajar hukum di Universitas Trisakti tersebut.

"Ini juga masukan untuk semuanya, misal sudah penetapan Menteri, setelah ditetapkan sekian lama baru diminta LHKPN. Begitu juga anggota DPR. Masalah-masalah ini kan harus diperbaiki semuanya," sambungnya. (im/CNNIndonesia)

Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda